Bab 16 : ada yang hilang

1058 Words
Pagi ini Nadia sudah disuguhi sebuah pemandangan luar biasa antara babe dengan ibu nya. Bayangkan saja, sang babe tengah memakai jas hujan, sedangkan ibunya dengan santai berdiri di dekat kompor yang menyala dan sedang menggoreng sesuatu. "Itu meledak itu meledak." Teriakan babe memenuhi dapur. "Lebay banget sih, cuma goreng cimol doang lagian." Babe bergidik ngeri, ia sudah pernah melihat sebuah video yang menampilkan seseorang menggoreng cimol dan meledak-ledak sehingga minyak panas yang diperuntukan untuk menggoreng langsung muncrat tidak karuan. "Babe sama ibu lagi ngapain sih? Pake segala Jaz hujan juga. Gak tau apa ini masih pagi?" "Ini babe lu ngidam cimol eh malah gak bisa gorengnya, sampe pake alat tempur begitu coba.'" Nadia menggelengkan kepalanya takjub melihat ke absurd an keluarganya yang luar biasa absurd, jadi bisa dilihatkan dari mana asal ke absurd an itu. Udah pasti bakal menurun ke dirinya. "NAD, jadi hari ini ke rumah nya Bu Dede?" Nadia mengangguk sembari mengusap wajahnya yang baru saja ia basuh. "Jadi, rencana pulang kuliah nanti, kenapa Mak?" "Mamak mau nitip juga, ada itu satu bakal baju mana tau bisa dijahitkan lumayan." Nadia mengangguk lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Hari ini ia hanya ada satu mata kuliah dan setelahnya tidak ada lagi, jadi bisa lah nongko-nongki di kafe langganan nya. "Kak, helm gue mana?" Tanya patwa yang tiba-tiba muncul dari balik pintu mengagetkan dirinya. Nadia yang tengah asyik bersenandung ria sembari merapikan hijabnya tentu saja terkejut setengah mati. Sampai jarum itu mengenai kulit lehernya. "Sakit b**o! Lagian ngapain sih? Ngagetin mulu." "Yeh... Yang ada elu gak hati-hati, lagian gue nanya Selo aja perasaan, cuma nanya helm gue di mana?" Nadia mendengus kesal lalu menunjuk ke arah atas lemari yang berisi sebuah helm dengan model jadul milik sang adik. "Helm jelek begitu aja masih kamu pertahankan. Sadar dek, itu jelek buruk rupa lagi. " "Kalau gak suka helm gue jangan dipake lagi entar, awas aja kalau lu pake, gue tabok lu yah." Nadia terkekeh geli melihat wajah sang adik yang tampak memerah karena marah. Well patwa bukan orang emosian yang gampang tersulut kecuali jika ada orang yang menghina helm miliknya, sudah pasti orang itu bakal habis tak tersisa karena mulut pedasnya. "Lagian seburuk-buruk nya dia masih bisa ngelindungi kepala gue dari benturan, dari pada pas elu nya gak ada fungsi." Jleb! Apa Nadia bilang, adiknya ini titisan roh jahat jadi kalau ngomong gak pernah di filter terlebih dahulu. Dajjal memang. Plak! "Keluar Sono lu, bikin semak aja. Lagian nih yah, gue kasih tau sama Elu kalau itu helm udah bagusnya di museum kan, ya kali masih di pake, kacanya aja udah longgar. Udah berapa kali paket tuh? " Patwa yang semakin meradang membuat kebahagian Nadia semakin meningkat, jahat memang, tapi mau bagaimana lagi kan kadar kebahagian orang itu berbeda-beda tidak pernah sama. “b*****t emang lu jadi kakak.” Patwa berjalan keluar dari dalam kamar sang kakak yang telah berhasil memancing emosinya di pagi hari seperti ini. Dan saat di meja makan juga keduanya terlibat aksi saling diam membuat kedua orang tua yang berada di sana melongo terkejut dan merasa keheranan, kenapa dua bocah prik yang selalu bertengkar mendadak menjadi bisu seperti itu, apa ada masalah? “Lagi sariawan pak haji. Bu haji?” Nadia dan Patwa serempak melihat ke arah babe dengan tajam, dan itu sukses membuat pria paruh baya itu menutup mulutnya rapat. “Be, kalau minjam barang orang harusnya ngomong apa sih?” Babe melirik sang anak dengan heran sambal mengunyah nasi goreng yang berada di tenggorokannya. “ Yah bilang makasih lah, kan udah pinjem barang orang lain, harus tau diri juga, emang kenapa?” “soalnya ada orang pinjem helm Patwa, bukannya bilang makasih malah ngejek helm nya udah jelek dan buruk rupa harus di museumkan.” Sindir patwa menatap ke arah sang kakak, dan itu langsung mendapatkan respon dari gadis di depannya dengan delikan mata yang tajam. Seakan mengerti kenapa anak bungsunya bertanya demikian, babe sendiri memilih menutup mulut yang rapat dibandingkan harus merasakan kemarahan dari dua anak singanya. “Kakak, kalau pinjem barang orang kudu bilang makasih walaupun barang itu emang buruk rupa dan pantesnya dibuang aja, tapi harus bilang makasih,” ujar babe pada akhirnya yang malah membuat nadia tersenyum penuh kemenangan sedangkan patwa sudah misuh-misuh gak jelas di tempat. “Kirain bakal dibela, eh malah zonk hahaha…” Ujar nadia cekikikan seolah-olah yang disampaikan sang babe merupakan sebuah kebahagiaan yang haqiqi. “diem! Berisik banget.” Ucap Patwa dengan tajam, terlihat jika pemuda itu memang benar-benar sedang emosi dan berusaha menahan emosi itu, melihat respon sang adik yang sudah di luar kendali nadia segera menutup rapat mulutnya menghindari serangan fajar dari pemuda di sebelahnya. Keadaan meja makan hening seketika, baik babe, ibu maupun nadia sendiri tidak ada yang berkeinginan untuk membuka mulut walaupun sekedar tertawa atau bisik-bisik. “Nadia udah siap, berangjat ke kampus dulu. Assalamualaikum.” Nadia pergi dari meja makan dengan cepat, menghindari peperangan Bersama sang adik yang kalua sudah mengamuk singa pun kalah. Sepanjang perjalanan menuju kampus, Nadia kepikiran dengan obsesi adeknya terhadap helm yang menurutnya sangat berlebihan. Tingkah Patwa seperti sudah di luar kendali dan ada banyak helm milik sang adik yang berjejer memenuhi seisi rumah, apa jangan-jangan adiknya memiliki kelainan jiwa terhadap helm yah? “Nad, baru sampai?” Nadia mengangguk begitu sampai di kampus sudah ditodong pertanyaan oleh risqi temannya. “Baru aja,” jawabnya pelan. Risqi tampak mengangguk pelan. “ hari ini selamat gak dari polisi kesayangan elu itu?” Nadia jadi teringat jika ia tidak memperhatikan posko polisi yang selalu menjadi musuh bebuyutannya ketika hendak berangkat dan pulang dari kampus itu, entah sudah berapa lama ia harus melakukan aksi kucing-kucingan dengan polisi yang bertugas, terlebih sosok sule yang menjadi momok paling dihindari oleh Nadia, berurusan dengan Sule sama aja berurusan sama orang gila, gak akan pernah ada titik temu dan berakhir dengan Nadia yang merasa frustasi seketika. “Gue gak perhatiin, tapia man kok. Atau memang tadi lagi gak ada yang tigas yah?” “Ada kok, orang gue aja di periksa tadi, atau jangan-jangan sule udah bosen kali yah nilang elu. Secara dia udah berapa kali bolak balik periksa elu yang gak pernah insyaf ini.” Nadia terdiam, bisa jadi memang para polisi di sana sudah jera memberinya hukuman sehingga tadi ia dilepaskan, tapi kenapa Nadia malah merasa gak enak yah? Ada yang kurang rasanya. Seperti ada yang hilang tapi entah apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD