Rachel mengajak Alea ke luar. Alea yang duduk di kursi roda dengan kedua tangan dan kaki teringat, tampak terdiam seperti seseorang yang tidak punya gairah hidup. Untuk pertama kalinya Alea akhirnya ke luar dari kamar bagai penjara yang bahkan lebih parah dari jeruji besi yang dulu sempat dia tempatin. Pihak rumah sakit memang tidak pernah mengizinkannya ke luar. Alea yang sering mengamuk bahkan pernah melukai pasien lainnya dengan pisau hingga sang pasien rumah sakit jiwa itu harus di larikan ke rumah sakit, dan mengalami luka jahitan di tangan sebanyak sembilan jahitan, membuat pihak medis akhirnya memutuskan untuk mengurungnya di kamar khusus. Hanya ada jendela kecil yang tak mungkin di lewati bahkan hanya muat tangan doang sebagai celah cahaya matahari, selebihnya dinding kokoh kedap suara.
Rachel memang harus sedikit bersusah payah meminta izin. Dia ingin membiasakan Alea untuk menghirup udara segar dan kembali berani menatap dunia luar. Awal mula pertemuannya dengan sang kakak, Alea malah tampak takut dengannya. Dan Rachel tidak ingin Alea terus takut sama orang-orang di luar sana. Namun syarat yang harus Rachel Terima agar bisa membawa Alea ke luar, hanya ikatan yang kini melingkar erat di pergelangan tangan dan kedua kaki Alea yang duduk di kursi roda.
"Gimana, Kak, enakkan di luar?" tanya Rachel yang sudah membawa Alea ke taman belakang rumah sakit jiwa. Duduk di bangku besi, dengan Alea berada di hadapannya.
Rachel menghirup udara dalam-dalam, "Tuh Kak, segar banget udaranya. Tadi subuh habis hujan, dan sekarang udaranya segar banget, kan?" tanya Rachel lagi yang hanya dibalas Alea dengan tanpa ekspresi. Bahkan tatapannya sama sekali tak tertuju padanya. Lurus entah ke mana.
Rachel sebenarnya sedikit kesal karena merasa dicuekin. Namun apa boleh buat, kondisi Alea memang belum sembuh sepenuhnya. Rachel hanya berpikir, andai saja apa yang dia harapkan tentang kondisi Raymond yang masih hidup adalah benar, Rachel pasti langsung bisa menjamin kesembuhan Alea secepatnya. Namun sayangnya, Raymond dinyatakan meninggal dunia setelah terkena tembakan akibat perbuatan Alea yang salah sasaran. Dan hal itulah yang membuat Alea hingga kini masih terpukul akibat kematian orang yang sebenarnya dia cintai. Walau pun tetap saja, Aditlah yang membuatnya terobsesi hingga lupa akan kehadiran Raymond dulu di sisiNya yang begitu setia di sampingnya.
"Kakak gak kangen sama dunia luar?" tanya Rachel dengan nada rendah dan tatapan sendu. "Aku bahkan sudah membeli satu rumah di sini yang bertingkat seperti yang kakak inginkan, kakak gak perlu lagi tinggal di rumah susun. Kakak bisa tinggal di sana dan kita akan jemput Raya. Kakak gak kangen sama Raya?" tanya Rachel yang sesaat menarik tatapan Alea ke arahnya.
"Raya?" tanya Alea yang langsung dijawab Rachel dengan anggukan kepala.
"Iya, Raya Alea Sasmitha, anak kakak." Rachel tampak senang mendapatkan respon dari Alea yang sejak tadi hanya diam saja. "Kakak ingat, kan? Dulu dia masih mungil saat mereka mengambilnya. Dan sekarang, pasti dia sudah besar. Kalau dihitung pasti sudah SD. Kakak gak mau ketemu lagi sama Raya?" tanya Rachel berharap penuh dengan gadis kecil yang mungkin saja tidak akan mengenal lagi sosok ibunya yang sempat mencampakkannya dulu.
Semua memang salah Alea. Bukan salah mantan suami Alea yang bernama Putra. Alea lah yang tidak mau mengurus Alea yang saat itu butuh ASI darinya. Alea malah sengaja membiarkan Raya menangis sejadi-jadinya di atas tempat tidur, sedangkan dirinya merokok di teras rumah. Putra yang dulu sempat menjadi pelanggan tetap Alea, hingga akhirnya menjadi suami akibat bertanggung jawab atas kehamilan Alea yang sebenarnya entah ulah siapa, tampak hanya mengelus d**a melihat tingkah sang istri, hingga membuatnya melayangkan surat cerai dengan hak asuh anak jatuh ke tangannya. Namun, semua orang yang tidak mengenal Putra malah menyalahkannya dan menganggapnya mengambil anaknya secara paksa, dan semua itu karena ucapan bohong dari Alea agar merasa di kasihani semua orang.
"Dia masih hidup?" tanya Alea yang kembali dijawab Rachel dengan anggukan kepala. Alda tersenyum sini, memegang tangan Rachel erat dengan tatapan tajam.
"Cari saja, dia sumber uang, aku akan menjualnya," ucap Alea tampak benar-benar gila. Rachel kaget bukan main. Dia tidak menyangka Alea akan mengucapkan hal itu di hadapannya tentang Raya.
Semula Rachel berharap, Raya bisa menjadi alat penyembuh bagi Alea. Rachel malah bernjat mencari di mana keberadaan Putra dan memintanya membawakan Raya sebentar saja ke rumah sakit jiwa tempat Alea dirawat. Namun sayangnya tidak. Rachel bahkan enggan dan takut melakukannya. Tawa Alea yang menggelegar, membuat Rachel melepaskan cengkraman Alea secara paksa, lantas menatapnya tidak percaya.
Sikap Alea persis seperti sang mami. Yang begitu tega melakukan apa pun demi uang dan kepuasan. Rachel tidak menyangka Alea sebegitu teganya berpikir seperti itu. Sejahat-jahatnya dirinya, dia tidak akan pernah menjual anak hasil darah dagingnya sendiri seperti yang Alea inginkan. Alea benar-benar sudah tidak waras. Dan Rachel benar-benar tidak habis pikir karenanya.
***
Jordi bebas, itulah yang kini terjadi. Jordi yang baru saja ke luar dan menghirup udara segar dengan berdiri di depan pintu tempatnya ke luar, terlihat berdiri terpaku membayangkan Audy berdiri di hadapannya menyanbutnya dengan senyuman lebar. Sesaat Jordi tersenyum, namun dengan cepat bayangan itu menghilang saat sebuah tepukan terasa di pundaknya.
Jordi menoleh, seorang lelaki sedikit lebih muda darinya berdiri di dekatnya. Jordi sangat mengenalnya, dia tersenyum tipis sekedar menyambut Jordi yang hanya teediam menatapnya. Dia tidak menyangka, hanya adik itu yang kini menjemputnya. Tidak ada siapa pun. Bahkan kedua orang tuanya pun tidak.
"Cuma loe?" tanya Jordi yang langsung dijawab lelaki itu dengan anggukan. "Kenapa, mereka malu punya keluarga mantan narapidana?" tanya Jordi lagi sembari tersenyum sinis.
"Kita pulang, Bang. Mereka nunggu loe di rumah." Lelaki itu tak menggubria ucapan Jordi. Jordi menarik pundaknya yang membuat tangan sang adik, terjatuh dari pundaknya.
"Mau ngapain? Apa mereka udah nyiapin kejutan dan pesta meriah penyambutan gue dengan spanduk 'welcome back Jordi. Narapidana terhebat dengan kasus narkoba dan penjebaka berencana serta penganiayaan Audy yang mereka sayangi', gitu?" tanya Jordi yang terkesan mengejek. Lelaki itu menggelengkan kepala.
"Bokap nungguin loe di rumah."
"Mau ngasih harta warisan?" tanya Jordi lagi. "Udah mau mati dia?"
Lelaki itu menggelengkan kepala, "Mikha yang sekarat, bukan Papi," ucap lelaki itu yang langsung membuat Jordi kaget bukan main.
"Mikha sakit apa?" tanya Jordi tidak menyangka. Adik kecilnya itu kini malah sekarat di rumah.
"Nanti saja kita cerita. Sesampainya di rumah, gue bakalan ceritain semuanya sama loe. Sekarang kita harus pulang, gue takut loe gak smepat lihat. Da mami pun berharap, loe bisa buat Mikha semangat lagi buat hidup. Dan gak mau bunuh diri terus."
"Bunuh diri?" tanya Jordi.
Lelaki itu mengangguk, "Lebih tepatnya percobaan bunuh diri hampir setiap hari. Kita pulang sekarang yaa, Bang."
Jordi menganggukkan kepala, ikut melangkah bersama sang adik menuju mobil sport miliknya yang sudah terparkir tidak jauh dari pintu ke luar dari penjara yang dilewati Jordi.