BAB 49

2225 Words
“Sekali aku bilang gak mau, ya gak mau, Mel. Bisa gak sih jangan bahas ini erus, aku capek!” ucap Dimas sembari membenarkan dasinya yang miring, memperhatikan wajahnya yang tampak kesal akibat pertanyaan Ameliya yang itu-itu saja sejak tadi malam. Semenjak kedatangan Doni ke rumah dan membujuknya untuk kembali tinggal bersamanya, Ameliya terus menerus mendesak Dimas untuk bisa mengabulkan permintaan Doni. Walau pun sebenarnya tanpa sepengetahuan Dimas, Ameliya sendiri pun merasa enggan jika harus kembali ke sana, mengingat di rumahnya kini, dia bisa melakukan apa pun yang dia inginkan tanpa da rasa segan dan sungkan seperti dulu. Apa lagi kini dirinya bisa begitu dekat dengan Adit dan Nisa serta Audy dan kedua adiknya Nina dan Aden. Rasanya dia tidak ingin kembali ke rymah kedua orang tuanya. Namun kalimat permohonan Doni yang memintanya kembali, disertai dengan mimic wajah menyedihkan, membuat Ameliya tidak tega menolak permintaannya. Doni sudah menyesali semua perbuatannya, dan rasanya, tidak adil baginya jika permintaan kecilnya, tidak bisa dikabulkan Ameliya dan Dimas. “Kita bisa datang berkunjung ke sana sabtu dan minggu, tapi tidak untuk kembali tinggal di sana,” lanjut Dimas lagi yang kini berallih mendekati Ameliya yang masih duduk di pinggir tempat tidur, denga tangan kanan terulur ke arah Dimas memberikan handphone sang suami yang sejak tadi dia genggam. “Tapi, Dim ….” “Sekarang jawab pertanyaanku,” potong Dimas cepat. “Kamu sebenarnya mau tinggal di sana, apa tetap berada di sini dengan keluarga kecil kita? Tanpa campur tangan keluargaku seperti dulu?” tanya Dimas yang jelas saja membuat Ameliya bungkam. Dia benar-benar bingung harus berkata jujur atau bohong kali ini. Dia tidak ingin kembali ke sana, itulah yang sebnearnya ada di hatinya. Namu lagi-lagi ekspresi wajah Doni berputar di ingatannya. Ameliya tertunduk, lantas menghela napas berat. Helaannya membuat Dimas paham bahwa sang istri pun sama sepertinya, sama sekali tidak ingin kembali ke rumah Aurum mau pun Doni. Dimas duduk di samping sang istri. Kali ini dia redam emosinya yang hampir melonjak ke permukaan. Dimas menggenggam tangan Ameliya yang sejak tadi berada di pangkuan wanita yang kini mengandung bayi yang sebentar lagi akan terlahir ke dunia. Ameliya mengarahkan tatapannya ke Dimas, Dimas tersenyum tulus yang berhasi membuat hati Ameliya tenang karenanya. “Kamu tidak ingin, kan?” tanya Dimas yang perlahan dijawab Ameliya dengan anggukan kepala. “jadi jangan paksa aku lagi untuk kembali ke sana ya, Sayang?” pinta Dimas yang membuat Ameliya kembali menarik napas panjang lantas mengembuskannya perlahan. “Tapi Papi gimana?” tanya Ameliya bingung bukan main. Janjinya untuk memberikan jawaban akan permintaan Doni hari ini, membuatnya bingung harus mengatakan apa. Dia benar-benar tidak tega jika harus menyakiti Doni lebih dalam. Dia takut, Doni kembali marah padanya yang membuatnya kembali menjad sosok Doni yang menyebalkan. Hingga membuat kedua anaknya ketakutan karenanya. Terutama Zyo yang sebenarnya sangat menyayangi pria itu lebih dari sang istri. “Bilang saja, kalau kamu dan aku ingin tetap tinggal di sini, kita ingin sama-sama membangun keluarga kecil kita sendiri. Kita ingin mandiri,” jawab Dimas dengan nada suara menenangkan. “Lagi pula, Papi juga gak bakalan bisa maksa kita. Dia tau kalau aku sudah ambil keputusan untuk pindah. Dan sejak dulu, apa pun yang kuputuskan, tidak akan aku batalkan. Jadi kalau pun dia nantinya marah karena penolakan kamu, dia tdak akan membencimu, Sayang. Karena dia tau. Keputusan itu diambil atas persetujuanku.” Dimas mengusap kepala Ameliya lembut. “Jadi jangan cemas. Papi sangat menyayangi kamu, dia tidak akan pernah tega marah sama anak kesayangannya.” Ameliya tertawa mendengarnya. Sejak dulu, tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dimas, Dimas selalu saja menganggap Doni lebih menyayangi Ameliya dari pada dirinya sendiri. Doni yang selalu saja membela Ameliya dibandngkan Dimas, membuat Dimas mau pun Aurum menganggap bahwa Ameliyalah sang anak kandung yang sebenarnya, bukan Dimas. Dan hal itu selalu jadi bahan Dimas untuk menyindir Ameliya. “Mami.” Sebuah seruan membuat keduanya mengalihkan pandangan. Terlihat Zyo berdiri di depan pintu kamar Ameliya yang sejak tadi memang terbuka. Ameliya langsung meminta Zyo yang masih memakai pakaian tidur, untuk masuk ke dalam. Zyo menurut dan langsung duduk di pangkuan Dimas yang langsung menangkap tubuhnya. “Ada apa, Sayang?” tanya Dimas. “Kok Zyo belum mandi, emangnya hari ini gak sekolah?” Zyo menggelengkan kepala, “Hari ini, Zyo boleh ya gak sekolah, Pi?” tanya Dimas dengan nada suara memelas. “Zyo mau di rumah aja hari ini, boleh ya?” “Lho, kenapa?” tanya Ameliya heran. Untuk pertama kalinya Zyo meminta tidak sekolah. Padahal biasanya dialah yang selalu saja antusias untuk hadir ke sekolah agar bisa belajar dan bermain bersama teman-temannya. Bahkan saat sakit pun, Zyo tetap saja memaksa untuk hadir di sekolah. Meski pun Dimas sudah melarangnya, Zyo terus saja memaksa, bahkan jika tetap tidak dibolehkan Zyo malah memilih untuk menngurung diri di kamar seharian. Namun kali ini, malah dirinyalah yang meminta untuk tetap berada di rumah. Sesaat Ameliya beradu pandang ke Dimas, Ketika Zyo menundukkan kepalanya. “Kenapa Zyo gak mau sekolah?” tanya Dimas dengan nada suara yang tetap rendah. “Bukannya Zyo selalu suka sekolah, agar bisa bermain sama teman-teman? Kasihan dong teman-temannya kalau Zyo gak masu sekolah, mereka malah kecarian nanti.” Zyo menghela napas pelan, “Karena Zyo mau jagain Adek Zenia hari ini,” ucap Zyo lagi sembari mengarahkan tatapannya ke Ameliya. “Kemarin Zyo udah salah karena buat Adek Zenia jatuh, dan hari ini Zyo mau jagain Adek Zenia biar gak terjatuh lagi. Zyo mau buktikan ke Papi sama Mami, kalau Zyo abang yang baik buat Adek. Boleh ya?” tanya Zyo yang langsung membuat Ameliya dan Dimas paham maksud dari permintaan Zyo hari ini. Ameliya tersenyum tulus, mengusap kepala Zyo yang masih menatapnya penuh harap. “Kalau Zyo gak sekolah, Adek Zenia malah menganggap Zyo bukan abang yang baik,” ucap Ameliya yang langsung mengubah ekspresi memelas Zyo, menjadi ekspresi kebingungan. “Kok bisa, Mi? bukannya adek harusnya lihat Zyo jadi abang yang baik kalau Zyo tetap di rumah jagain Zenia?” tanya Zyo yang masih saja tampak bingung. Ameliya menggelengkan kepala, “Zyo salah. Malah Zenia bakalan berpikir, kok abang bolos-bolos sekolah, seharusnya Abang Zyo rajin sekolah biar nanti bisa ngajari Zenia saat adek udah bisa sekolah. Kalau abang bolos, berarti abang bukan abang yang baik, tapia bang yang nakal, karena gak masuk sekolah. Nilai pelajaran Zyo bisa turun, terus kalau Zenia tau, bisa-bisa dia kecewa sama abangnya,” ucap Ameliya dengan nada suara lucu. “Benar kan, Pi?” tanya Amelliya seolah meminta dukungan Dimas agar Zyo mengurunngkan niatnya untuk tidak sekolah. “Bener,” jawab Dimas. “Jadi abang gak boleh gak sekolah. Kalau soal Zenia siapa yang jaga, kan ada Mami dan Nek Sum di rumah. Papi juga hari ini bakalan cepat pulang karena gak ada pasien yang operasi hari ini. Jadi Zyo gak perlu khawatir tentang Zenia.” Dimas mengusap kepala Zyo. “Soal kejadian kemarin, Mami sudah cerita semuanya dan Zyo gak salah, jadi jangan terus menerus mikir kalau Zyo salah ya?” Zyo menganggukkan kepala yang membuat Dimas dan Ameliya tersenyum melihatnya mengerti maksud dari ucapan keduanya. “Jadi sekarang,” tambah Dimas sembari menurunkan Zyo dari pangkuannya. “Zyo siap-siap, mandi terus pakaian. Hari ini Papi yang akan ngantar Zyo ke sekolah. Zyo gak usah naik bis sekolah, sama Papi aja, gimana?” “Papi serius?” tanya Zyo tampak semangat mendengar tawaran dari Dimas. Dimas mengangguk cepat yang membuat Zyo melompat kegirangan. “Tunggu ya, Pi, Zyo mandi sebentar aja!” serunya sembari ebrlari ke luar kamar emnuju kamarnya di lantai atas. “Pelan-pelan, jangan lari-lari naik tangga!” seru Ameliya sembari menyandarkan kepalanya di pundak Dimas yang merangkulnya penuh kasih sayang. “Persis seperti maminya, malas sekolah!” ledek Dimas. “Apaan sih, enggak ya!” seru Ameliya yang membuat Dimas tertawa karenanya. *** Yura menanti di lobby. Janji temu dengan Yoko hari ini di kantor majalah milik Yoko, ahirnya dia tepati walau dengan sidikit drama di rumah. Audy yang ngotot ingin ikut, membuat yura menciptakan beribu alasan agar Audy tidak ikut dengannya. Sebenarnya Yura bukan tidak ingin Audy ikut bersamanya. Dia malah senang jika Audy menemaninya di waktu-waktu penuh deg-degan yang kini dia alami seorang diri. Namun Yura tidak ingin ada siapa pun tahu di kantornjya kini, bahwa dia adalah adik dari Audy. Dia tidak ingin dianggap masuk atas nama Audy. Dia ingin semua orang menganggap bahwa dia berhasil lulus dan bekerja di majalah ternama milik Yoko, dengan kemampuannya sendiri. Sudah hampir lima belas menit Yura menunggu, namun Yoko belum juga hadir menemuinya. Menurut seorang wanita yang menjaga meja informasi, Yoko sedang ada rapat penting di lantai tiga. Dan atas perintah dari Yoko, Yura diminta untuk menunggunya di lobby. Seharusnya, yura di minta masuk ke ruangannya untuk melakukan wawancara, namun anehnnya, Yoko malah memintanya menanti di lobby tepatnya di bagian penerima tamu. “Permisi, dengan Mbak Yura?” seorang wanita datang menghampirinya. Bukan, dia bukan wanita yang sebelumnya berbicara dengan Yura di balik meja informasi. Wanita yang satu ini tinggi semampai, dengan rambut dicepol rapi. Pakaiannya jua rapi, kemeja berwarna cokelat dengan dipadukan celana panjang kulot berwara hitam. Dia tampak sangat elegant dengan riasan wajah yang sempurna di mata Yura. Terlihat seperti wanita berkelas yang begitu cantik. “Iya, saya Yura,” jawab Yura sembari berdiri. “Duduk saja, Mbak,” ucap wanita itu sembari duduk di sofa berbeda di depan Yura. Keduanya kini duduk saling berhadapan dengan meja kaca di tengah-tengah keduanya. Wanita itu tersenyum ramah sembari meletakkan beberapa map di atas meja, latas tampak duduk dengan posisi tubuh tegak di hadapan Yura. Benar-benar gaya tubuh yang begitu diatur hingga membuat Yura sedikit malu jika duduk dengan posisi membungkuk sedikit saja. Yura langsung menegakkan posisinya sembari berusaha tersenyum lebar. “Perkenalkan, saya Melly, asisten pribadinya Bapak Yoko,” ucapnya memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan yang langsung disambut Yura. Keduanya sesaat berjabat tangan. Yura menyebutkan namanya yang setelahnya, keduanya langsung melepaskan jabatan tangan masing-masing. “Bapak sudah memnta saya untuk menemui Mbak Yura di sini, untuk saya wawancara sedikit,” ucapnya lagi. “Sebelumnya saya mau tanya dulu, Mbaknya sudah pernah bekerja?” tanya Melly sedikit tampak hati-hati, takut jika Yura tersingggung akibat pertanyaannya yang baginya seidkit sensitive. Yura menggelengkan kepala, “Saya belum pernah bekerja,” jawab Yura. “Saya langsung menikah saat saya baru saja tamat sekolah, dan saya tidak dikasih izin bekerja oleh suami.” “Dan sekarang, kenapa anda akhirnya melamar pekerjaan?” tanya Melly sedikit merasa heran dengan keputusan Yura. “Apa nanti tidak ada masalah ke depannya, suami anda tidak akan datang dengan situasi marah-marah ke sini, kan?” Melly tampak waspada. Dia takut jika ke depannya ada masalah yang mengusik ketenangan tempatnya bekerja. Yura menggelengkan kepala yang masih saja membuat Melly mengerutkan kening bingung dengan jawaban yang dia terima. “Saya sudah bercerai beberapa tahun lalu,” jawab Yura sembari tersenyum tipis. “Dan saat ini, saya tidak terikat dengan hubungan pernikahan sama siapa pun. Maka dari itu saya mencoba melamar pekerjaan di tempat ini.” Melly akhirnya paham dengan situasi di hidup Yura. Dia mengangguk pelan dan sedikit merasa tidak enak karena sudah menyinggung dan membahas masalah pribadi Yura yang seharusnya tidak dibahasnya dalam sesi wawancara. Namun Yura sendiri mengerti, bahwa Melly cukup merasa takut jjika pengujiannya terhadap pegawai baru ternyata salah besar. Tannggung jawab ada di kedua tangannya, walau pun Yura sendiri sudah sangat mengenal Yoko dan mempunyai hubungan darah dengan Audy. “Baiklah kalau begitu, Pak Yoko bilang juga ke saya, kalau anda sempat melayangkan surat lamaran pekerjaan di kantor ini ke rumah Pak Yoko langsung makanya anda diminta untuk datang hari ini,” ucap Melly yang jelas saja kali ini membuat Yura bingung. “Sebenarnya hal itu sangat tidak disukai Pak Yoko. Dia paling benci jika ada pelamar yang langsung menemuinya di rumah atau pun mengirimkan surat lamaran ke rumahnya. Karena baginya, kerjaan ya di tempat kerja, dan di rumah adalah urusan rumah. Pak Yoko paling tidak suka jika urusan pekerjaan dibawa ke rumah.” Melly tampak serius kali ini. “Tapi anda beruntung, karena salah satu posisi di kantor ini sedang ada yang kosong. Pegawai sebelumnya baru saja resign karena menikah, dan karena itulah Pak Yoko memanggil anda ke sini untuk di wawancarai. Kalau tidak, jangankan pelamar asing seperti anda, bahkan keluarganya sendiri atau pun yang punya hubungan darah sekali pun tidak akan dia terima kalau caranya seperti itu.” Asing? Kata itu membuat Yura sempat kaget mendengarnya. Akhirnya dia sadar, kalau Melly tidak tahu siapa dirinya sebenarnya di hidup Yoko. Di satu sisi, Yura lega karena Yoko merahasiakan siapa dirinya sebenarnya dari Melly. Namun di sisi lain, ada rasa perih di hatinya saat Melly mengatakan kata ‘Asing’ itu. Rasanya Yura merasa Yoko sudah menyakitinya secara tidak langsung. “Kalau begitu, saya akan memberitahu apa saja yang akan anda kerjakan di posisi yang anda tempati nanti,” ucap Melly tiba-tiba. “Maksudnya, saya diterima?” tanya Yura kaget. “Ya, anda diterima, selamat ya,” ucap Melly dengan senyuman lebar yang membuat Yura lega bukan main. Meski pun dia tahu, Yoko tidak akan mungkin menolaknya, namun ada rasa lega yang luar biasa dirasakan Yura yang untuk pertama kalinya, berada di tahap ini. Seolah kini, dia berhasi berdiri di kedua kakinya sendiri tanpa embel-embel nama orang lain seperti dulu. Saat dia masih bergantung pada Melody, dan juga Roszi. Apalagi Toni, mantan suaminya yang pernah menjadiknnya istri keempat da juga alas kaki untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD