Part 3

1668 Words
Bandara Soekarno Hatta – Terminal 3 Lima tahun. Waktu yang ia gunakan untuk berlari dari kesedihan yang dirasanya tak juga hilang. Ilker berjalan keluar dari pintu terminal dengan barang bawaannya yang tak seberapa. Ilsya, apa kabar putrinya itu? Ilker bukannya membenci anak kecil itu. Tidak, sesungguhnya dia teramat mencintainya. Dan karena terlalu mencintainya, ia jadi tak sanggup untuk menatapnya apalagi menyentuhnya. Mungkinkah bocah itu akan mengenali dirinya? Entahlah, Ilker tidak tahu akan seperti apa nantinya. Dan lagi, ia belum akan memberitahukan perihal kedatangannya pada siapapun, meskipun ia tahu pasti bahwa kedua orangtuanya pasti sudah mengetahui kepulangannya dari orang suruhan mereka di Turki. Ilker berjalan menuju taksi yang berada dekat dengannya. Pengemudi taksi itu langsung bertanya dalam bahasa Inggris ketika Ilker masuk ke dalam mobilnya. Ilker tersenyum. Dulu, hal ini selalu menjadi bahan lelucon diantara dirinya dan Akara. Tentu saja, dengan perawakan dan wajah berkontur asing, semua orang selalu menduga bahwa dirinya dan Akara sama sekali tidak fasih berbahasa Indonesia. Padahal faktanya… Ilker menyebutkan alamat tempat tinggalnya yang sontak membuat supir taksi itu terkejut mendengarnya. Namun tanpa banyak bicara, pria itu melajukan mobilnya dan membawa Ilker menuju kediamannya. Bukan kediaman orangtuanya. Bukan juga kediaman yang dia bangun bersama kekasih tercintanya. Tapi kediaman yang ia tinggali sendiri sebelum ia memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Berpuluh menit kemudian, Ilker kembali menjejakkan kakinya di depan bangunan berlantai tiga puluh itu. seperti apa bentukan apartemennya setelah lima tahun tak ia sentuh. Lagi-lagi, sebuah senyum miring tercetak di wajahnya. Tentu saja ia tidak perlu mengkhawatirkan itu. Ibunya pasti akan mengurus semuanya untuknya. Atau mungkin adiknya? Ya, tentu adiknya. Pastinya Mirza akan menggunakan apartemennya sebagai tempat persembunyiannya saat Ilker tak ada. Bocah itu selalu saja melakukannya sejak dulu, apalagi saat Ilker tidak ada. Pasti dia akan merasa lebih leluasa lagi untuk tinggal disana. Ilker berjalan menuju pintu kaca yang merupakan pintu penghubung area resepsionis menuju lift yang akan mengantarkannya ke lantainya. ia sendiri tidak yakin, apa kartu miliknya masih bisa digunakan untuk masuk. Karena kalau tidak, itu berarti ia harus menghubungi salah satu orang di rumahnya untuk meminta kode. Dan ia tidak menginginkan itu sekarang. Untungnya, pikirannya tak terjadi. karena pintu itu segera terbuka saat Ilker meletakkan barcode kartu di depan mesin sensornya. Dengan langkah pelan, ia berjalan memasuki lift yang akan membawanya menuju penthouse nya. Ilker membuka pintu penthousenya dengan menggunakan sensor jarinya. Pintu itu seketika terbuka dengan bunyi pelan yang mengiringinya. Lampu langsung menyala saat ia melangkahkan kaki masuk kedalamnya. Tidak ada yang berubah. Sedikitpun tidak ada yang dirubah semenjak terakhir kali ia meninggalkannya. Atau sebenarnya ada yang berubah tapi dia tidak mengingatnya? Ilker menggelengkan kepala. Siapapun yang membersihkan unitnya, dia harus berterima kasih karena tidak menganggu gugat apapun yang ada di dalam ruangan itu. Ilker berjalan masuk ke dalam kamarnya tanpa repot melepas sepatunya. Ia tidak ingin mengecek ruangan lain yang ada disana. Jikapun Rayyan atau Mirza ada dan sedang bersenang-senang disana. Ia tidak peduli. Saat ini, dia hanya ingin menghilangkan jetlag nya karena sudah melakukan perjalanan yang cukup panjang yang membuatnya pegal dan tak bisa berisitirahat dengan tenang. Ya. Meskipun ia memesan kelas utama. Kegugupannya untuk kembali ke Indonesia tetap membuatnya tak bisa memejamkan mata. Ilker melemparkan tasnya sembarangan. Melepas sepatunya dan membiarkannya tergeletak begitu saja di lantai yang tak jauh dari tempat tidurnya. Seraya berjalan, dia membuka pakaiannya dan dengan sembarangan melemparkannya ke keranjang cucian. Ia berjalan menuju kamar mandi dan membasahi seluruh tubuhnya dengan air hangat. Berharap dengan membersihkan diri dia bisa menghilangkan seluruh kepenatannya dan bisa tertidur dengan nyenyak. Keesokan paginya Ajeng membuka matanya dan seketika menggeliatkan tubuhnya. Semalam ia pulang larut karena ternyata acara ulang tahun yang dilakukan di restoran selesai lepas setelah tengah malam. Pukul satu lewat tiga puluh menit dia baru sampai ke kontrakannya. Beruntung suara pintu dibuka tidak membuat temannya, Nisa terganggu. Ajeng berjalan dengan tubuh lelahnya menuju kamar mandi. Nisa yang ternyata sudah menggunakannya lebih dulu kini tersenyum ke arahnya. “Pulang larut banget?” tanyanya ingin tahu. Ajeng hanya mengangguk dengan malas. “Habis ini, pergi kerja lagi?” tanyanya yang seolah sudah tahu jadwal Ajeng. Ajeng kembali menganggukkan kepalanya. Ia lantas masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri sebelum melakukan kewajibannya. Pukul lima tiga puluh, Ajeng sudah bersiap dengan celana jeans dan juga kaus lengan pendeknya. Tak lupa, cardigan bahan rajutan pabrik ia letakkan di tangannya. Hari ini—ralat, pagi ini, dia sudah punya jadwal untuk mengerjakan pekerjaannya yang lain. Tidak sedikit orang yang tahu kalau Ajeng itu pekerja keras. Sebagian besar orang malah menganggap dirinya seorang yang materialistis karena mau mengerjakan pekerjaan apapun selama dibayar. Dan berpoin utama, halal. Ajeng memang memiliki pekerjaan tetap sebagai pelayan sebuah restoran, namun dia juga memiliki pekerjaan lain selain itu. Menjadi babby sitter—hal yang sejak SMA sudah sering dilakukannya. Menjadi guru les bagi anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya. Dan yang sangat sering ia lakukan adalah menjadi asisten rumah tangga. Ya, Ajeng bekerja sebagai tukang bersih-bersih, tidak penuh waktu, hanya sebagian waktunya untuk mengisi jam kosongnya sebelum dia bekerja di restoran. Malu? Tentu saja tidak. selama itu halal dan menghasilkan uang, apapun itu Ajeng bersedia melakukannya. Dan saat ini, terhitung hampir dua tahun Ajeng menjadi asisten rumah tangga untuk membersihkan sebuah penthouse mewah yang ada di area apartemen mahal di Jakarta. Penthouse yang sudah lama tak berpenghuni tetap namun digunakan sesekali untuk bersenang-senang oleh para anak orang kaya yang dikenalnya. Sebuah senyum tercipta di wajah Ajeng. Mengingat bagaimana kelakuan konyol dua saudara sepupu yang sering dilihatnya. Siapa lagi kalau bukan putra bungsu pasangan Lucas-Gisna Levent, Rayyan. Dan kakak sepupunya, putra bungsu dari pasangan Adskhan-Caliana Levent, bernama Mirza. Meskipun putra bungsu Lucas-Gisna sudah bertaubat, tampaknya untuk kakak sepupunya, Mirza, hal itu belum berlaku. Karena sampai saat ini, pria itu masih saja suka membawa para kekasihnya ke penthouse alih-alih ke apartemennya sendiri. Dan ya, Ajeng juga menjadi asisten rumah tangga di apartemen pria itu meskipun dilakukannya di waktu yang berbeda. Ajeng sudah ditunggu oleh tukang ojeg langganannya tepat di depan ujung gang kediamannya. Bapak berusia lima puluh tahun itu menyapanya dengan senyum ramahnya seperti biasa. Menyerahkan helm pada Ajeng sebelum kemudian melajukan motornya dengan kecepatan aman. “Makasih ya, Pak.” Ajeng mengembalikan helm yang dikenakannya pada si tukang ojek yang dijawab dengan anggukkan. Setelah melihat tukang ojek itu berlalu, ia kemudian berjalan masuk ke dalam apartemen. Penjaga keamaan disana menyapanya dengan sebuah senyuman dan anggukan pelan. Tentu saja, mereka sudah hafal dengan wajah Ajeng. Bagaimana tidak, selama dua tahun dia melakukan pekerjaan ini secara rutin, dan sebenarnya, dari mereka pula Ajeng terkadang mendapatkan informasi pekerjaan lainnya. Ajeng menekan kode tepat di depan sebuah pintu kaca sebelum kemudian melanjutkan langkahnya untuk masuk menuju ke lift. Untung sekali dirinya tidak memiliki klaustrofobia yang parah, jika tidak, bagaimana bisa dia harus menaiki tangga darurat untuk sampai ke lantai 31 setiap kali ia datang kesana? Ya, apartemen itu memang memiliki 30 lantai. Tapi alih-alih bagian teratasnya digunakan untuk landasan helikopter, seseorang malah menjadikan ruangan luas itu sebagai penthouse pribadi. Dan tentu saja orang itu bukan orang miskin. Melainkan seorang pria yang dulu—ya, dulu, karena lima tahun sudah berlalu sejak saat pria itu pergi—berjaya dan menjadi pengusaha muda yang teramat kaya raya di jamannya. Ajeng keluar di lantai tiga puluh. Menaiki tangga lain yang posisinya tersembunyi untuk naik ke satu lantai lainnya. Di depan pintu penthouse, ia kembali menekan angka sebagai password pembuka. Dan tara.. sebuah penthouse berdominasi dinding kaca yang memiliki banyak pemandangan kota hadir di depannya. Ajeng meletakkan tasnya di atas meja bar. Membuka lemari penyimpanan dan mulai mengambil peralatan bersih-bersihnya. Ia mulai mengenakan apron anti air. Memasangkan headset pada ponselnya sebelum memasukkan ponsel itu ke dalam saku apronnya. Ya, mengingat di apartemen ini dia sendirian, dan karena Ajeng tak mau kesepian, dia lebih suka menghabiskan waktu bersih-bersih sambil menyalakan musik dan bersenandung. Dengan lap dan pembersih di tangannya, Ajeng mulai memainkan tangannya untuk membersihkan seluruh isi rumah. Can I call you baby? Can you be my friend? Senandung lirih seseorang membuat Ilker membuka mata. Can you be my lover up until the very end? Siapa itu? Tanyanya dalam hati dengan mata mengantuk dan kepala yang masih berdenyut nyeri. Let me show you love, oh, I don't pretend Stick by my side even when the world is givin' in, yeah Suara yang merdu dan lirih itu membuat Ilker hanya bisa berdiam diri dan mendengarkan Oh, oh, oh, don't Don't you worry I'll be there, whenever you want me Ilker menurunkan kakinya dan meraih jubah kamar mandi yang semalam digunakannya. Berjalan meninggalkan ruangan seraya mengikat tali jubahnya. Semakin dekat ia menuju pintu, semakin jelas suara itu terdengar. I need somebody who can love me at my worst No, I'm not perfect, but I hope you see my worth 'Cause it's only you, nobody new, I put you first And for you, girl, I swear I'll do the worst Ilker membuka pintu dan melihat sosok seorang gadis berambut panjang tengah mengelap meja televisi membelakanginya. Gadis itu bernyanyi sambil terus bekerja, tidak bergaya berlebihan seperti saat seseorang bernyanyi di sebuah adegan drama. Dan suara gadis itu—sebagai seorang produser, atau mantan produser—terdengar begitu merdu di telinga Ilker. If you stay forever, let me hold your hand I can fill those places in your heart no else can Let me show you love, oh, I don't pretend, yeah I'll be right here, baby, you know I'll sink or swim Ilker memilih untuk terus berdiri disana dan mendengarkan. Oh, oh, oh, don't Don't you worry I'll be there, whenever you want me I need somebody who can love me at my “Worst tagfirullahhaladzim!” gadis itu seketika memekik ketika berbalik dan melihat ada orang lain disana. “Siapa Anda? Apa yang Anda lakukan disini?” Tanya Ajeng dengan mata menuduh memandang Ilker yang berdiri di depannya hanya dengan mengenakan jubah mandi yang bahkan tidak mencapai lututnya. ia seketika menutup wajahnya saat tahu bahwa dibelakang jubah pria asing itu mungkin tidak mengenakan apa-apa. “Seharusnya aku yang bertanya, siapa kau? Dan apa yang kau lakukan di tempatku?” Ilker balik bertanya dengan nada dinginnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD