1. Rencana

1301 Words
Pria beriris hitam itu menatap tajam ke arah taman di hadapannya melalui balkon kamar. Segelas minuman yang menyengat di penciuman menemaninya malam ini. Diteguknya cairan berwarna merah kehitaman itu sedikit, menghadirkan rasa panas yang ternikmat dalam tenggorokan. Sedetik kemudian dia meletakkan kaca bening itu di meja tepat di sampingnya. Terbaring di kursi panjang, dia menselonjorkan kaki dan menyandarkan kepalanya sampai menatap langit ruangan yang tampak hitam pekat tanpa gemintang. Dia suka suasana seperti ini. Bara Oliver Aditama. Ingatannya terlempar saat dirinya memasuki sebuah toko buku dua minggu yang lalu seorang diri. Tangan kekar dengan tato burung elang di bagian lengan, gambar sayap yang menyentuh punggung tangan itu sedang memilah buku-buku pada deretan rak berisi buku yang bergenre Romance. Membaca blurb di bagian belakang mencari cerita mana yang sekiranya menarik. "Aduh." Seseorang menabrak kakinya. Dia menoleh ke sisi kanan di mana dia ditabrak. Wajahnya menunjukkan raut terkejut kala pelakunya adalah seorang anak-anak. Dia meletakkan buku yang sempat dipegang pada barisan rak kembali dan mulai berjongkok untuk membantu bocah laki-laki yang diperkirakan berusia sepuluh tahun itu. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. Dia mengulurkan tangan dan memegang lengah bocah itu lalu meneliti apakah ada luka. "Josh. Kenapa kamu duduk di lantai?" Suara seorang membuat dia menoleh. Seorang wanita dengan rambut hitam tergerai panjang mendekat dengan wajah khawatir. Dia sempat terpaku melihat wajah cantik itu. "Kamu kenapa?" tanya wanita itu lagi ketika berjongkok di samping bocah tadi. "Aku jatuh." Suara itu menyadarkan si pria yang masih terpaku dengan sosok wanita di sampingnya. Dia pun beralih pada buku-buku yang berserakan di bawah, yang diyakini milik bocah tadi. "Kamu ini ada-ada saja." Melalui ekor mata dia melihat wanita tadi membantu bocah yang telah menabrak dirinya tadi untuk berdiri. "Ini bukumu." Dia memberikan buku pada bocah yang dipanggil Josh tadi. "Terima kasih, Om. Maaf karena tidak sengaja menabrak Om tadi." Bocah itu berujar dengan sopan. "Apa?" Wanita yang tadi merasa khawatir kini malah berkacak pinggang menghadap bocah di hadapannya. "Kamu menabrak orang?" Bocah itu mengangguk dengan ketakutan. "Sudah Bibi bilang tunggu Bibi dulu." "Lagian, Bibi. Sibuk sama novel sendiri. Josh, kan ada tugas ke sini." Bocah itu membela diri dengan mencebikkan bibir. "Ah tidak apa. Santai saja," ucap pria itu memotong perdebatan dua orang di hadapannya. "Aku tidak apa. Sungguh." Tatapan mereka bertemu. "Tetap saja dia bersalah. Aku minta maaf mengenai hal itu." Wanita itu memasang wajah menyesal. Si pria menggeleng. "Tidak apa." "Minta maaf sana." Lagi. Wanita itu memarahi si bocah. "Tadi, kan sudah." Di saat dua orang di hadapannya sedang berdebat, dia memilih untuk membungkuk kembali meraih beberapa tumpukan buku yang masih tertinggal. kalau ini sepertinya punya wanita tadi saat berjongkok. Kening pria itu mengernyit saat membaca sebuah judul di sampul buku. Bibirnya menarik sebuah senyuman. Dia bangkit dan mengulurkan bukunya. "Punyamu?" Suaranya berhasil menghentikan perdebatan dua orang itu kembali. Si wanita menoleh. "Ah, iya. Terima kasih," jawabnya sembari meraih buku dari tangan si pria. "Sama-sama." "Sebagai permintaan maafku atas kecerobohan anak ini, mari aku traktir kamu minum." Wanita itu memberikan senyuman tipis yang entah kenapa dia suka padahal baru pertama dia melihatnya. "Bibi mau mentraktirnya? Aku tidak percaya. Pasti itu uang Mama yang digunakan." Bocah itu berujar dengan memeluk bukunya. "Pasti. Ini adalah salahmu yang sudah menabraknya. Jadi, kau harus mentraktirnya." Dia hanya terkekeh saat melihat dua orang di hadapannya kembali berdebat. "Bagaimana?" Wanita itu meminta jawaban. Setelah beberapa waktu terdiam, akhirnya dia pun mengangguk. "Bagus. Yuk kita ke kafe terdekat." Dia mengulurkan tangan "Grizealla. Panggil saja Zea." Dia meraih tangan itu lalu saling berjabat tangan. "Bara," ucapnya memperkenalkan diri. Mereka berjalan keluar dari toko buku. Saat pembayaran, dia sebagai lelaki tidak akan membiarkan dua orang ini membayar sendiri saat mereka bersamanya. Pastinya dia akan mentraktir meski sempat mendapat penolakan. "Kukira dia putramu," ucapnya ketika mereka sudah mendapatkan tempat duduk di salah satu kafe. "Dia? Anakku?" Wanita itu bertanya yang mengundang anggukan darinya. "Bukan. Bisa mati berdiri aku kalau punya anak seperti dia." "Kau kasar, Bibi. Aku doakan saat kau hamil nanti, anakmu akan sepertiku." Bocah tadi memasang wajah kesal. Namun, ucapannya membuat si pria mengerutkan kening dan berpikir. "Hah Aku pun yakin suamiku tidak akan mau mempunyai anak nakal sepertimu." Wanita itu mengacak rambut bocah di sampingnya dengan tawa yang lagi-lagi berhasil menghipnotis dirinya. "Kau, sudah mempunyai suami?" tanyanya ragu. Wanita itu menoleh lalu mengangguk. Detik selanjutnya dia memasang wajah jahil. "Kenapa? Apa kau patah hati karena terlanjur mencintaiku di pandangan pertama?" "Kalau iya, apa kau akan marah?" ucapnya langsung. Dia menyadari perubahan mimik wajah pada wanita di hadapannya. Ada senyum canggung yang terlihat. Dia melirik bocah laki-laki tadi beruntungnya anak itu tidak menghiraukan pembicaraan mereka. Tatapannya kini beralih pada tumpukan buku yang ada di samping wanita itu. "Kamu suka baca novel?" "Iya." Lihatlah perubahan mimik wajah itu, begitu cepat. Kini tampak bersemangat. "Aku suka sekali baca novel untuk membunuh waktu luangku yang membosankan." Wanita di hadapannya mengambil satu buku yang paling atas, lalu menunjukkan sampul buku itu pada dirinya. "Apalagi buku-buku karya KingDark ini. Aku suka sekali semua karya dia. Semua tulisannya sangat bisa membawa pembacanya seperti menjadi tokoh di dalam novel. Meskipun hampir semua ceritanya bertema Dark Romance. But, aku tetap suka dengan penjabarannya yang detail." "Oh, ya?" tanya pria itu dengan penasaran. Wanita di hadapannya mengangguk semangat. "Iya. Buku ini beberapa waktu lalu open PO. Aku sudah membelinya, tapi dirusak sama dia." Wanita itu melirik bocah yang tampak acuh sembari menikmati es krimnya. "Makanya aku sekarang membelinya lagi." Beberapa detik selanjutnya wanita itu kembali mengubah mimik wajahnya. "Adai saja aku bisa bertemu dengan penulisnya. Aku akan meminta tanda tangannya yang besar untuk dipajang di kamarku." Kening pria itu mengerut. "Apa suamimu tidak marah kalau kamu memasang tanda tangan orang lain di kamar kalian?" "Kenapa harus marah? Toh hanya tanda tangan. Lagi pula, aku mempunyai kamar khusus untuk buku-bukuku. Dan aku akan memajangnya di sana." "Kalau begitu kenapa tidak mengajak penulis itu untuk bertemu?" Pria itu memberi saran. Sayangnya, sosok di hadapannya malah mengibaskan tangan. "KingDark itu penulis yang sangat misterius. Semua akun yang dia gunakan untuk menulis dan promosi bukunya hanya menggunakan nama pena dia. Tidak ada yang tahu akun pribadi dan kehidupan pribadinya. Mungkin dia tidak ingin terganggu." Wanita tadi mencondongkan tubuhnya. "Sampai sekarang tidak ada yang tahu dia laki-laki atau perempuan. Tapi, melihat dari namanya aku menduga kalau dia adalah laki-laki." Kening pria tadi mengerut. "Kenapa kamu yakin sekali?" Mengedikkan bahu, wanita dengan pakaian berwarna putih itu menjawab, "Hanya menduga saja dari nama penanya yang ada kingnya." Dia terkekeh. "Kasihan sekali belum pernah bertemu. Kira-kira kalau nanti ada kesempatan bertemu mau?" tanya si pria. "Tentu saja." Jawab bersemangat itu membuat si pria tertawa sampai harus menutupi mulutnya dengan menggunakan tangannya yang bertato. Dia melihat bola mata yang menatap takjub ke arahnya. "Kenapa?" "Tatonya keren." Wanita itu mengulurkan tangan, dia sempat terkejut saat tangannya dipegang. Perasaan aneh menjalari tubuhnya. "Jadi ingin buat tato," ucap wanita itu yang masih meneliti setiap detail gambar elang di tangan dari pria yang baru dikenalnya hari ini. "Buat saja." Bibir pink itu mengerucut. "Suamiku tidak akan suka." "Kenapa? Bukankah menikah harus saling mendukung, memberi dan menerima?" Mereka sama-sama terdiam. Menatap begitu intens seperti saling menyelami satu sama lain. "Apakah Anda akan mengumumkan sekarang, Tuan?" Pertanyaan itu menyadarkan seorang pria yang sedang menikmati ingatannya di atas sofa. Mata terpejamnya terbuka, dia menegakkan tubuh dan duduk dengan tegak. Menatap dalam ke depan. "Sudah kau selidiki siapa wanita itu, Ridwan?" Pria dengan kemeja hitam rapi itu mengangguk. "Sudah, Tuan." Senyum pria yang dipanggil Tuan itu tersenyum. "Umumkan sekarang dan pastikan dia ikut." Tanpa menoleh, tidak lama suara pintu tertutup menandakan dirinya telah sendiri. Pria itu mengangkat tangan kiri yang memiliki tato elang itu. Sebuah gambar yang disukai oleh wanita yang dia temui beberapa waktu lalu. Dia memegang punggung tangannya. "Sebentar lagi, aku akan membuatkan gambar di salah satu bagian tubuhmu," ucapnya dengan kilat mata tajam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD