2. Pertengkaran

1281 Words
"Alin. Kamu siapkan buket bunga belasungkawa pesanan keluarga Pak Burhan, ya." Zea meletakkan sebuah kertas berisi nama yang akan ditulis pada rangkaian bunga pesanan langganannya. Perempuan dengan kacamata bernama Alin itu mengangguk. "Iya, Kak Zea." Menggunakan bando warna biru dengan rambut tergerai, Zea beralih ke arah meja di mana rangkaian bunga mawar merah dan putih yang kapan lalu dia rangkai hampir selesai. Sembari menyenandungkan lagu, dia melanjutkan kembali pekerjaannya. "Permisi. Saya mau mencari bunga." Suara seseorang membuat Zea menghentikan kegiatan. Dia mendongak dan beberapa detik kemudian menganga. Tangannya terangkat menunjuk seorang pria yang berdiri di hadapannya. "Kamu ...." Pria itu hanya menarik senyuman tipis. Senyum itu menular pada dirinya. "Kenapa bisa ada di sini?" "Memangnya kenapa kalau aku ke sini? Ini toko bunga. Bukankah siapa saja bisa datang ke sini?" Pria itu memberikan tatapan intens. Zea terkekeh. "Baiklah, Bara." Pria yang ditemuinya secara tidak sengaja di toko buku beberapa minggu lalu itu memang sudah beberapa kali bertemu dengannya dan terlibat obrolan beberapa waktu. Entahlah. Ketidaksengajaan itu terlalu sering menurut Zea. Akan tetapi, wanita itu tidak ambil pusing. "Mau cari bunga?" tanya Zea. Pria dengan kaus hitam yang menggambarkan otot kekar pada lengan itu mengangguk. "Iya." "Mau cari bunga apa?" Pandangan pria itu mengedar, lalu kembali menatap dirinya. "Bunga yang melambangkan persahabatan itu bunga apa, ya?" Kerutan tercipta di kening Zea. "Biasanya mawar kuning." "Ya sudah. Aku mau satu." "Oke." Zea segera melangkah ke kereta bunga mawar kuning. Dia tahu kalau pria itu mengikuti langkahnya. "Sudah umur segini masih saja sahabatan. Harusnya melamar." "Memangnya boleh?" tanya Bara. "Kenapa tidak?" Zea berhenti lada kereta bunga yang dicari. Dia meraih satu dan berjalan kembali ke arah meja untuk membungkusnya dengan rapi. "Selesai." Zea memberikan bunga itu lada Bara. "Terima kasih." Zea hanya mengangguk. Beberapa detik kemudian dia menatap bingung saat pria di hadapannya memberikan bunga itu padanya. "Kenapa?" "Aku ingin mengajakmu menjalin sebuah persahabatan," jawab pria itu dengan sebuah senyum satu sudut bibir. Zea memiringkan kepalanya menatap Bara. "Apa kamu sedang mencoba merayuku?" Bara hanya mengedikkan bahu. "Katakanlah seperti itu." Wanita dengan rok span di atas lutut itu menggelengkan kepala pelan. "Aku sudah bersuami loh." "Apakah ada larangan di negara ini untuk bersahabat dengan wanita yang bersuami?" tanya Bara dengan santai. Zea melirik ke atas, dia mencoba berpikir. "Aku rasa tidak." Dengan senyum mengembang dia menerima pemberian bunga dari Bara. "Ngomong-ngomong, kamu tahu? Penulis favorit aku mengadakan giveaway loh. Liburan bersama dia ke puncak." Zea menceritakan dengan semangat, menyalurkan kebahagiaan dalam diri Bara. "Benarkah?" tanya Bara dengan mimik terkejut. Dia menaikkan alisnya. Zea mengangguk cepat. "Iya. Dan hari ini adalah pengumumannya. Itu mengapa hari ini aku sangat bersemangat, karena sedang menunggu. Semoga aku menjadi salah satu pemenangnya." "Semoga," timpal Bara. "Jadi, kamu ke sini hanya mau membeli bunga untu—" "Kak Zea. Sudah waktunya." Teriakan dari seorang perempuan di meja kasir membuat kalimat Zea terpotong. Wanita dengan baju putih itu menoleh, lalu melihat jam dinding. Saat itulah wajahnya semakin menunjukkan raut kebahagiaan. Detik kemudian Zea menatap Bara. "Ini sudah waktunya," seru Zea bersemangat. Wanita itu melangkah ke meja kasir untuk meraih ponselnya. Bara yang melihat itu hanya tersenyum tipis sembari menggelengkan kepala. Dia pun mengikuti langkah Zea ke arah kasir. Wanita yang sedang berkutat dengan ponsel itu mulai membuka aplikasi **, di mana pengumuman yang ditunggu akan ditampilkan di sana. Rasanya tidak sabar. Kabar telah ada. Zea mulai membaca mencari namanya dengan harapan terselip di sana. Beberapa saat kemudian, mulut wanita itu terbuka lebar diikuti teriakan yang memekakkan telinga. Bahkan Bara harus menutup kedua telinganya dengan tangan. "Namaku ada!" teriak Zea. Wanita itu melompat dan langsung memeluk Bara spontan karena terlanjur bahagia. "Aku masuk dalam peserta yang akan ke puncak bersama KingDark." Semua karyawan toko bunga di sana menatap Zea dengan senyuman. Bara, yang tiba-tiba saja mendapat pelukan dari Zea masih tampak terpaku dengan apa yang dilakukan wanita itu. Bola matanya berkedip beberapa kali dengan tangan mengambang. Beberapa saat kemudian dia tersadar dan mulai memeluk punggung Zea. "Selamat, ya," ucapnya pelan. Percayalah dia tidak bisa fokus karena terlalu mabuk dengan aroma tubuh wanita dalam pelukannya ini. "Selamat Kak Zea." Ucapan dari beberapa karyawan toko membuat Zea melepaskan pelukan pada Bara. Dia menatap satu persatu pegawainya. "Terima kasih," ucapnya penuh haru. "Akhirnya aku akan melihat wajah KingDark." Wanita itu kembali berteriak meluapkan kebahagiaan. *** "Akhirnya!" teriak seorang pria dengan wajah mendongak dan tubuh bergetar. Sosok itu baru saja mencapai pelepasan yang sedari tadi dikejar. Seperti biasa, dia akan membalikkan posisi ke sisi tubuh sang istri setelah melepaskan penyatuan. Menetralkan pernapasan dengan memejamkan mata. Beberapa saat kemudian matanya terbuka kala merasakan pergerakan dari sisi ranjangnya. Dia melihat istrinya bangkit. Dani mulai memerhatikan wajah istrinya. "Kamu kenapa?" tanya Dani. Zea yang akan ke arah kamar mandi menghentikan langkahnya. Dia menoleh menatap sang suami. "Tidak apa." "Kalau tidak apa kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Dani. Kedua alisnya menukik naik saat menatap wajah Zea. "Wajahku kenapa?" Kini Zea yang melontarkan pertanyaan. "Akhir-akhir ini aku perhatikan wajahmu selalu ditekuk setiap setelah kita bercinta. Apa kau tidak ikhlas melayaniku?" Dani bangkit dari ranjang. Zea tertawa sinis. "Aku kamu bilang tidak ikhlas? Kalau tidak ikhlas sudah tidak akan aku berikan lagi jika kamu meminta." Mendengar ucapan Zea membuat Dani tersulut emosi. "Apa maksudmu?" "Aku bukannya tidak ikhlas. Aku hanya kesal," ucap Zea dengan jengah yang juga mulai tersulut emosi. "Itu artinya kau tidak ikhlas." "Aku bukan tidak ikhlas." Zea menaikkan volume suaranya. Beruntung mereka hanya tinggal berdua. "Aku hanya ingin meminta pelepasan darimu saat kita bercinta. Bukan hanya kamu yang bisa merasakannya. Apa tidak boleh? Apa itu salah?" "Kenapa kamu seperti menuntut begitu?" tanya Dani dengan tatapan menyalang. "Itu bukan tuntutan!" Sekali lagi Zea berteriak. "Tapi pelepasan dan kenikmatan harus bisa kita rasakan bersama-sama saat kita bercinta. Bukan hanya seorang saja." "Halah. Bukankah melayani suami di atas ranjang adalah memang tugasmu sebagai istriku?" Dani menunjuk wajah Zea menggunakan jarinya. "Ini bukan hanya sekedar mengenai tugasku. Tapi sesuatu di atas ranjang pun berhak didapat oleh istri. Sedangkan kamu tidak pernah memikirkan hal itu. Kamu hanya peduli dengan kepuasanmu saja, tidak pernah memikirkan aku." Zea menunjuk dadanya. "Banyak omong." Dani mengayunkan tangan ke arah Zea membuat pipi sang istri menimbulkan warna merah dengan cap lima jari. Wanita itu sampai mengubah arah pandangan saking kerasnya sebuah tamparan yang baru saja didapat. Senyum miring pun terukir di bibirnya. Detik selanjutnya dia menatap Dani dengan sorot mata penuh luka. "Jadi aku hanya memang sebatas pelacurmu? Yang akan memuaskan hasratmu di atas ranjang tanpa perlu kamu repot-repot memikirkan perasaanku?" Dani yang masih terkejut dengan apa yang dia lakukan tampak terpaku menatap telapak tangannya. Masih bisa dia rasakan panas di sana akibat benturan dengan pipi Zea yang biasanya dia elus lembut. Zea menarik napas dalam. "Baik. Aku akan menanamkan hal itu dalam diriku agar tidak pernah menuntut kepuasan darimu." Zea meraih bathrob dan memakainya cepat. Niat hati ingin ke kamar mandi dan melakukan yang biasanya dilakukan tak ada selera lagi. Wanita itu melangkah ke arah pintu kamar dan keluar dari ruangan yang biasa ditempati dirinya dengan sang suami. Menuruni tangga dan memasuki sebuah ruangan di mana deretan rak dengan buku-buku tertata rapi. "Zea. Sayang tunggu." Suara Dani tidak dihiraukan. Dia menutup pintu dan segera menguncinya. Tidak perlu berisik dengan suara sang suami karena ruangan ini kedap suara. Zea melangkah cepat ke sudut ruangan di mana terdapat sebuah ranjang yang tidak terlalu besar namun muat dua orang itu—tempat dia biasa memanjakan diri dengan buku-buku novel yang disukanya. Zea membanting tubuh ke kasur, menenggelamkan wajah pada bantuan dan mulai menangis sejari-jadinya. "Egois." Dia memukul kasur di sisi tubuh. Ini bukan hanya mengenai gila akan sebuah hubungan badan. Akan tetapi bagaimana seorang perempuan juga berhak mendapatkan sebuah hasil dari hubungan di antara suami istri di atas ranjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD