Ringga

1096 Words
Sesampainya di restoran tempat Ringga bekerja, Ringga segera masuk ke dalam ruang pegawai. Tempa para pegawai menyimpan tas dan mengganti pakaian mereka dengan seragam restoran tersebut. Ringga hendak menutup pintu lemari penyimpanan barang, tapi ia di kejutkan dengan Vega yang sudah berdiri di hadapannya sambil tersenyum lebar. “Astaga!” pekik Ringga. Teriakan Ringga membuat rekan kerja yang ada di ruangan yang sama melihat ke arahnya. “Kenapa Ringga?” tanya Riko menoleh ke arah Ringga. “Hah? Oh tidak ada apa-apa. tanganku kejepit,” jawab Ringga berbohong. Jika ia jujur ada hantu yang mengagetkannya, maka akan membuat kericuhan di ruang pegawai. “Oh, hati-hati bro!” ujar Riko kembali merapikan barang-barangnya ke lemari penyimpanan. “Iya,” jawab Ringga, tersenyum kikuk. Lalu ia melotot ke arah Vega. Vega sadar jika telah membuat Ringga kesal, ia kemudian mencoba merayu Ringga, “Ringga, maaf ya. Aku sudah membuat kamu dimarahi waktu di bus tadi,” ujar Vega. Tapi Ringga mengacuhkan Vega. Ia bersikap seolah tidak melihat sosok Vega di hadapannya. Ringga bekerja seperti biasanya. Merapikan peralatan makan, menyiapkan bahan-bahan masakan yang ada di dapur, dan menata peralatan masak yang akan digunakan oleh koki restoran  tersebut.  Vega selalu mengikuti langkah kaki Ringga kemanapun ia melangkah. Ringga masuk ke dalam ruangan pendingin untuk mengambil beberapa sayuran dan daging yang akan di masak. Vega ikut masuk ke dalam dan mengamati semua bahan masakan dan daging yang akan dimasak nanti. Di dalam ruangan tersebut ada sayuran yang harus di simpan di tempat yang sangat dingin.  Setelah mengambil beberapa barang dan bahan makanan, Ringga segera keluar dari ruangan pendingin tersebut, dan menutup pintu ruangan pendingin. Sedangkan Vega masih ada di dalam ruang pendingin tersebut. Mengetahui Ringga sudah keluar dan pintunya sudah tertutup dan terkunci otomatis, Vega menjadi panik.  “Ringga! Ringga!” panggil Vega dari balik pintu yang terdapat kaca di bagian tengahnya. Mendengar namanya di panggil terus menerus dari balik pintu ruangan, Ringga menoleh dan terlihat jika Vega ada di dalam ruangan tersebut. Namun, bukannya menolong membukakan pintu ruang pendingin, Ringga malah tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Ringga kembali menyiapkan peralatan dan bahan makanan yang akan di masak oleh koki. ** Di dalam ruang pendingin Vega sudah menggigil kedinginan. Lalu ia kembali memanggil Ringga. “Ringga! Ringga!” panggil Vega dengan suara yang mulai melemah, “Ringga ke mana sih? Kok enggak bukain pintu sih? A ... aku kedinginan di sini, hatchiiii,” ujar Vega sudah mulai bersin-bersin. Sementara itu Ringga masih larut dengan pekerjaannya. Ia menyiapkan, dan menyusun peralatan masak.  “Ringga, tolong bersihkan meja yang di luar ya, aku sedang membantu mengangkat meja ini ke belakang,” ujar Riko. “Oke,” jawab Ringga, lalu membersihkan meja yang ada di teras restoran. Dengan gesit Ringga mengerjakan semua tugasnya. Hingga ia menyadari ada yang berbeda. “Kok ada yang beda ya? Apa ya? Terlalu sepi.” Ringga memikirkan apakah ada yang salah dengan yang di lakukannya.  Setelah memasuki dapur lagi, Ringga teringat dengan Vega, “Ke mana Vega? akhirnya dia menyerah menggangguku,” ucap Ringga sambil tersenyum. “Ringga tolong ambilkan ayam fillet di ruang pendingin ya!” perintah Nata, sang koki. “Baik Chef,” ujar Ringga. Kemudian Ringga membuka pintu ruangan pendingin dan ia terkejut melihat Vega sedang duduk di lantai dan kedinginan. Ringga menghampiri Vega, “Kamu ngapain duduk di situ?” tanya Ringga berdiri di hadapan Vega. “Ka ... kamu tega! Membiarkan aku kedinginan di sini, kenapa tidak bukakan pintu untukku? Aku hampir mati kedinginan,” ucap Vega, tubuhnya menggigil.  Ringga tertawa, lalu jongkok di hadapan Vega, “Heh, hantu mana ada yang matinya dua kali. Lagi pula, kamu tidak perlu membuka pintunya, kamu kan hantu, bisa menembus pintu itu,” ucap Ringga sambil tertawa. Mendengar ucapan Ringga, Vega baru sadar, “Iya ya, kenapa tidak terpikirkan olehku?” tanya Vega tersenyum sendiri.  “Haduh, aku malah ngeladenin hantu ini lagi,” ujar Ringga kemudian berdiri dan mengambil fillet ayam yang di minta oleh Chef Nata. Vega berdiri dan kembali ceria, “Terima kasih ya, sudah membukakan pintu untuk aku,” ujar Vega mengira Ringga sengaja membukakan pintu untuknya. Ringga menghampiri Vega, “Aku ke sini untuk mengambil fillet ayam ini, bukan sengaja membukakan pintu untuk kamu!” ucap Ringga ketus. Ringga keluar dari ruang pendingin, Vega mengikuti langkah Ringga. Di dapur sudah ada beberapa menu masakan yang sedang di masak oleh para Chef. Vega melihat masakan dan mencium aroma masakan yang terasa nikmat. “Hhhmm, wanginya masakan ini, tampilannya juga terlihat enak,” ujar Vega matanya membulat ketika melihat masakan yang ada di hadapannya.  Ringga menghampiri Vega dan membawa sepiring mi Aceh untuk pelanggan yang sudah mulai berdatangan. Vega mengikuti Ringga yang membawa mie aceh tersebut ke pelanggan yang duduk di teras restoran.  Restoran bernama Cozy ini terletak di perbukitan di daerah Bogor, suasana yang asri karena banyak pepohonan yang rindang di halaman restoran dan pemandangan bukit dan lembah yang menjadi daya tarik restoran tersebut.  Vega duduk di samping wanita yang memesan mie aceh tersebut. Matanya tidak lepas memandangi terus mie aceh tersebut, bibirnya tampak di monyongkan ketika melihat wanita tersebut memakan mie aceh tersebut. Vega menelan salivanya ketiak wanita itu menelan makanannya. Wajah Vega benar-benar menginginkan makanan tersebut. “Dasar hantu bodoh! Dia benar-benar tidak tahu caranya menikmati makanan itu, bahkan untuk tembus pintu saja masih bingung. Sepertinya di baru beberapa jam meninggal, jadi masih newbie,” ujar Ringga melihat kelakuan Vega. “Siapa yang newbie?” tanya Aydin yang sudah berdiri di belakang Ringga. “Eh, Pak Aydin. Itu pak ... hmm, pelanggan yang makan mie aceh itu,” jawab Ringga asal. “Oh, maksud kamu pelanggan baru?” “Iya, Pak,” jawab Ringga. Hampir saja dia keceplosan bilang jika melihat hantu. “Mudah-mudahan pelanggan kita semakin banyak. Sudah, kamu lanjutkan lagi pekerjaanmu,” ujar Aydin menepuk bahu Ringga pelan. “Baik, Pak,” ujar Ringga.  Sementara itu Vega kesal karena hanya bisa melihat dan mencium wangi mie aceh, tapi tidak bisa memakannya. Bibirnya cemberut. Lalu matanya menatap sebuah bukit yang terlihat dari teras restoran. Matanya tertuju di bukit dan pagar pembatasnya, “Tempat itu tampak tidak asing bagiku? Tapi tempat apa itu?” tanya Vega  “Sebenarnya aku ini siapa? Kenapa aku tertarik melihat bukit itu, aku merasa tidak asing dengan bukit itu,” tanya Vega, menatap kembali bukit yang mengalihkan perhatiannya dari mie aceh. Kini Vega terlihat tampak melamun melihat ke arah bukit tersebut.  “Kenapa sekarang dia melamun menatap bukit itu?” tanya Ringga setelah melihat Vega melamun menatap bukit yang ada di seberang restoran. “Ah, kenapa aku jadi memperhatikan dia terus?” Ringga menepuk dahinya sendiri. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD