“Mereka semua orang baik, aku senang di sini,” puji Metta saat Aden mengantarnya ke hale bis. Aden yang tetap saja tidak diizinkan Metta untuk mengantarnya sampai rumah, akhirnya hanyabisa mengantarkannya ke halte bis agar metta bisa cpat dapat angkutan umum. Semula dirinya sudah diawarin untuk bisa naik taksi saja oleh Ameliya, namun Metta menolaknya dengan alasan uang taksinya akan sangat mahal untuk bisa mencapai ke rumahnya, dan alhasil Metta kembali memutuskan naik angkutan umum dengan syarat dari Aden untuk mengantarkannya ke tempat penantian mobil.
“Baguslah kalau loe suka, gue harapkan loe betah kerja di sana,” ucap Aden yang kini lebbih memilih duduk di kursi halte. Motorna sengaja dia parkirkan di depan halte karena ingin mengobrol dengan Metta yang tidak terlalu sibuk bersama Ameliya.
Metta tersenyum lebar, “Gue malah takut Kak Ameliya yang gak betah sama gue,” ucap Mtta yang membuat Ade tertawa mendengarnya. “Tadi Kak Ameliya bilang kalau kalian sebenarnya bukan saudara kandung, emangnya benar ya?” tanya Metta yang langsung dijawab Aden dengan angukan kepala.
“Kak Ameliya gak cerita detailnya?” tanya Aden yang langsung dijawab Metta dengan gelengan kepala. “Kak Ameliya itu adik kandungnya Bang Adit, abang ipar gue. Kalau gue, Nina dan Kak Nisa baru saudara kandung. Bang Adit itu punya satu adik, ya … Kak Ameliya tadi, terus Bang Adit juga punya satu sepupu perempuan namanya Kak Audy.”
“Dia yang baru nikah kemarin, kan?” Aden menganguk cepat. “Gue pikir itu yang nikah kakak kandung elo sama Nina.
Aden tertawa mendengarnya. Memang banyak yang mengira seperi itu tentang Audy. Bahkan Bryan sendri pun mengatakan hal yang sama meski pun Bryan tidak bisa datang ke acara itu. Namun bagi Aden tidak masalah. Baik Audy mau pun Ameliya sudah dia aggap seperti kakak kandungnya sendiri. Dan Aden tidak mempermasalahkan itu.
“Nanti kapan-kapan gue ajak ketemuan sama Kak Nisa, dia jga sama baiknya kayak Kak Ameliya,” ucap Aden yang langsunng dijawab Metta dengan anggukan.
Aden yang melihat mobil angkutan yang serng dinaiki Metta hadir, langsung berdiri da dengan cepat melambaikan tangannya. Mobil itu berhenti, Metta berdiri daj berniat masuk ke dalam mobil berwarna merah itu. Namun sesaat Metta mengurungkan niatnya dan berbalik menatap Aden.
“Terima kasih banyak ya, Den, Loe sudah terlalu baik sama gue dan keluarga gue,” ucap Metta yang langsung dijawab Aden dengan anggukan kepala dan tersenyum lebar. Metta kembali menaiki angkutan umum, duduk di dalam sembari melambaikan tanganya ke Aden yang langsung dibalas Aden denga lambaian tangan juga. Aden lega bukan main. Dan tanpa menunggu lama, Aden langsung menaiki motornya saat menyadari hari sudah mulai gelap gulita.
***
Semua sudah sesuai dengan rencana. Semua orang pun sudah berkumpul di sebuah taman bunga yang ditetapkan untuk proses ijab qabul Ameliya dan Dimas yang akan berlangsung. Tak banyak yang diundang, hanya kelurga besar, rekan kerja Dimas dan teman kuliah dan SMA Ameliya.
Semua tampak bahagia, dan kebahagiaan itu semakin bertambah saat Dimas berhasil mengucapkan ijab qabul dengan lantangnya. Acara bebas pun dilakukan. Semua tamu undangan mulai menikmati acara dan santapan saat itu. Ameliya sendiri tampak bahagia berfoto dengan Dimas dan semua tamu yang ingin berfoto dengannya. Tak ada kesedihan yang terpancar dari wajahnya. Semua yang terjadi, kini sesuai keinginannya. Walau taka da pesta mewah yang seperti Ameliya inginkan dulu, namun rasanya acara kali ini berhasil membuat Ameliya bahagia luar biasa.
Nisa sendiri mengambil minuman untuknya dan Adit yang menantinya di kursi bersama Audy dan Rasya. NIsa tersenyum, lantas membawakan dua gelas untuknya. Namun seorang wanita malah menabraknya secara tidak sengaja dan membuat kedua gelasnya tumpah ke atas rumput. Wanita itu mengucapkan maaf, lantas berusaha membersihkan gaun Nisa dengan tissue. Nisa menolaknya karena merasa segan jika wanita setengah baya itu, malah berjongkok membersihkan gaunnya. Adit yang melihat hal itu, lanngsung mendekatinya.
“Ada apa, Sayang?” tanya Adit sedikit khawatir.
“Gak apa-apa, Dit, Ibu ini gak sengaja nabrak aku tadi, airnya kena ke gaun pestaku.”
“Maafkan ibu ya, Nak, ibu gak sengaja,” ucap wanita itu lagi yang langsunng membuat Nisa menggelengkan kepala.
“Gak apa-apa, Bu,” ucap Nisa sopan. “Aku ke kamar mandi dulu ya?”
“Mau aku temanin?” tanya Adit.
Nisa menggeleng cepat, “Aku sendiri aja, titip Aden dan Nina ya?”
Adit mengangguk dan menatap Nisa pergi. Sesaat ada perasaan aneh di hatinya. Adit menarik tatapannya ke perut Nisa. Namun suara Audy yang kembali memanggilnya, membuat Adit menepis perasaan itu dan kembali mendekati Audy dan Rasya di meja makan.
***
Nisa membersihkan pakaiannya dengan tissue, membasahinya lantas mengeringkannya lagi dengan tissue kering. Nisa menatap pantulannya di cermin, terus membersihkan noda di gaun putihnya yang jelas terlihat akibat orange jus yang tumpah di gaunnya. Dia tidak menyangka, kejadian seperti ini akan terjadi. Andai saja dia lebih berhati-hati tadi, mungkin saja saat ini gaunnya akan baik-baik saja.
Pintu kamar mandi terbuka, dan betapa kagetnya Nisa saat melihat Alea masuk ke dalam dengan gaya santainya. Tersenyum penuh arti ke Nisa lantas berhenti tepat di hadapan Nisa yang sesaat mundur beberapa langkah, namun sialnya dinding di belakangnya menghalanginya.
“Apa kabar, Nisa?” tanya Alea yang senang melihat Nisa ketakutan. “Sudah siap bermain bersamaku?”
“Mau apa kamu?”
Alea tertawa, lantas menodongkan senjata api ke kening Nisa yang membuat Nisa kaget bukan main. Alea kembali tersenyum sinis. Tatapannya tajam mengarah ke Nisa yang kini berkeringat dingin melihat mulut senjata itu, mengarah padanya. Nisa menggeleng pelan, yang malah membuat Alea puas bukan main melihatnya.
“Sudah pernah aku bilang dulu, kalau aku tidak bisa mendapatkan Adit, siapa pun gak bakalan bisa bahagia bersamanya!” bentak Alea yang tampak geram bukan main. Alea menarik senjatanya dan mengarahkannya ke perut Nisa, lantas tertawa. “Kamu berharap bisa melahirkan anak Adit dengan mudah? Seharusnya aku yang berada di posisi ini!”
Nisa yang ketakutan, spontan menolak tubuh Alea hingga terjatuh ke lantai dengan kepala membentur ke meja cuci tangan. Pandangan Alea memudar, senjata apinya terjatuh. Nisa berusaha meelwatinya, namun dengan cepat Alea menarik kakinya hingga Nisa terjatuh. Nisa menjerit kesakitan. Walau sempat menahan tubuhnya dengan kedua tangannya agar bagian perutnya tidak menghantam langsung ke lantai, namun rasa sakit yang luar biasa dia rasakan di bagian perutnya kini.
“Mau ke mana?!!” bentak Alea yang masih berusaha mengembalikan pandangannya. “Kamu harus mati hari ini, Nisa!”
Nisa menendang tangan Alea hingga terlepas. Sesaat, Nisa melihat darah ke luar dari kedua kakinya. Nisa panik bukan main, ditambah lagi saat Alea mencoba meraih senjata apinya kembali. Nisa berusaha bangkit dan belari meninggalkan kamar mandi dengan rasa sakit yang luar biasa. Sembari memegangi perutnya, Nisa terus berlari tertatih menuju tempat pesta berada.
Ameliya yang terlihat memegang microfon karena diminta bernyanyi, kaget bukan main saat melihat nisa berlari dengan darah mengalir di kedua kakinya.
“Kak Nisa!!” jerit Ameliya di microfon yang membuat semua pasang mata tertuju ke Ameliya menatap. Adit kaget bukan main, dan langsung berlari mendekati Nisa dan menangkapnya. Nisa mulai terlihat tak sanggup lagi menahan tubuhnya sendiri. Rasa sakit di bagian perutnya, seolah menjaalr ke kepala yang memuatnya pusing bukan main.
“Nis, ada apa, kamu kenapa?!” tanya Adit panik bukan main.
NIsa mengarahkan telunjuknya ke arah kamar mandi, “Alea,” ucapnya lirih sembari memeluk tubuh Adit dengan kekuatan yang tersisa. “Tolong anak kita, Dit. Sakit …,” rintihnya yang membuat Adit panik dan berniat menggendongnya. Audy dan Rasya pun turut membantu, bahkan Dimas dan Ameliya pun berniat mendekat.
“Berhenti semuanya!!!” Suara teriakan Alea membuat Adit urung menggendong Nisa. Terlihat Alea ke luar dari kamar mandi dengan darah mengalir ke lehernya dari kepala hingga mewarnai kemeja putih yang dia kenakan. Alea tersenyum sinis sembari menodongkan senjata. Semua tamu panik bukan main, lantas berusaha menjauh dari Alea. Adit memeluk Nisa yang berusaha menarik tatapannya ke Alea yang kini menodongkan senjata ke Nisa.
“Alea!!” bentak Adit geram bukan main.
“Apa, Sayang? Bukannya ini yang kamu inginkan, dia dan anak di kandungannya mati dan kita bisa bersama? Kamu ingin terbebas dari dia, kan? Aku akan kabulkan,” ucap Alea dengan nada suara manja yang membuat Adit menghalangi Alea dari NIsa dengan berdiri di hadapan Nisa. Nisa menangis melihatnya sembari terus menahan rasa sakit. Alea berhenti beberapa meter dari Adit.
“Turunkan senjatamu, Alea!” bentak Adit.
“Minggir, Dit!” bentak Alea. “aku benci lihat wanita lain menikmati posisiku! Kalau aku gak bisa dapatkan kamu, siapa pun juga gak bisa!!” bentak Alea.
Nisa yang melihat tanda-tanda Alea mulai ingin menembak, langsung menarik tubuh Adit dan mengambil alih posisinya dengan berada di depan Adit. Suara tembakan terdengar. Semua menjerit histeris. Adit yang terjatuh akibat tarikan Nisa, langsunng mengalihkan pandangan kembali ke Nisa yang dia yakini, Nisalah yang kini tertembak. Namun dugaan Adit salah besar. Peluru Alea sama sekali tidak mengenai Nisa, melainkan Raymond yang berdiri menghalangi Nisa secara tiba-tiba. Alea kaget bukan main saat melihat peluru berhasil melesat ke bagian perut Raymond. Darah mengalir dari perutnya, perlahan Raymond terjatuh, berlutut di hadapan Alea yang terlihat histeris dengan pemandangan yang dia dapatkan. Alea berniat mendekat, namun dua orang bodyguard Raymond datang mendekat dan mencengkram kedua tangan Alea hingga membuatnya tak bisa mendekati Raymond yang masih menatapnya dengan posisi berlutut menahan sakit.
“Kau … gila … Alea,” ucap Raymond terbata-bata. “Ta-tapi, aku sungguh mencintaimu.”
Raymond ambruk yang membuat Alea menjerit memanggil namanya. Adit langsung mendekati Raymond dan meminta semua bodyguardnya yang sejak tadi berjaga-jaga di acara pernikahan Ameliya, untuk megangkat tubuh Raymond dan segera dibawa ke rumah sakit. Ameliya sendiri medekati Nisa yang terjatuh dan sempat ditangkat Audy dan Rasya. Dimas pun turut mendekat.
“Kak Nisa, sadar, Kak!” seru Ameliya sembari menangis. “Bang Adit!!” jerit Ameliya saat menyadarai darah semakin deras mengalir.
“Bawa Nisa ke rumah sakit,” seru Aurum yang ikut panik.
Adit langsung mengangkat tubuh Nisa dengan kedua tangannya, berlari menuju mobil diikuti Leo yang siap mengemudikan mobil. Audy sendiri lansgung menarik tangan Aden dan Rasya menggendong Nina, membawa keduanya ke mobil meninggalkan Ameliya yang menangis di pelukan Dimas.
***
Adit membuka pintu salah satu kamar inap di rumah sakit. Perlahan melangkah mendekati tempat tidur dan tersenyum saat melihat Nisa. Nisa sendiri langsung tertundk sembari memegangi perutnya yang sudah tidak buncit lagi. Sudah lima hari pasca operasi itu dilakukan, dan Nisa masih tetap belum bisa terima kenyataan bahwa bayi yang dia kandung, harus pergi di dalam rahimnya akibat benturan yang ternyata mengenai lantai di bagian perutnya, saat kejadian itu terjadi. Anehnya, Nisa malah tidak merasakan hal itu. Dia meyakini, perutnya tidak mengenai lantai.
“Jangan dipikirkan lagi, dia sudah menanti kita di surga,” ucap Adit yang membuat NIsa tersenyum tipis, walau kedua matanya berkaca-kaca. “Dia sudah ketemu sama kedua orang tua kita, benar, kan?”
Nisa mengangguk pelan. Adit menarik tangan Nisa pelan dan menggenggamnya agar tidak terus-terusan memegangi perutnya. Air mata Nisa jatuh membasahi pipi kirinya, walau senyuman terus hadir di bibirnya. Adit menghapusnya lembut dengan jemarinya.
“Aku sudah punya firasat bakalan jadi kayak gini, Dit,” ucap Nisa yang membuat Adit terdiam membisu. “Yang diincar Alea bukanlah kamu atau pun yang lainnnya sebenarnya, tapi anak kita.”
“Semua sudah terjadi, Nis, tenang ya?”
“Aku tau itu, tapi rasanya sakit, Dit.” Nisa kembali meneteskan air mata. “Aku berkhayal banyak hal dengan anak kita dan kamu. Kita mengurusnya bersama, dia memanggil kita dengan sebutan ayah dan bunda. Kita mengajarinya berjalan, belajar, semuanya. Tapi semua itu lenyap karena aku yang gak bisa menjaganya saat itu,” ucap Nisa yang langsung membuat Adit memeluknya erat. “Maafkan aku, Dit.
“Udah, jangan di pikirin lagi ya, semua udah terjadi. Dan keputusanku menyelamatkanmu adalah benar,” ucap Adit yang membuat Nisa melepaskan pelukannya.
“Seharusnya kamu menyelamatkannya, Dit, bukan aku.”
Untuk kesekian kalinya pembahasan yang sama terjadi. Nisa masih saja tidak terima karena Adit lebih mementingkannya dari pada anaknya sendiri. Adit sendiri sebenarnya sadar, dia tidak akan bisa hidup tanpa Nisa. Walau pun dia sangat menginginkan anak di kandungan Nisa, tapi tetap saja, dia lebih membutuhkan Nisa untuk berada di dekatnya. Adit tersenyum, lantas kembali memeluk NIsa.
“Kalau sekali lagi aku dihadapkan dengan pilihan itu, sampai kapan pun, aku akan tetap memilihmu, Nisa,” ucap Adit yang membuat Nisa kembali meneteskan air mata. “Karena yang butuhkan kamu, bukan yang lainnya.
Nisa membalas pelukan Adit, menangis di pelukan Adit yang diam-diam, Adit pun ikut menangis di aats kepala Nisa.
Nisa tersentak kaget, keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Nisa memeriksa perutnya yang ternyata masih membuncit, dia lega bukan main karena semua itu hanya mimpi semata. Kejadian kala itu kembali hadir dan membuatnya ketakutan walau dalam mimpi. Nisa melirik ke sang suami yang tampak tertidur pulas di sampingnya. Nisa menarik napas panjang lantas mengembuskannya perlahan, kembali berbaring dengan air mata mengalir membasahi bantalnya.
“Aku gak ingin hal itu terjadi lagi, Dit, aku harap kamu bbisa mengerti ketakutanku,” bisik Nisa smebari mengusap kepala Adit lembut.