"Ccrrt ...!" Kenapa lift tiba-tiba berhenti? Akankah khayalanku menjadi kenyataan?
"Kenapa lift mendadak berhenti?" Aku hanya mengedikkan bahuku. Kulihat Ken terlihat begitu panik.
"Jjjzz ...!" Lampu di dalam lift juga mendadak mati,.
"A--"
"Aw ...!" Sebelum aku berteriak, suara Ken terdengar lebih dulu. Dia benar-benar ketakutan sepertinya.
Apa aku tidak salah liat? Salah! Karena gelap aku jadinya tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi, tentu saja aku masih bisa mendengar dengan jelas. Ada suara isakan tak jauh dariku.
"Ken! Ken! Kaukah itu? Aku mencoba berjalan ke arah suara isakan itu terdengar. Benar! Itu suara laki-laki. Apakah mungkin Ken menangis karena gelap.
Tiba-tiba lampu menjadi terang kembali dan benar seperti dugaanku. Ken meringkuk di pojokan sambil menutup telinganya. Lift-pun kembali bekerja seperti sedia kala. Adegan romantis saat lift mati tak pernah terjadi. Itu hanya ada dalam anganku saja.
Seketika aku jadi illfeel dengannya. Tapi, rasa kemanusiaanku menuntutku untuk menanyakan keadaannya.
Tak menjawab pertanyaanku, Ken masih saja terisak. Aku bingung bagaimana bisa menghibur orang dalam situasi seperti ini? Ada apa dengan pria tampan yang bak Dewa Yunani itu?
"Ken! Ken! Are you OK?" Apa Ken pernah mengalami trauma sehingga dia terlihat begitu ketakutan seperti ini?
Perlahan Ken mau menatap ke arahku. Terlihat dia berusaha mengatur nafasnya. Akhirnya, lambat laun Ken merasa tenang. Tak lagi meringkuk seperti tadi. Kulihat pipinya memerah. Mungkin Ken juga merasa malu.
"Tring!" Pintu lift terbuka. Kami telah sampai di lantai tempat kantor papi berada. Kualihkan pandanganku dari Ken ke arah pintu, Ken segera bangkit dan keluar tanpa mempedulikanku.
Aku hanya bisa melongo melihat sikapnya yang tiba-tiba dingin dan berubah cuek padaku.
"Kenapa, sih manusia satu itu?" Berani-beraninya Ken nyuekin aku.
Aku segera keluar dari lift itu, takut lift-nya mati dan macet lagi. Aku mesti protes ke papi. 'Kan bahaya jika macetnya lama dan orang-orang yang terjebak bisa kehabisan napas.
Tiba di kantor papi, aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu dulu. Sudah kebiasaan bagiku seperti itu dan papi nggak pernah marah.
"Pi ...!" panggilku pada papi sesaat setelah aku masuk ke ruangannya. Kulihat papi sedang serius menatap layar komputernya. Tidak biasa-biasanya papi seserius ini.
Menyebalkan! Papi hanya melirikku sekilas. Apa aku bukan anak papi hingga papi nggak mau melihatku?
"Pi ...!" rajukku lagi mencoba mengatakan bahwa anak kesayangannya ada di sini.
"Hm ...!" Apa?! Papi cuma bilang hm. Beneran ini papi? Kenapa cuek gitu sama aku? Belum hilang rasa heranku tadi karena Ken yang tiba-tiba nyuekin aku setelah insiden di lift tadi, kini papiku sendiri yang nyuekin kau.
"Pi! Alia di sini, Pi!" Kini aku telah berada di depan meja kerja papi dengan muka kesel dan bibir cemberut. Biasanya kalau seperti ini papi bakal langsung cari cara supaya aku nggak ngambek lagi.
Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ....
Apa?! Sampai hitungan kelima papi masih nggak mau lihat ke arahku. Tidak! Ini tidak benar. Pasti ada yang salah. Pasti ini hanya mimpi. Benar! Mimpi!
Kumencoba memejamkan mataku dan berharap ketika membuka mata semua kembali normal. Aku telah berada di atas kasur empuk milikku di rumah. Dan papi kembali sayang padaku.
Dalam hitungan ketiga aku akan membuka mata. Satu ... dua ... tiga ....
Kenapa aku masih di kantor papi? Berarti yang terjadi padaku bukanlah mimpi. Papi beneran nyuekin aku? Entah kenapa mengetahui kenyataan itu, hatiku terasa sakit.
"Hiks ...." Tak terasa mataku mendadak memanas. Diikuti sudut mata yang berair.
"Papi jahat! Papi udah nggak sayang lagi ama Alia!" Aku benar-benar seperti anak kecil sekarang. Yang ingin protes karena ayahnya yang berubah tidak menyayanginya.
Berhasil! Papi menghentikan aktifitasnya dan mulai menatapku. Hati kecilku bersorak penuh kemenangan kali ini. Tidak mungkin papi tiba-tiba tidak peduli akan kehadiranku.
Melihatku yang hampir menangis seperti ini, mengapa papi hanya diam saja? Malah tatapannya menjadi sangat tajam hingga menghujam ke jantungku.
"Alia ...," ucap papi lirih, "kamu sudah dewasa, bersikaplah layaknya orang dewasa lainnya . Jangan selamanya menjadi anak kecil."
Aku hanya bisa melongo mendengar kata-kata papi barusan. Aku lagi nggak salah denger 'kan? Papiku bener ngomong kayak gitu? Dia sudah nggak anggap aku putri kecilnya lagi? Perasaan sakit apa ini?
"P-Papi. Beneran itu Papi? Kenapa dalam semalam Papi berubah?" tanyaku lirih. Semalam papi masih bersikap hangat seperti biasanya. Tapi, apa ini? Papi bilang aku nggak dewasa?
"Papi nggak berubah, Al. Papi masih yang dulu. Papi masih menyayangimu."
Bohong! Bukan seperti itu cara papi menyayangiku.
Ternyata seperti ini rasanya dibuang. Papi sudah membuangku. Aku harus bagaimana?
“Apa Anda benar-benar Papi saya?” Setahuku papi tidak akan setega itu padaku. Tapi, orang di depanku ini tak memilki perasaan.
“Alia. Sudah sewajarnya kamu belajar dewasa. Sampai kapan kamu akan bergantung pada kami?”
Apa?! Apa mereka tidak ikhlas memiliki anak sepertiku? Atau mungkin aku memang bukan anak mereka?
“Papi …," ucapku lirih. Aku sampai kehilangan suara mendengar penuturan papi.
“Apa mungkin aku bukan anak kandung kalian?” Aku sendiri bahkan tak percaya bisa menanyakan hal itu pada lelaki yang telah membesarkanku ini.
Kulihat papi hanya membuang napas kasar dan kembali pada kegiatannya. Kini papiku itu beralih memeriksa berkas yang tingginya tak lebih tinggi dari sayangku pada papi.
“Papi jahat. Alia benci Papi!” Tak kuhiraukan lagi sekitarku. Aku hanya ingin berlari meninggalkan tempat itu saat ini juga.
Berharap papi akan mengejar dan memelukku, sambil berkata ‘maafkan Papi.’ Tapi, nyatanya setelah sejauh ini aku berlari, tidak ada tanda-tanda seseorang meneriakkan namaku.
Bahkan aku tak peduli saat sekretaris papi tadi ingin menyapaku ketika aku keluar dari ruangan papi.
Aku terus berlari hingga tak terasa menuju parkiran. Sungguh sakit ternyata tidak dianggap oleh orang yang kita sayangi. Terlalu sakit juga ketika telah terbang ke langit tertinggi kemudian dijatuhkan.
Apa yang terjadi dengan papi? Kenapa papi jadi sekasar itu sama aku?
Melihat wajahku yang sembab, Mang Asep terlihat begitu penasaran.
“Kenapa, Non? Kok nangis gitu?” ucapnya sembari membukakan pintu untukku.
“Nggak papa,” jawabku ketus. Aku lalu masuk ke dalam mobil tanpa menghiraukan Mang Asep yang pastinya sangat kaget dengan kejudesanku. Walau bagaimanapun aku selalu ramah dan tidak pernah menampakkan wajah jutek pada siapa pun.
Dalam perjalanan, Mang Asep juga lebih memilih diam. Tak seperti biasanya yang selalu saja ada yang diomongin.
Aku juga lagi nggak mood untuk ngomong ataupun minta maaf. Semua ini salah papi. Aku jadi seperti ini semua salah papi.
Mataku menatap ke luar jendela.Meyaksikan jalanan Jakarta yang selalu berkutat dengan kemacetan.
Di lampu merah, pandanganku teralihkan oleh sebuah pemandangan yang begitu menarik untukku.
Seorang ibu dengan pakaian lusuh, begitu teganya membawa seorang bayi dalam gendongannya. Dan kuyakin hawa di ibu kota ini sedang sangat panas.
“Kenapa anak sekecil itu diajak panasan?” gumamku seorang diri.
Apa hal ini baru? Atau aku yang tidak pernah memperhatikan kiri kananku ketika di jalan.
“Mang, ke mana bapaknya? Kenapa dia diajak di jalan panas-panas gini?”
“Eh! Apa, Non?” Sepertinya Mang Asep nggak ngerti apa yang kumaksud. Huft!
“Oh … itu memang sengaja mungkin, Non.“
“Sengaja? Maksud Mang Asep sengaja diajak panas-panas gini?” tanyaku tak percaya. Mana mungkin ada seorang ibu yang membiarkan anaknya terlunta-lunta seperti itu.
Hatiku sedikit tergelitik akan hal itu. Kehidupanku selama ini nyaman dan tidak pernah kekurangan.
Kembali kupandangi pemandangan yang menyayat hati itu.
“Iya, Non. Biasanya itu anak disewa buat ngemis. Diberi obat tidur biar anteng saat digendong.”
Penjelasan selanjutnya dari Mang Asep lebih membuatku bergidik ngeri. Apakah ada orang tua yang menyewakan anaknya untuk dibuat seperti itu?
Mobil kembali berjalan. Kualihkan lagi pandanganku ke depan. Aku kembali membandingkan kehidupanku yang sempurna ini dengan pemandangan tadi.
“Sudahlah! Bukankah nasib manusia itu berbeda-beda. Kalau kaya semua, uang kami harus kami sumbangkan ke mana?” putusku kemudian.
Benar, keluarga kami memang kaya. Tapi, bukan berarti kami tidak pernah beramal. Bahkan mami punya yayasan sendiri untuk menyalurkan uangnya yang melimpah itu.
Tidak jarang mami ngajak aku ke yayasan itu. Meski aku nggak begitu tertarik untuk terjun langsung dalam hal ini.
Mami juga, tinggal utus seseorang untuk mengurusnya ‘kan bisa. Kenapa mesti terlibat sendiri acara seperti itu?
Aku kembali meratapi nasibku yang malang ini. Memiliki papi yang udah nggak sayang lagi sama aku. Betapa malang nasib seorang Alia Hadi Wijaya.
Apa tadi papi bilang? Aku disuruh dewasa? Apa papi lupa umurku, hingga menyuruhku untuk dewasa?
Usiaku kini sudah 22 tahun. Ingat! 22 tahun. Yang pastinya sudah dewasa. Dewasa seperti apa yang papi maksud?
Apa papi sudah kena pengaruh buruk mami biar nggak manjain aku? Aku yakin itu. Aku harus protes sama mami nanti setibanya di rumah.
Dari pada mikirin hal yang membuat sakit hati, mendingan aku pikirin lagi hal indah yang aku alami hari ini.
“Pak Bejo!” Tanpa sadar aku berteriak hingga membuat Mang Asep menengok ke arahku.
Pak Bejo adalah satu-satunya hal indah yang aku temui hari ini. Jika Ken perumpamaan Dewa Yunani, maka Pak Bejo perpaduan antara aktor Korea.
Dan aku sangat yakin di balik baju mereka, tersembunyi roti sobek yang begitu memabukkan mata. Tapi, setelah aku melihat Ken seperti tadi saat di lift, haruskah aku masih mengagumi roti sobeknya?
Apakah ada yang salah dengan kejiwaanku? Selalu berfantasi untuk menjamah roti itu. Hanya roti sobek itu. Selalu ada dorongan untuk melihatnya. Tapi, selama ini masih aman terkendali. Cukup hanya membayangkan saja.
Bicara tentang Ken, apa yang terjadi dengan dia? Benarkah karena takut gelap? Padahal aku sudah membayangkan momen romantis saat lift mati tadi. Aku baru ingat, aku belum sempat protes sama papi tentang lift tadi. Keburu kabur karena kesel dan kecewa.
Tak terasa Mang Asep telah membukakan pintu mobil untukku. Yang tandanya kami telah berada di halaman rumah. Aku tak langsung keluar dari mobil. Dengan berbagai perasaan yang berkecamuk, aku masih enggan untuk memasuki rumah itu.
“Mang, kita pergi lagi saja.” Aku menatap Mang Asep, dia kelihatan begitu bimbang.
“Tapi, Non--”
“Kalau Mang Asep nggak mau, aku pergi sendiri naik taksi.” Aku sudah hendak keluar mobil jika saja Mang Asep tak mengiyakan perintahku.
“Ba-baik, Non.” Segera Mang Asep menutup kembali pintu mobil, dan menuruti perintahku.
Mobil kembali melaju meninggalkan halaman. Aku sendiri tak tahu akan ke mana. Yang penting aku belum mau pulang ke rumah. Handphone sengaja kumatikan karena aku benar-benar tak ingin digangggu.
“Ke-kemana ini, Non?” tanya Mang Asep sesaat setelah mobil keluar dari gerbang.