Chapter 2

1277 Words
Suasana sedih terlihat jelas pada pemakaman Ethan. Daisy terlihat mengenakan pakaian serba hitam, dengan kacamata hitam yang menutupi wajah sembabnya. Lamia masih terlihat lemas, ia duduk di sebuah kursi yang disediakan di sana. Wajahnya nampak seperti orang yang tidak tahu arah. Beberapa kali ia mengusap airmatanya dengan sapu tangan. Acara pemakaman itu dihadiri oleh beberapa rekan bisnis Ethan, di sana juga ada orang kepercayaan keluarga Gregory, Ronald Foster. Ronald dipercaya untuk memegang bisnis keluarga Gregory semenjak beberapa tahun terakhir. Ia juga selalu datang ke mansion jika membutuhkan tandatangan Ethan. “Nyonya, duduklah. Kau sudah terlihat lelah,” ujar Gill, asisten rumah. “Aku ingin melihatnya hingga acara pemakaman ini selesai, Gill. Kau bisa menemani putriku di sana,” jawab Daisy. “Baik, Nyonya.” Gill berjalan mendekati Lamia, ia membuka paying untuk melindungi Lamia dari sinar matahari. Acara berlangsung dengan tenang, bahkan ada beberapa orang yang memberikan penghormatan terakhir dengan meletakkan bunga pada makam Ethan. Setelah selesai, Lamia jatuh pingsan dan dibawa ke dalam mansion oleh Edward. Daisy hanya terdiam saat melihat Lamia pingsan, ia bahkan tidak menghampiri Lamia saat itu, dan memilih masuk ke dalam kamarnya sendiri. Daisy meringkuk di sudut kamar dengan memeluk foto Ethan. Ia terus menangisi kepergian suaminya. Tok … Tok … Tok … Ceklek Penelope masuk ke dalam kamar Daisy, ia berjalan mendekat dan memberitahu jika pengacara Ethan akan membacakan surat wasiat. Daisy beranjak dari tempatnya, berjalan mengikuti langkah Penelope. Sementara Lamia yang sudah sadarkan diri, kini ikut bergabung di ruang kerja Ethan. Di sana … sudah berkumpul Ronald, Edward, dan tiga wanita dari keluarga Gregory. “Baiklah, aku akan membacakan isi dari surat ini,” ujar Leon, pengacara keluarga Gregory. Semua duduk dengan tenang mendengarkan pengumuman itu. Hanya saja, terlihat wajah emosi dari Penelope, karena tidak ada namanya di dalam surat wasiat itu. “Bagaimana bisa dia melupakan aku?” protes Penelope. “Maaf Nyonya … Tuan Ethan membiarkan kau untuk tetap tinggal di mansion selama bersikap baik pada Nyonya Daisy dan juga Nona Lamia, jika kau melanggar semua itu, kau bisa angkat kaki dari mansion ini,” jelas Leon. Penelope beranjak dari tempatnya dan melangkah pergi dari sana. Sedangkan beberapa orang di sana masih setia menunggu kelanjutan isi dari wasiat itu. “Bisnis keluarga akan di pegang oleh Tuan Ronald, hingga Nona Lamia bisa memegang sepenuhnya,” jelas Leon. “Nyonya, semua kekayaan keluarga di berikan pada Nona Lamia, dan terhitung setelah Nona bertemu dengan suaminya,” sahut Ronald. “Terserah. Apa kalian sudah selesai? Aku ingin seger tidur,” jawab Daisy. Wanita itu segera berdiri, lalu berjalan keluar dari sana. Melihat ibunya yang seperti itu, hati Lamia terasa sakit dan semakin bersedih. “Mommy,” gumam Lamia. Lamia menatap Ronald yang kini duduk di sampingnya, pria itu memeluk tubuh Lamia dengan erat. “Kau akan segera terbebas dari semua ini, mereka akan segera kembali,” bisik Ronald. Lamia yang tidak mengerti maksud dari perkataan pria itu, hanya terdiam dan menatapnya dalam-dalam. Ronald dan Leon segera pergi dari mansion itu, dan mereka melanjutkan pekerjaannya di kota London. “Nona, apa kau mau beristirahat?” tanya Edward. “Ya, antarkan aku ke kamar, Tuan Edward.” Edward meraih tubuh Lamia dan membawanya hingga sampai di kamar. Tubuhnya direbahkan perlahan di atas ranjang. “Aku ada di depan jika kau membutuhkan aku, Nona,” ujar Edward. “Aku mengerti.” Setelah melihat Edward yang berjalan keluar dari kamarnya, kini … Lamia perlahan memejamkan matanya, dan terlelap di dalam mimpi. *** Satu minggu berlalu … hujan di sekitar mansion membuat udara dingin menyentuh kulit putih Lamia. Ia tidak bisa pergi kemana-mana beberapa hari ini, karena harus menjaga Daisy. Ya, wanita itu kini terlihat seperti sedang depresi. Beberapa kali terdengar suara teriakan yang memilukan dari kamar Daisy. Membuat Lamia semakin gelisah dan khawatir dengan kondisi ibunya. Dokter yang datang juga menyarankan agar Daisy di bawa ke rumah sakit. Tetapi, penolakan selalu datang dari diri Daisy. “ETHAN! JANGAN TINGGALKAN AKU!”  teriak Daisy. Mendengar suara Daisy, Lamia dan Edward berlari menuju kamarnya. Brak Edward membuka pintu kamar Daisy dengan keras. Ia berlari melihat kondisi wanita itu di atas ranjang. Tubunya menggigil, suhu tubuh Daisy juga naik. Wajah Daisy juga sangat pucat saat itu, dan membuat Lamia ketakutan melihat ibunya. “Mommy … apa yang terjadi padamu?” gumam Lamia. Ia duduk di samping ibunya, dengan mengusap keringat yang keluar dari pori-pori wajah. Lamia meneteskan matanya melihat kondisi sang ibu. Tidak lama setelah itu, dokter datang dan memeriksa kondisi Daisy. “Apa Nyonya Gregory tidak memakan apapun?” tanya sang dokter. “Mommy selalu memakan makanannya, tetapi memang tidak sebanyak biasanya. Apa Mommy akan baik-baik saja?” tanya Lamia. “Kondisinya sangat memperihatinkan, sebaiknya aku memasang infus pada Nyonya Gregory.” Dokter itu menyiapkan beberapa alat, dan juga air infus agar kondisi Daisy tidak terlalu turun. Lamia kembali bersedih, hanya Daisy yang ia miliki saat ini. Wanita itu berharap jika ibunya akan kembali pulih. Setelah dokter selesai melakukan tugasnya, Lamia tertidur di sofa yang ada di kamar itu. Wajahnya terlihat lelah karena harus mengurus sang ibu. Sedangkan Edward lebih menyibukkan diri dengan menyiapkan semua kebutuhan kedua wanita itu. “Nona, bangunlah … kau harus makan,” ujar Edward sembari memberikan makanan pada Lamia. “Apa Mommy baik-baik saja?” tanya Lamia. “Ya … Nyonya terlihat lebih baik saat ini,” jawab Edward. Lamia sedikit tenang data mendengar ucapan Edward. Kini ia mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Hingga akhirnya satu porsi makanan itu habis ia lahap. “Tuan Edward, aku ingin keluar sebentar … apa kau bisa menemani aku?” tanya Lamia. “Kau akan pergi kemana, Nona?” “Aku ingin membeli roti di tempat itu,” ujar Lamia. “Baiklah, aku akan mengantarkan kau ke sana. Lalu … siapa yang akan menjaga Nyonya?” “Kau bisa menyuruh Gill untuk menjaga Mommy, kita hanya pergi beberapa menit saja,” ujar Lamia. Edward mengangguk mengerti, ia kini memanggil Gill untuk berjaga di kamar itu. Sementara Lamia dan Edward pergi dari mansion untuk menuju ke toko roti. “Aku akan segera kembali, hanya ingin memakan roti isi daging harus datang kemari,” ujar Lamia. Edward mengangguk mengerti, pria itu menunggu di depan toko dengan melihat ke sekitarnya. Hingga beberapa menit kemudian, Lamia sudah selesai dengan urusannya, dan mereka segera kembali ke mansion. “Aku harap Mommy akan sadar saat kita sampai,” gumam Lamia. “Ya, aku juga berharap seperti itu, Nona.” Lamia menatap ke bungkusan roti yang ia beli, ada roti kesukaan ibunya di dalam sana. Dan Lamia ingin ibunya mengingat, jika ia selalu ada di sana. “Tuan Edward, apa Mommy akan mengingatku lagi?” tanya Lamia. “Nyonya selalu mengingat anda, Nona. Karena kau adalah putri satu-satunya dari keluarga Gregory,” ujar Edward. Lamia tersenyum, berharap apa yang dikatakan Edward akan segera terjadi. Karena Lamia tidak akan bisa lagi meneteskan airmata jika terjadi sesuatu pada ibunya itu. Mobil yang dikendarai Edward memasuki halaman Mansion, dan Lamia segera berlari masuk ke dalam sana. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Penelope keluar dari kamar ibunya. “Apa yang kau lakukan di dalam sana?” tanya Lamia. Perasaannya tidak enak, ia sangat takut jika Penelope melakukan sesuatu pada ibunya. “Aku hanya ingin melihat kondisi Daisy, apa itu salah?” Penelope berlalu menjauhi Lamia, lalu saat itu juga Lamia berlari masuk ke dalam kamar. Lamia melihat ibunya tersenyum padanya, senang … tentu saja. Lamia mendekati sang ibu dan memeluknya erat. “Mommy, akhirnya kau sadar.” “Lamia … darimana saja kau?” “Aku? Aku membeli roti ini, lihatlah … ini kesukaanmu, Mom.” Daisy tersenyum dan menerima roti yang Lamia berikan. Keduanya memakan roti itu bersama, dan mereka sangat menikmati saat-saat itu.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD