BAB 51

3158 Words
Metta di buat kaget saat mendapati Aden tiba-tiba berhenti di hadapannya dengan motornya. Metta yang berniat pulang dengan angkutan umum, langsung terhenti. Aden membuka kaca helmnya, menyipitkan kedua mata seakan sedang tersenyum.. Tidak terlihat Nina di sana yang biasanya pulang bersamanya. Aden sendirian, yang membuat Metta seolah mengerti maksud dari apa yang dia lakukan sekarang. "Ayo naik, gue antar pulang," ajak Aden tanpa ragu, walau sebenarnya perasaannya malu bukan main. Untuk pertama kalinya dia mengajak perempuan untuk duduk di boncengan selain Nina. Dan anehnya, Aden malah nyaman saat berada di jalan bersama Metta. Metta menggelengkan kepala, "Gue pulang sendiri saja, gue masih bisa naik angkutan umum." Penolakan Metta jelas membuat Aden merasa sakit bukan main. Untuk pertama kalinya dia mendapatkan tolakan dari seseorang. Selama ini, tepatnya semenjak dirinya mendapatkan status sebagai ketua OSIS, Aden tidak pernah mendapatkan tolakan sama siapa pun. Apa pun yang dia putuskan, selalu saja disetujuii semua orang. Dan ini kali pertamanya. "Ada yang mau aku bahas," jawab Aden saat Menyadari Metta berlalu dari hadapannya. Meta berhenti, lantas berbalik menatapnya heran. Aden mengalihkan pandangannya ke Metta yang kini berdiri di sisi kanannya. "Ada masalah?" tanya Metta. "Kalau yang mau loe bahas tentang kehidupan gue dan mencoba mencari tau tentang kondisi keluarga gue, maaf ... Gue gak punya waktu." “Ini memang tentang kehidupan loe, juga tentang keluarga loe, tapi ini menyangkut pekerjaan yang lagi loe cari, bukan karena gue pengen tau tentang apa yang jadi rahasia keluarga loe." Aden berusaha tentang mempertahankan sikap cool yang selama ini tersemat di dirinya. "Pekerjaan?" tanya Metta yang langsung dijawab Aden dengan anggukan kepala. "Maksudnya?" "Naik saja dulu, kita duduk sebentar entah di mana, tenang saja, gue gak bakalan antar loe pulang ke rumah," ucap Aden yang sesaat membuat Metta ragu. Namun akhirnya dia menyetujuinya dan mengambil helm yang diberikan Aden. Metta naik ke atas motor Aden dan memasrahkan dirinya di boncengan Aden yang akan membawanya entah ke mana. Sementara itu, Nina memanyunkan bibirnya. Duduk di sebelah Bryan yang ditugaskan Aden mengantarkannya sampai ke rumah. Padahal Nina sudah menolak dan mengatakan bahwa dia bisa naik taksi saat Aden meminta Bryan mengnantarnya tadi, namun tetap saja, Ade yang sejak awal setuju Nina dijodohkan dengan Bryan, malah berbuat iseng dengan memaksa Bryan untuk tetap mengantarnya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sosok Bryan. Bahkan Bryan termasuk cowok idaan semua perempuan di sekolah setelah Aden. Tampangnya yang sedikit blasteran karena mengikuti sang ayah, membuatnya terlihat sangat tampan dengan kulit putih bersih. Senyumanya manis, dengan rambutnya yang sedikit kecokelatan. Sikapnya juga manis, bukan begajulan seperti cowok remaja lainnya yang ada di usianya. Bahkan yang membuat Nina dan semua cewek di sekolah mengacungkan dua ibu jari sekaligus, Bryan termasuk cowok yang taat beribadah. Sering kali dia kedapatan shalat tepat waktu di musholla sekolah. Bahkan tanpa Aden bersamanya. Namun anehnya, Nina malah menolaknya mentah-mentah. Sudah berbagai cara Bryan lakukan untuk dapat memenangkan hati Nina, tapi tetap saja Nina tidak juga meliriknya. Alhasil Aden yang menyadari perasaan sang teman, akhirnya membantunya untuk bisa berdekatan dengan Nina, termasuk kali ini, dengan memintanya mengantarkan Nina sampai ke rumah dengan mobilnya. Bryan melirik ke Nina yang masih saja menjuruskan tatapan ke luar jendelanya. Dia seakan enggan menatap sesaat saja ke Bryan yang begitu santai mengendarai mobil. Bryan menarik naaps dalam-dalam, lantas mengnembuskannya perlahan. Perlahan, Bryan menepikan mobilnya di halte bus yang jelas saja membuat Nina keheranan, dan menatap Bryan akhirnya. “Ngapain berhenti?” tanya Nina yang tampak benar-benar kaget dengan apa yang dilakukan Bryan kali ini. Biasanya dia akan berhenti saat sampai di rumah atau malah di depan café, untuk sekedar mengajak Nina makan siang bersamanya. Namun kali ini malah berbeda. “Kalau loe gak nyaman pulang dan satu mobil sama gue, loe bisa turun di sini aja,” ucap bryan. “lebih mudah dapat angkutan umum di sini dari pada di depan sekolah. Lagian, jarak antara sekolah dan halte bis ini cukup jauh, kalau sampai tadi kamu gak dapat angkutan umum, mau gak mau loe harus jalan panas-panasan ke sini, kan?” tanya Bryan yang masih saa belum mampu dibalas Nina. “Tumben.” Hanya itu yang bisa diucapkan Nina mengingat selama ini tidak pernah sekali pun Bryan bersikap seperti itu padanya. Nina melihat ke sekitar halte, ada banyak lelaki di sana yang jujur sedikit membuat Nina takut. Kejadian yang menimpa Ameliya dulu yang sempat dia dengar ceritanya dari Nisa, membuat Nina sedikit mawas diri jika harus bepergian sendirian. Karena itu jugalah Aden tidak pernah membiarkannya sendirian ke mana pun Nina pergi. Aden selalu saja menemaninya walau terkadang Nina sendiri ingin pergi sendirian. “Kenapa gak turun?” tanya Bryan yang membuatt Nina tersentak kaget. “Loe serius pengen gue turun di sini?” tanya Nina bergidik ngeri saat melihat lelaki berjaket jeans yang tampak seperti preman sedang duduk di halte. Nina menelan air liurnya, yag menandakan dia benar-benar takut kali ini. “Gue sih maunya loe turun di rumah sesuai permintaan Aden, tapi kalau loenya gak nyaman satu mobil sama gue, ya udah, loe bisa turun di sini dan gabung sama mereka di angkutan umum.” Bryan tersenyum tulus. Nina bisa melihat tidak ada ekspresi becanda atau pun mengerjain di wajah Bryan. Nina semakin takut. Cengkramannya di sabuk pengaman semakin erat yang tanpa sengaja mampu ditangkap kedua mata Bryan. Bryan tersenyum tanpa sepengetahuan Nina. “L-loe bisa kenapa marah Bang Aden, kalau lor nuruni gue di sini,” ucap Nina berusaha mencari cara agar tidak turun dari mobil Bryan. “Gak masalah, Aden juga mau musuhin gue juga gak apa-apa, yang terpenting loe gak semakin marah dan kesal sama gue.” Bryan menghela napas, ekspresi wajahnya berpura-pura sedih. “Gue gak mau loe terus bepikir kalau gue yang maksa Aden untuk bisa dekatin loe ke gue. Padahal sebenarnya, gue udah nyerah buat dekatin loe.” Nina kaget bukan main mendengarnya. “Dibilang nyerah banget sih enggak, lebih tepatnya gue pasrah aja. Gue fokus dulu ke sekolah gue. Gue juga sadar, nilai yang loe dapatin di pelajaran, sama nilai gue, jauh perbedaannya.” Bryan tersenyum tipis. “Makanya itu. Gue sadar diri kalau gue gak pantas buat loe.” Nina terdiam. Ada penolakan di hatinya saat mendengar Bryan menyerah untuk membuatnya jatuh cinta. Rasanya Nina sudah terbiasa dengan hadirnya Bryan yang terus mencoba dengan segala cara untuk mendapatkann cintanya. Walau sebenarnya Nina sendiri belum ingi berpacaran, namun sikap Bryan selama ini yang selalu menjaganya dari jauh persis seeprti Aden, membuat Nina mulai merasa nyaman berada di dekatnya. Hanya saj Nina merasa gengsi bukan main, mengingat selama ini dia terang-terangan menolak Bryan bahkan di depan semua orang. “Tunggu apa lagi, Nin? Gue gak bisa lama-lama, hari ini nyokap nyuruh gue belikan buah-buahan dan belanja bulanan ke supermarket. Gue takut dia nnggu lama di rumah, karena beberapa barang mau dia pakai secepatnya.” Nina kembali menelan air liurnya, “Ayo jalan!” ucap Nina yang jelas saja membuat Bryan bengong, Nina meliriknya. “Kenapa malah bengong, ayo jalan!” “Tapi bukannya loe ….” “Gue gak mau loe bertengkar sama Bang Aden,” ucap Nina berbohong, sebenarnya dia sendiri takut jika harus turun dan bergabung dengan semua lelaki di halte bus itu. “Bisa-bisa bang Aden mukulin loe nanti.” “Gue gak apa-apa kok, mau dipukulin juga gak apa-apa, yang penting loe gak marah sama gue terus-terusan.” “Gue gak marah sama loe,” jawab Nina cepat. “Udah cepat jalan, sekalian gue teanin loe belanja bulanan, ada yang mau gue beli juga,” ucap Nina alasan. “Lumayan, gratisan ke supermarket, kalau pergi sediri kena ongkir!” Bryan tersenyum mendengarnya. Alasan Nina terlalu jelas dibuat-buat. Dia tidak akan kena ongkos ke mana pun dia pergi. Adit sudah memberikannya supir pribadi di rumah yang bisa digunakan ke mana pun orang rumahnya pergi, termasuk Nina dan Nisa yang diutamakan. Bryan menjalankan mobilnya dengan perasaan senang karena berhasil memenangkan kembali hati Nina. Sedangkan Nina, mengalihkan pandangannya ke jendela mencoba menjutupi perasaan malunya yang teramat sangat. ‘*** “Baby sitter?” tanya Metta yang langsung dijawab Aden dengan anggukan kepala. Metta tampak bingung. Bukan karena pekerjaannya yang sulit, melainkan dia ragu bisa bekerja dengan baik atau tidak. Apa lagi di keluarga Aden yang dia tahu, termasuk keluarga terpandang karena hotel yang dimiliki Adit di beberapa kota besar. Aden menatapnya yang tampak bingung memberikan jawaban. Sesaat Aden menyeruput kopi hitamnya, lantas kembali menatap Metta yang belum juga memberikan jawaban pasti tentanng tawaran yang diberikan Aden padanya. “Loe gak mau?” tanya Aden akhirnya setelah merasa waktu yang dia berikan, teerlalu lama untuk sekedar berpikir. “Bukannya selama ini loe yang ngurusin adik loe? Jadi bukan pekerjaan yang sulit kan kalau oe harus ngurusin pekerjaan seperti ini?” “Bukan soal itu,” jawab Metta. “Gue cuma takut ngecewain loe dan Nina yang udah percaya penuh ke gue, sampai nyariin gue kerjaan. Gue takut, apa yang gue lakuin gak sesuai yang diinginkan kakak loe.” “Makanya itu nanti diajarin,” jawab Aden. “Loe gak bakalan dilepasin gitu aja. Loe bakalan terus dipantau sama Kak Ameliya dan Mbok Sum yang bekerja di sana. Dia juga akan bantu-bantu loe ngejaga ketiga anak Kak Amel. Jadi loe gak perlu khawatir.” Aden tersenyum tipis. “KAk Ameliya itu orangnya baik, humble, penyayang dan gak suka marah-marah. jadi loe gak bakalan langsung dimarahi kalau Cuma karena salah sekali dua kali.” “Soal sekolah gue?” tanya Metta. “Kita udah kelas tiga, bisa jadi ada jawal sore juga unuk menuju ke ujian akhir. Itu gimana?” “Soal itu udah gue bilang ke Kak Ameliya, dan dia Cuma minta ketemu dulu sama loe buat bicara soal ini secepatnya. Kalau bisa besok, kan libur. Gimana?” tanya Ade penuh harap akan jawaban setuju dari Metta. Metta terdiam. Dia memang sanagt membutuhkan pekerjaan ini. Menjadi baby sitter sebenarnya sempat menjadi pilihan utamanya dalam mencari kerja. Walau harus direpotkan denngan urusan bayi yang belum bisa apa-apa, dan terkadang tidak bisa dimengerti maunya apa, namun Metta yang suka dengan anak kecil, selalu tidak keberatan jika harus menjaga anak-anak. Ditambah lagi pekerjaanya tidak akan mengganggu waktu sekolah. Hal itu jelas saja membuat Metta menginginkannya. Namun, dia masih takut mengecewakan Aden dan Nina perihal kemampuannya dalam menjaga anak sang kakak. Salah sedikit, pertemanannya dengan Nina bisa hancur karenanya. Dan kepercayaan Aden padanya pun ikut rusak. Itulah yang kini diakuti Metta. “Jam berapa besok?” tanya Metta akhirnya. “Terserah loe aja, kalau perlu gue yang jemput ke rumah,” saran Aden yang langsung ditolak Metta dengan gelengan kepala. “Gue pergi sendiri aja,” jawab Metta menolak dengan halus agar Aden tidak sakit hati karenanya. “Tapi jarak dari rumah loe ke rumah gue itu jauh. Jarang ada angkutan umum yang langsung ke rumah gue. Loe bisa kena dua kali naik angkutan lho, Met!” “Gak apa-apa, entar juga bakalan gitu kalau gue udah kerja, kan?” tanya Metta yang membuat Aden bungkam. “Jangan manjain gue, Den, di samping gue bukan siapa-siapa loe gue juga gak mau ketergantungan sama orang lain, apa lagi orang lain itu berjenis kelamin laki-laki. Gue gak mau,” ucap Metta sembari tersenyum tipis yang membuat Aden sempat terdiam karena ucapannya. Ada rasa trauma yang terlihat di sosoknya. Metta seolah mengalami luka fisik dan batin yang membuatnya tidak berani jika harus berdekatan terlalu dekat dengan laki-laki. “Nanti malam gue minta izin dulu sama Ibu, kalau Ibu ngizinin, gue hubungi Nina,” ucap Metta. “Loe tau nomor handphone Nina?” tanya Aden yang langsung dijawab Metta dengan anggukan kepala. “Sejak kapan?” “Sudah lama,” jawab Metta yang jelas saja membuat Ade kesal bukan main karena Nina tidak pernah memberitahukannya. “kemungkinan besok jam sepuluh atau paling enggak habis makan siang. Kalau Ibu yang masak, mungkin gue bisa pagi, tapi kalau Ibu kurang sehat, gue minta maaf datangnya agak siang ya, gue nyiapin makan siang dulu.” “Iya gak apa-apa, santai aja,” jawab Aden. Metta menyeruput lemon tea pesananya, sedangkan Aden mengaduk kopinya yang kini sudah tidak panas lagi seeprti sebelumnya. Pendingin ruangan sudah mengubah suhu kopinya, namun meski pun begitu, rasanya masih saja nikmat. Walau tidak senikmat di awal lidahnya menjyentuh kopi kesukaannya. “Soal Grace,” tambah Metta yang langsung menarik tatapan Aden kembali padanya. “Gue mau ngucapin terima kasih banyak sama loe dan Nina, sudah nolongin gue. Loe udah dengar ceritanya dari Nina, katanya loe ngancam dia buat nyebarn video pembully-an gue tadi.” Metta menarik napas panjang lantas mengembuskannya perlahan. “Loe gak perlu sampai segitunya, kasihan Grace, dia pasti tertekan.” Aden mengerutkan kening mendengar ucapan Metta, “Dia sudah seharusnya dibuat kayak gitu, dia sudah keterlaluan!” Aden benar-benar geram saat mengingat kembali apa yang dilakukan Grace pada Metta selama ini, apa lagi beberapa hari ini yang aginya sudah terlalu kelewatan. “dia harus dibuat jera, Met, gak bisa didiamin begitu saja!” “Loe gak tau dia siapa, Den,” ucap Metta lagi. “kalau tau dia siapa, loe pasti gak bakalan kayak begini. Dia memang takut sama bapaknya, tapi bapak gue, juga takut sama bapaknya Grace.” Aden mengerutkan kening mendengar ucapan Metta.dia benar-benar bingung apa yang sebenarnya terjadi antara Metta dan juga Grace. Keduanya seakan menyimpan rahasia yang begitu besar hingga membuat keduanya saling terhubung satu sama lain. Aden menegakkan posisi duduknya, dia tampak serius sedangka Metta menundukkan kepala mendapati tatapan tajam pennuh tanda tanya dari Aden. “Maksud loe apa?” tanya Aden. “Kenapa bapak loe, juga takut sama bapaknya Grace? Emangnya bapak loe ada hubungan apa sama keluarga Grace? Bapak loe babunya mereka, gitu?” tanya Aden ngasal yang sesaat membuat Metta menggelengkan kepala. “Jadi apa? Bisa gak sih ngomong itu jangan setengah-setengah!” Metta menghela napasnya, berusaha memberanikan diri untuk sekedar menjawab pertanyaan Aden kali ini. Entah mengapa, Metta terlalu percaya sama lelaki yang satu ini. Biasanya dia tidak akan sebegitu mudahnya menceritakan apa yang ada di kehidupanya. Namun ini semua berbeda, saat dirinya berhadapan langsung dengan Aden. “Bapak gue, pernah ngelariin uang milik bapaknya Grace,” jawab Metta. “Dia sempat pinjam uang tanpa sepengetahuan gue ke bapaknya Grace yang dulunya adalah bosnya di kantor saat dia masih bekerja sebagai satpam. Dia melakukan beberapa kesalahan sampai akhirnya hampir dijebloskan ke penjara, namun bapaknya Grace memberikannya ampunan dengan satu syarat.” “Apa syaratnya?” tanya Aden mulai tertarik dengan cerita Metta. Metta menelan air liurnya, “Bapak disuruh menjadi pembunuh bayaran dari musuh bebuyutan bapaknya Grace.” Aden kaget bukan main mendengarnya. “Dan bapak, menyetujuinya. Tapi sesuai peraturan yang berlaku,” tambah Metta lagi. “Apa itu?” tanya Aden lagi yang sesaat membuat Metta terdiam. Dia tampak takut menjawab pertanyaan Aden yang kali ini. Ada kecemasan yang dia rasakan jika nantinya Aden malh menjadikan jawabannya senjata untuk bisa melawan Grace. Namun mau tidak mau, Metta harus menjawabnya mengingat dia sudah menceritakan setengah dari kisah yang dialami sang bapak yang hampir menghancurkan hidupnya. Bahkan nyawa ibu pun hampir melayang karenanya. “Kenapa malah diam, peraturan ap aitu?” tanya Aden lagi. “Tolong jangan jadikan ini senjata untuk melawan Grace ya?” mohon Metta yang membuat Aden mengangguk cepat. “Karena kalau sampai kamu bocorin hal ini bahkan sama Nina sekali pun, nyawa Ibu yang jadi taruhannya.” “Gue janji,” jawab Aden sungguh-sungguh. Metta menarik napas panjang lantas mengembuskannya kasar, “Bapak tidak boleh menyebutkan nama Bapakny Grace jika bapak ketangkap di penjara. Jika hal itu terjadi, baik gue, adik gue dan juga ibu, akan dibunuh bersamaan saat itu juga. Dan setelah bapak berhasil menjalankan tugasnya, bukannya dinaikkan pangkat seperti yang dijanjikan, bapak malah dipecat dengan diberikan uang sampai miliaran rupiah. Sayangnya bapak malah tertangkap dengan pasal berlapis, narkoba dan juga pembunuhan. Ada CCTV di tempat kejadian yang merekam kejadian itu dan bapak akhirnya di penjara tanpa bisa mengatakan siapa dalang dari semua yang dia lakukan, karena saat dia di penjara, gue, ibu dan adik gue ditawan sama anak buah bapaknya Grace.” “Apa Grace tau tentang semua ini?” tanya Aden yang langsung dijawab Metta dengan gelengan kepala. “Grace tidak tau apa pun, di matany, Bapaknya adalah lelaki pekerja keras yang kasar namun suka memberikannya uang berapa pun yang dia minta.” “Kasar?” tanya Aden. “Ya, Grace selalu dipukulin Bapaknya waktu kecil setiap kali Grace berbuat kesalahan, bahkan sekecil apa pun kesalahan itu. Da Ibu guelah yang selalu melindunginya. Sayangnya, dia lupa akan hal itu. Lupa, atau malah tidak mau peduli dengan Ibu lagi yang sejak kecil selalu menjaganya.” Metta menghela napas. “Grace tidak punya Ibu, Den, karena itulah tidak ada kasih sayang di dalam dirinya yang bisa dia pergunaka untuk berteman dengan orang lain.” Aden terdiam. Dia tidak menyangka dengan kebenaran yang dia dapatkan dari Metta. Grace yang begitu Tangguh dan seolah-olah memiliki kekuasaan di kedua tangannya, ternyata memiliki kelemahan yang mampu dia tutupi seorang diri. Dan anehnya, Metta malah mengetahuinya namun tidak menjadikan hal itu sebagai alat untuk bisa melawan Grace yang selalu berbuat jahat padanya sejak dulu. “Dan soal sikap bapak loe ke elo, ada apa sebenarnya?” tanya Aden yang masih penasaran denga napa yang terjadi antara Metta dan sang bapak. Metta sesaat terkejut mendengar pertanyaan Aden, tertunduk cemas dengan kedua tangan salling bergenggaman. Aden menyentuh tangan Metta yang langsung membuat Metta kaget dan menarik kedua tangannya seperti seorang wanita yang memiliki trauma pada sentuhan lelaki. “Metta bilang jangan sentuh Metta, Pak!” bentaknya yang membuat Aden kaget bukan main. Metta yang menyadari bahwa bukan sang bapak di depan matanya melainkan Aden, langsung gelagapan, dan bersiap untuk pergi seperti kemarin. Aden yang tidak ingin melewati kesempatan itu, langsung menghadangnya dan mencoba menenangkan Metta yang tampak panik. “Met, tenang, ini gue, Aden!” seru Aden saat menyadari ada air mata jatuh melintas kedua pipi Metta. “Loe sama gue, loe aman sama gue.” Metta meatap Ade sesaat, menangis lantas menumpahkan tangisannya di d**a bidang Aden. Aden sesaat berdiri kaku mendapati Metta menempelkan kepalanya di dadanya namun beberapa saat kemudian, Aden mengusap kepala Metta dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya tetap di bawah, tidak berani memeluk Metta atau pun memegang tubuh Metta. Selain karena ingin menjaga kehormatan Metta, Ade sendiri juga baru pertama kali merasakan hal ini secara langsung dengan wanita yang tidak memiliki hubungan darah apa pun dengannya. “Bapak jahat, Den, bapak jahat,” ucap Metta sembari terisak. “Tolongi gue, Den. Ue takut.” Ucapan Metta benar-benar membuat Aden bingung bukan main. Dia tidak menyangka, ada tekana besar yang selama ini dihadapi Metta seorang diri. Ada ketakuan yang teramat dalam yang seakan sulit diobati. Aden merasa dirinya terlambat hadir di dalam hidup Metta.. bayangan buruk tentang perlakuan pria yang dipanggil Metta dengan sebutan Bapak itu, berputar di kepala Aden. Walau sebenarnya Aden masih berharap, kalau apa yang dia bayangkan, tidak pernah terjadi di hidup Metta dia masih berharap, Metta masih baik-baik saja, tidak terluka apa lagi kehilangan kehormatannya akibat ulah sang bapak yang tidak berperasaan terhadapnya. Ituah yang kini diharapkan Aden pada Metta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD