Bab 6 : Meteor Jatuh Yang Mengorbit

1079 Words
Pemandangan asri. Kawasan cukup tenang. Eidwen suka tanaman yang merambati pagar besi rendah dan tangga melingkar yang langsung menuju halaman depan. Sehingga dia tak perlu menggunakan tangga di dalam rumah untuk turun ke halaman dan keluar rumah. Ukuran kamar, separuh dari kamarnya di rumah. Cukup bisa diterima sih, kecuali─ “Ini bekas kamarku. Jadi, ya, kasurnya ukuran single, motif Cinderella dan warnanya merah muda,” kata Abbey, membuat Eidwen menghela napas. “Terus AC-nya,” Abbey memungut remote AC, menekan tombol power tapi mesin pendingin udara itu tidak menyala. Abbey kembali mengetuk-ketuk remote, kemudian memanjat kasur dan menekan tombol manual. Mesin menyala dan gelombang panas menyembur keluar. Cewek itu berbalik memandang Eidwen yang tengah balik memandangnya dengan pandangan mengintimidasi. Abbey tersenyum kikuk. “Kayaknya AC-nya perlu dibersihkan─” “Kalau nggak ya, rusak.” Potong Eidwen. “Tapi ada jendela,” lanjut Abbey buru-buru tak peduli interupsi. “Nah, tinggal buka begini.” Abbey membuka jendela kayu di salah satu sudut kamar yang menghadap halaman depan. “Anginnya seger kok kalau udah malam. Jadi, kalau lo kepanasan, buka aja jendelanya. Lebih praktis daripada AC, kan?” Eidwen melipat tangan di d**a, mengamati keseluruhan ruangan yang terdiri dari satu ranjang berukuran single, lemari pakaian dan meja kecil menghadap jendela serta sebuah pintu yang terkunci. “Kasur Cinderella, AC rusak dan gue bayar dua kali lipat ditambah setengah. Lo yang bener dong kalo sewain tempat,” kritik Eidwen dengan ekspresi wajah setengah kesal. “Lo sendiri yang maksa tinggal di sini. Gue kan bilang kalau nggak sewain tempat buat cowok,” sergah Abbey. “Lagian, kasur kan nanti bisa ditutupin sprei. Lo bisa copot kepala ranjangnya kalau nggak suka lihat Cinderella di atas kepala lo. Masalah AC, nanti gue panggilin tukang servis.” Abbey beranjak keluar, melewati Eidwen, tapi cowok itu memalang pintu dengan tangannya. Abbey berhenti melangkah dengan mendadak sebelum menabrak lengan Eidwen yang dipenuhi pembuluh darah yang menonjol khas cowok. Sesaat, gadis itu merasa terintimidasi. “Itu pintu menuju ke rumah bawah?” Kepala Eidwen mengedik ke pintu terkunci di sebelah meja belajar. Abbey menengok lalu mengiakan. “Pintu itu gue kunci selama lo tinggal di sini. Jadi lo keluar lewat tangga luar. Paham kan?” Eidwen tidak menjawab, tapi Abbey meneruskan. “Dilarang dobrak pintu itu bagaimana pun kondisinya, oke?” Eidwen hanya menaikkan alisnya. “Ngerti nggak, sih, apa yang gue omongin?” tanya Abbey. “Bahasa sehari-hari gue pakai bahasa manusia, bukan monyet.” “Bagus. Oh ya, terus toiletnya,” Abbey menunjuk ke arah luar kamar. Eidwen menurunkan lengannya yang memalang pintu lalu Abbey melanjutkan langkahnya menuju toilet di samping kamar. Dia menunjukkan toilet yang masih berfungsi dengan sempurna. “Ini toiletnya, semua masih oke, tapi lo harus jaga kebersihan karena gue nggak akan naik buat bersihin toilet, atau lo mau nambah duit lagi buat jasa bersih-bersih,” terang Abbey. Eidwen mengamati Abbey dengan heran. “Lo suka meras orang, ya?” “Emang lo cucian?” balas Abbey dengan ringan. Kemudian dia pergi ke petak kecil yang beralaskan keramik yang dilengkapi kran air. “Lo bisa cuci baju di sini. Nanti bak cucinya gue antar ke atas,” lanjut Abbey. “Tali jemurannya juga udah ada. Jangan lupa jepret jemuran lo biar nggak kabur kena angin. Di atas sini anginnya kenceng. Terus, lo bisa kan siram tanaman?” Abbey menunjuk pot-pot tanaman yang membentuk taman kecil di dekat tangga melingkar. “Gue nggak biasa siram tanaman,” balas Eidwen dengan jujur. Dia memang tidak pernah merawat tanaman apa pun sebelumnya. Di rumahnya banyak tanaman, tapi selalu ada orang yang mengurusnya. Abbey memutar bola mata. “Terserah deh, tapi kalau lo nggak mau, gue tiap sore bakal naik ke rumah atap buat siramin tanaman. Setuju?” Eidwen tak menjawab. Merasa cewek ini benar-benar merepotkan. “Gue bakal kasih lo kunci pagar cadangan. Tapi lo nggak boleh bawa banyak cowok ke rumah atap.” “Kenapa?” tanya Eidwen. “Kenapa?” ulang Abbey. “Karena bikin gue nggak tenang.” “Lo pikir gue bakal ngajak teman-teman gue yang m***m ke sini?” balas Eidwen masih dengan wajah datar. Abbey mengedikkan bahu. “Siapa tahu.” “Gue nggak perlu ngajak teman-teman gue yang m***m ke sini.” Eidwen melihat kerutan di dahi Abbey. “Karena gue udah m***m. Gue punya banyak koleksi video p***o di laptop dan gue biasanya nonton pas gue pengin.” Mendengar itu, seketika raut wajah Abbey berubah shock. Sesaat Eidwen ingin tertawa melihatnya. “Gue bercanda,” lanjut Eidwen ketika Abbey mulai melangkah mundur dengan perlahan seakan bersiap kabur. “Bagian mana yang bercanda?” tanya Abbey. Eidwen menelangkan kepala, mengamati cewek berwajah kecil yang sedang panik itu dengan seksama. Merasa terhibur. “Kalau gue mesum.” “Berarti lo bener-bener punya banyak koleksi video p***o?” tanya Abbey. “Punya banyak video p***o nggak bikin seseorang menjadi kriminal.” Raut wajah Abbey berubah mengeras untuk mempertimbangkan, tangannya menyentuh sakunya yang menggelembung karena uang Eidwen. Melihat hal itu, sesaat Eidwen pikir, cewek itu akan mengembalikan uangnya dan membatalkan perjanjian sewa rumah atap. Perasaannya jadi ketar-ketir. “Kalau gitu, lo cowok normal,” balas Abbey di luar ekspektasi Eidwen, lalu gadis itu beranjak pergi dan menuruni tangga. “Selamat sore, Mister. Selamat pindah,” tutupnya dengan nada ceria sambil melambaikan tangan. Eidwen mengamati cewek itu pergi dengan pandangan heran. Gadis itu, agak-agak aneh. *** Mata Abbey nyalang menatap langit-langit kamarnya. Di atas sana, dibatasi plafon dan lantai beton, berada seorang cowok sedang menghuni bekas kamarnya. Mungkin sekarang cowok itu juga sedang berbaring di kasurnya yang bermotif Cinderella. Abbey membayangkan apa yang sedang Eidwen lakukan di atas sana sembari merenungkan keputusan besar yang dia ambil sore ini. Apakah bijak menerima cowok untuk tinggal di rumahnya ketika dia sering berada di rumah sendirian tanpa Mama? Lalu apa kata Mama nanti jika tahu kalau ada cowok yang menyewa rumah atap? Apakah alasan uang SPP cukup membuat mama memaafkannya? Abbey mencoba memejamkan mata. Uang pemberian Eidwen sudah dia setor ke bank. Pembayaran SPP sudah dia lakukan setelah selesai memasang sprei di kamar atap. Sedikit rasa tenang menggelanyar di hatinya ketika mengingat tagihan SPP itu terselesaikan. Malam ini, sebelum tidur, Abbey memastikan semua pintu dan jendela sudah terkunci rapat. Berjaga-jaga agar Eidwen tak bisa menerobos masuk ke dalam rumah sekaligus agar membuat perasaannya tenang. Mengenai Mama, dia bisa memikirkannya esok hari. Kemudian dengan perlahan, dia terlelap setelah berhari-hari tak cukup tidur karena memikirkan uang SPP. Dia benar-benar belum tahu masalah apa yang sedang menantinya esok hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD