Sebulan yang lalu
Hari ini aku mesti menemani mami ke rumah temennya buat arisan. Nggak tahu kenapa tumben mami ngajak aku. Biasanya juga mami kalau arisan sukanya sendiri. Malu juga sih sebenarnya, udah gede gini masih ngintilin mami. Tapi, mami bilang temen-temennya pada bawa anaknya.
Temen mami yang satu ini adalah pemilik Ringdom Hotel International. Salah satu hotel Indonesia yang telah merambah ke dunia internasional. Teman mami memang kalangan sosialita semua. Nggak heran, sih. Herannya hanya dari semua temennya hanya mami yang nggak shopaholic kayak mereka.
Aku penginnya, sih mami juga hobi belanja. Biar kalau aku belanja, dia nggak ngomel mulu. Wajar 'kan, ya punya uang kita belanja. Yang nggak wajar itu kalau nggak punya uang, maksain buat belanja. Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita, itu yang sering Bora bilang.
"Mi! Ngapain, sih Alia ikut?" Masih aja aku protes pada mami. Iya kalau anak temen mami seumuran aku, kalau masih bocil?
"Apa Mami mesti ajak anak tetangga, Al?" Mami emang bener, deh. Nggak heran, sih. Aku udah nanya untuk kesekian kalinya. Mungkin mami bosen denger pertanyaan yang sama dariku.
"Ih, Mami. Ditanyain juga. Kalau Alia tua sendiri gimana? Masak nanti Alia jadi baby sitter selagi mami ngobrol?" Seperti biasa, aku memanyunkan bibirku sebagai pertanda aku ngambek.
"Lha kamu habisnya aneh, nanyanya. Anak mami 'kan cuma kamu. Kalau nggak ngajak kamu, Mami mesti ngajak siapa lagi, Sayang?" Mami menowel pipiku.
"Aw ...! Sakit, Mi." Aku mengelus pipi bekas towelan Mami. Niat banget Mami nowelnya, sampai perih gini.
Mami hanya tertawa mendengar protes dariku. Kami masih di atas mobil dengan diantar Mang Asep. Aku heran ama mami, meski kaya raya dengan warisan melimpah ditambah menjadi istri papi yang kekayaanya nggak bisa diragukan lagi, tapi aku lihatnya mami paling sederhana dibanding yang lainnya.
Bukannya sombong tapi yang aku bilang ini kenyataan, lho. Ada salah satu temen mami yang bisa dibilang ekonominya di bawah kami, tapi jiwa sosialitanya di atas mami. Temen mami itu termasuk tipe-tipe yang panasan.
Kepo nggak panasan tu apa? Ya mereka berlomba-lomba untuk bersaing. Mereka berlomba-lomba menunjukkan kepada yang lainnya bahwa mereka sanggup bersaing. Bukan mami banget. Tapi heran juga mami bisa tahan temenan ama mereka.
"Sudah sampai, Nyonya." Mobil ternyata sudah berhenti. Mang Asep , menoleh ke arah kami untuk memberi tahu bahwa telah sampai di tempat tujuan.
Bergantian, Mang Asep membukakan pintu untuk kami berdua. Tidak lupa aku dan mami mengucapkan terima kasih kepadanya.
Terlihat sebuah bangunan yang sangat mewah ketika kami turun dari mobil. Pasti ini rumah temennya mami. Tentu saja aku tidak terpesona dengan rumah mewah ini karena rumah milik keluargaku lebih besar dari ini.
"Ayo, Princess." Mami menggandeng tanganku dan berjalan masuk ke dalam rumah itu. Apa mami takut aku ilang jadinya digandeng kayak anak kecil gini?
Tapi, aku sih fine-fine aja diperlakukan kayak anak kecil gini. Nyatanya emang mami sangat sayang ama aku.
Sesampainya di dalam seorang pelayan mengantar kami menuju ke halaman belakang, di mana acara itu berlangsung. Ini memang hanya arisan, tapi dekorasinya seperti acara pernikahan. Sajiannya pun sekelas hotel bintang lima.
Saat melihat kami memasuki tempat itu. Mereka berbondong-bondong menghampiri kami. Tidak lupa cipika cipiki sebagai sebuah sambutan.
Sepertinya mereka berlomba-lomba mencari perhatian kami. Di kalangan sosialita seperti ini, siapa sih yang nggak kenal kami. Keluarga Wijaya, pemilik Wijaya Corporation, salah satu dari sembilan phoenix, penguasa perekonomian di negeri ini.
Seperti mami, aku hanya tersenyum menanggapi sikap mereka yang begitu mencolok mengambil hati kami. Aku sebenarnya tak terlalu suka dengan basa-basi seperti ini. Tapi kata mami, aku harus tetap sopan pada orang yang menyapa kita.
Ternyata mami tidak bohong, teman-temannya mengajak anak-anak mereka. Ada yang seusia denganku, ada pula yang di bawahku. Yang lebih tua? Mungkin ada tapi tidak terlalu kelihatan perbedaanya.
"Ya ampun, Jeng. Ini anaknya? Cantik banget. Boleh dong besanan." Seorang wanita seusia mami, menghampiri kami. Sebelumnya mami telah berbisik padaku bahwa dialah sang tuan rumah. Namanya Tante Yasmine.
Paling sebel kalau udah ngomongin hal kayak gini. Ujung-ujungnya pasti perjodohan. Moga aja mami tidak menanggapi masalah itu.
Kuperhatikan semua yang menempel di tubuhnya, tak ada satu pun benda tak bermerek yang dipakainya. Bahkan bisa dikatakan, ini adalah ajang pembuktian diri akan kekayaan yang dimiliki.
Aku taksir, hanya mami yang paling sederhana di sini. Outfit-nya tidak lebih dari seratus juta. Betapa sederhananya mamiku ini? Nggak sayang apa menyia-nyiakan uang sebanyak itu?
"Aduh, Jeng. Sekarang Ken pasti sudah segini, ya?" ucap mami sembari menatap ke arahku. Please, Mi. Jangan sampai main jodoh-jodohan.
But, wait! Ken? Kayaknya nama itu familiar buatku.
"Iya, Jeng. Ken sudah selesai kuliah S2-nya. Kemarin dia kuliah di Harvard. Sekarang mulai mengambil alih bisnis papanya." Kebanyakan dari kalangan ini memang meneruskan bisnis keluarga yang sudah turun temurun.
"Sayang ... kamu inget nggak sama Ken? Kalian dulu suka main bareng, lho." Otakku yang agak lemot ini mencoba mengingat sesuatu yang sama sekali tidak aku ingat. Ah! Mami. Jangan maksain anak kesayanganmu ini untuk menggunakan otaknya.
Aku menggeleng pelan. Benar-benar tidak ada nama itu dalam ingatanku. Yang ada hanya shopping dan shopping. No more!
"Masak nggak inget sih, Al? Dulu kalian sering lho, lari-larian bareng. Bahkan kamu sering nangis kalau ditinggal Ken ngumpet." Mami ngeselin, malah ngungkit masalah itu.
"Enggak, Mi. Alia sama sekali nggak inget. Mungkin Alia pernah kejedot sampai banyak yang Alia lupain." Mungkin saja 'kan, terus hilang ingatan.
"Eh! Itu yang diomongin dateng," ucap tante Yasmine sambil menunjuk ke arah luar.
Seketika angin berhembus hingga menerbangkan rambut-rambutku. Aku pun ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Tante Yasmine. Kenapa tiba-tiba silau gini, ya?
Sebuah bau harum parfum mahal langsung menggelitik indera penciumanku. Parfum beraroma maskulin dari salah satu merek parfum kelas dunia. Tentu saja aku sangat hafal aroma ini.
Seperti malaikat, seorang pria tampan berkulit putih dengan garis wajah khas pria latin berjalan ke arahku. Ralat! Ke arah Tante Yasmine, mamanya.
"Mah." Pria itu kini telah berdiri di hadapanku, menghadap ke arah Tante Yasmine. Betapa sempurnanya tubuh itu. Aku sangat yakin di balik baju itu terdapat tubuh yang berotot dengan perut six pack-nya.
"Hai, Ken," sapa Tante Yasmine pada anak lelakinya yang bak Dewa Yunani itu. Aish ... kenapa aku gampang sekali terpana pada pandangan pertama, sih?
Ken saat ini tengah tersenyum menatap Tante Yasmine.
"Ken. Inget nggak sama anak Tante Nania ini?" ucap Tante Yasmine seraya menunjuk ke arahku. Kenapa ini? Kenapa tiba-tiba saja aku jadi salting, ya?
"Oh, hai," sapaku pada cowok tampan itu.
"Hai! Kamu Alia 'kan?" Oh, God! Ternyata dia inget ama aku. Padahal aku sama sekali nggak inget ama dia.
"Correct!" jawabku masih dengan perasaan gugup. Please, Alia jangan norak gini.
"Kamu masih inget aku 'kan?" Ya ampun, kalau ngomong jangan pakai senyum, dong. Bikin diabetes ini.
"Ehm ... sayangnya aku lupa." Aku hanya bisa nyengir karena memang benar-benar nggak ingat ama dia.
"Nggak masalah. Kita bisa mulai saling mengenal lagi," katanya enteng.
"Eh, Jeng. Kita ke sana dulu, ya." Belum sempat kumenjawab ajakannya, Mami malah udah lebih dulu pamit ama Tante Yasmine.
"Oke-oke, Jeng." Tante Yasmine tersenyum.
Mami tiba-tiba saja menarikku menjauhi pria tampan itu. Ada apa sih ama Mami? Kayak nggak seneng anaknya akrab sama cowok setampan Ken.
"Mi, kenapa sih narik-narik Alia?" protesku pada mamiku tersayang.
"Nggak apa-apa. Al. Mami ingin ngenalin kamu sama temen Mami yang lain." Pasti ada apa-apanya ini. Mami kayak nggak suka gitu ama Tante Yasmine dan Ken. Mencurigakan.
Akhirnya aku hanya bisa mengikuti keinginan mami menemui teman-temannya yang lain. Tapi sebelumya, tak lupa aku tinggalkan senyum termanisku untuk si tampan Ken. Dan tentu saja dia balas tersenyum padaku.
Kami pun berjalan ke arah sudut lain dari tempat ini. Di sana ada beberapa teman-teman sosialita mami. Ada Tante Karin yang datang dengan anak laki-lakinya yang berusia tujuh tahun. Ada juga Tante Maria yang datang sendiri karena anak-anaknya kuliah di luar negeri semua.
Dan ada juga tante-tante lainnya yang aku sendiri tidak sempat mengingat-ingat namanya.
Setelah acara yang berlangsung hampir seharian, akhirnya selesai juga. Aku benar-benar sudah bosan berada di sini bersama para orang tua-orang tua itu, Di antara yang lainnya hanya mami yang tidak suka memamerkan apa yang dimilikinya. Padahal aku sangat tahu mami punya semua yang menjadi bahan pamer itu.
Setiap aku mau ngomong, mami selalu menarik lenganku dan memberi kode kepadaku agar aku tidak meladeni mereka. Kadang aku heran sama mami, padahal mami lebih dari mereka tapi kenapa hanya diam saja.
"Sudah, Al. Kalau kamu nurutin omongan mereka, nggak akan pernah ada habisnya. Harta bukan untuk dipamerkan," bisik mami ketika aku mulai panas ingin menanggapi temannya yang memamerkan jet pribadi miliknya.
Aku tahu kakek pernah nawarin untuk membelikan mami jet pribadi. Tapi, tahu nggak apa yang mami bilang? Nggak perlu, Pa. buat apa? Rasanya aku benar-benar ingin protes. Bukankah hal itu bisa untuk mengatakan kepada dunia, betapa kayanya kita.
"Mi! kok nggak mau, sih?" protesku waktu itu.
"Mami takut, Al. Hisabnya gede ntar." Hisab apaan sih yang mami maksud? Mami jadi sedikit aneh akhir-akhir ini. Dia jadi lebih tertutup menurutku, tapi aku nggak yakin juga sih.
"Aku nggak ngerti maksud mami." Aku menggelengkan kepalaku, tanda bahwa aku benar-benar nggak ngerti maksud perkataan mami.
"Suatu saat bakal ada yang jelasin ke kamu. Mami sendiri belum bisa jelasin apa-apa ke kamu, karena mami juga masih belajar.
Mami benar-benar penuh misteri. Semoga bukan hal buruk yang bisa mengancam fasilitas untukku selama ini. Aku tidak akan mampu hidup sengsara.
Kembali ke saat ini, udahan dulu flash back-nya.
Kami telah berada di dalam mobil dan acara hari ini benar-benar telah berakhir. Aku akhirnya bisa bernapas lega, karena tak lagi mendengar ocehan-ocehan yang tak penting itu.
Benar-benar capek ketika ingin meladeni mereka namun nyatanya hanya bisa diam karena pelototan mami. Entah kenapa aku paling nggak bisa lihat mami beneran marah ama aku.
Meski selama ini aku memang bukan anak yang seratus persen penurut, tapi ada hal yang aku hindari yaitu kemarahan mami. Big No!
***
"What!" Kenapa pria tampan ini ada di kantor papi.
"Hai, Al," sapa sang Dewa Yunani sesaat setelah pintu lift terbuka.
Wah! Ini benar-benar sebuah keberuntungan buatku bisa melihat Ken lagi.
"Hai juga, Ken," jawabku dengan menampilkan senyum semanis mungkin.
Pintu lift tertutup. Hanya ada kami berdua di ruangan ini. Ternyata Tuhan sebaik ini padaku. Mungkin ini hadiah akan kesabaranku atas ketidakadilan yang papi lakukan padaku hari ini.
Untung kamu sabar, Al. jadi Tuhan kasih kamu hadiah yang indah. Aku terkikik dalam hati.
"Lo mau ke mana, Ken?" tanyaku penasaran. Dia mau nemuin siapa di perusahaan ini. Apa perusahaan kami melakukan kerja sama dengan perusahaannya?
"Oh! G-gue mau ketemu Om Hadi," jawabnya dengan nada agak gugup. Ada apa, ya? Ngapain ketemu bokap? Mungkin memang perusahaan kami saling melakukan kerja sama.
"O, gue juga mau ke sana. Barengan, yuk," ajakku. Berdua dengan cowok setampan Ken membuatku membayangkan hal yang sangat tidak masuk akal.
Bagaimana jika tiba-tiba lift mati dan kami berdua terjebak di sini. Apakah akan ada adegan ciuman seperti di film-film?
Wake up, Alia! Bayangan kamu terlalu m*sum untuk dilakukan oleh orang yang baru dua kali bertemu. Benarkah aku sem*sum itu?
"Oh, iya. Gue boleh minta nomor lo nggak?" Boleh ge-er nggak, sih. Kalau Ken itu sebenernya udah tertarik sama aku dari awal. Sayangnya mami berusaha banget buat ngejauhin aku sama Ken. Jadinya kita belum sempat berbicara lebih lanjut.
Mungkin kali ini Tuhan seolah memberi kami kesempatan agar bisa berdua lebih lama.
"Tentu aja boleh." Tanpa menunggu, Ken langsung mengeluarkan benda pipih miliknya. Aku pun tanpa basa-basi mengucapkan beberapa digit angka.
"Ccrt ...!" Kenapa lift mendadak mandeg. Apa khayalanku menjadi kenyataan?