Part 4

1726 Words
Gadis itu bukannya menjawab namun malah balik memandangi Ilker dengan sorot mata curiga. “Apa Anda temannya Tuan Mirza?” tanya gadis itu ingin tahu. Ah, berarti gadis ini suruhan Mirza. Pikir Ilker dalam hati. Ia kemudian mengedikkan bahu sebagai jawaban. “Bisa jadi.” Jawabnya dengan ambigu. Gadis itu kembali mengernyitkan dahi dengan bingung. Namun tatapannya tak lepas dari Ilker. Ilker tahu di balik jubahnya ia hanya mengenakan celana pendek tanpa atasan apapun. Dan ia mengangkat sudut mulutnya dengan senyum mengejek. Apa gadis itu tidak pernah melihat seorang pria setengah telanjang? Tanyanya dalam hati. “Jika Anda membawa seorang perempuan kemari untuk bersenang-senang. Lebih baik Anda memintanya untuk segera berpakaian. Karena saya risih melihat sesama perempuan berjalan tanpa pakaian.” Ucap gadis itu dengan nada memerintah yang seketika membuat Ilker berjengit. “Bahkan Tuan Mirza ataupun Tuan Rayyan Mengerti akan hal itu.” ucapnya dengan nada menantang. Terkejut. Sungguh, Ilker dibuat terkejut. Dia tidak menyangka gadis itu akan menduga dirinya membawa wanita ke kediamannya sendiri hanya karena melihatnya bertelanjang d**a seperti ini. Lagipula siapa yang akan membawa wanita masuk ke dalam kamarnya. Tubuhnya jelas sudah mati rasa pada makhluk berjenis kelamin perempuan semenjak istrinya meninggal lima tahun yang lalu. Dan kenapa pula Mirza harus berbuat nakan di tempatnya. Awas saja bocah itu. “Aku tidak membawa siapapun kemari. Aku hanya datang dan tidur.” jawab Ilker yang entah kenapa merasa harus menjelaskan hal itu pada si gadis yang masih mencengkeram erat lap di tangannya. Ilker berniat untuk masuk ke dalam kamarnya dan membersihkan diri saat merasakan perutnya bergemuruh lapar. “Apa kau dibayar untuk memasak juga?” tanyanya dengan tatapan terarah pada gadis itu. Ajeng memandanginya dengan bingung. Dia tidak dibayar untuk memasak. Dia hanya bertugas untuk membersihkan tempat majikannya. Tapi melihat raut wajah pria yang tampak menyedihkan, mau tak mau kepalanya mengangguk. “Bisa tolong buatkan aku sarapan?” pinta Ilker dengan lembut. Ajeng kembali menganggukkan kepala. “Apa yang ingin Anda makan?” tanyanya dengan sopan. “Apapun, selama itu layak untuk dimakan. Aku bukan orang yang pilih-pilih makanan.” Ucapnya seraya masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan pelan. Ajeng terdiam di tempatnya. Jujur, ia bukan hanya sekali ini melihat pria bertelanjang d**a. Ia sudah seringkali melihat itu semua semenjak lima tahun terakhir ini. Terlebih melihat tubuh Tuan Mirza dan Tuan Rayyan yang bukannya malu setiap kali bertelanjang d**a, namun kedua pria itu selalu bangga dengan roti sobek di perut mereka. Namun melihat kedua sepupu itu, Ajeng tidak pernah merasa tergoda, apalagi sampai merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya seperti saat ini. Beda halnya ketika ia melihat pria asing keluar dari kamar itu. Dengan rambut panjang yang berantakan dan jubah mandi yang menunjukkan sebagian kecil dadanya yang bidang entah kenapa membuat Ajeng tiba-tiba merasa gerah sendiri. Tangannya seolah gatal ingin terjulur dan menyentuh kulit berwarna kecoklatan itu. Dan lagi, melihat jambang dan kumis sudah menjadi kesehariannya semenjak ia bekerja di keluarga Levent. Tapi melihat jambang dan kumis pria tadi yang berwarna kecoklatan membuat Ajeng… Ia menggelengkan kepala dengan keras dan dengan segera berjalan menuju dapur. Mbak Halwa, sekretaris Tuan Mirza selalu memastikan kalau lemari es itu harus selalu berisi penuh. Entah oleh sayuran dan daging segar atau oleh makanan beku. Ajeng sendiri tidak tahu kenapa, namun Tuan Mirza tidak keberatan. Pria itu selalu mengatakan jika keesokan hari bahan yang dibelanjakan sebelumnya masih tersisa dan masih layak konsumsi, pria itu mengatakan Ajeng boleh membawanya atau membagikannya pada teman-teman kos nya untuk dimakan bersama. “Daripada mubazir.” Itulah yang sering dikatakan pria itu. sampai Ajeng sendiri heran. Kalau memang pria itu tidak ingin memubazirkan makanan, seharusnya pria itu menyuruh Mbak Halwa untuk berhenti berbelanja dan meminta orang berbelanja jika dia akan datang saja. Tapi begitulah orang kaya. Seenaknya. Ajeng mengeluarkan daging sapi yang ada di dalam freezer. Ia tahu itu adalah daging untuk steak dengan kualitas terbaik. Tapi karena ia tidak bisa mengelola steak, maka ia mengiris daging beku itu menjadi irisan tipis sebelum kemudian merendamnya meletakkannya dalam air bersuhu normal supaya es nya cepat mencair. Ia juga mengeluarkan jamur kancing yang ada di dalam lemari es dan beberapa sayuran lainnya seperti paprika dan daun bawang. Namun ia sadar bahwa di penthouse itu tidak ada nasi, dan ia cukup kebingungan karenanya. Memasak nasi tidaklah cepat, apalagi memasak bubur. Ia mencari baguette, namun ia juga tidak menemukannya dan malah menemukan roti tawar sebagai gantinya. Ajeng melirik daging dan merasa tanggung jika harus memasukkannya kembali ke dalam lemari es. Jadinya ia berencana membuat sandwich dengan isian tumis daging dan jamur panggang. Ajeng kemudian memotong beberapa bahan tumisan dengan kelihaiannya menggunakan pisau dapur. Ia memotong bawang Bombay dan paprika. Tidak jadi menggunakan daun bawang. Setelahnya ia menumis bahan itu dalam wajan yang sudah di panaskan. Setelah bawang berbau wangi, Ajeng memasukkan daging itu ke dalam wajan. Ia terlalu fokus pada masakannya sampai tidak menyadari kalau Ilker sudah selesai membersihkan dirinya dan berjalan ke arah dapur. Ia menoleh karena mencium aroma segar sabun yang menguar di sekelilingnya. “Ada yang perlu dibantu?” tanya pria itu pada Ajeng. Tadi, ia berdiri cukup jauh dari pria itu sehingga tidak menyadari bahwa tubuh pria itu bukan hanya tinggi, tapi sangat tinggi. Dan juga besar. Dengan bahu yang lebar dan lengan yang tampak begitu kokoh. Ajeng sudah terbiasa bersisian dengan Tuan Mirza dan Tuan Rayyan. Tapi tinggi tubuh keduanya tidak setinggi pria yang ada di sampingnya ini. Dan melihat otot mereka, Ajeng tak pernah merasa begitu gatal ingin menyentuhnya. Tapi pria yang berdiri di sampingnya ini, entahlah. Ajeng merasa heran sendiri dengan respon tubuhnya. Ajeng mendongakkan kepala untuk benar-benar melihat wajah pria itu. rambut panjangnya kini sudah diikat dengan sembarangan di belakang kepalanya. Menyisakan beberapa helai nakal di kedua sisi wajahnya. “Ada yang perlu kubantu?” pria itu mengulangi pertanyaannya yang membuat Ajeng mengedipkan mata dengan cepat dan kembali mengaduk masakan di wajannya. Ia menggelengkan kepala dengan cepat untuk menjernihkan kepalanya. “Ti-tidak ada.” Jawabnya gugup. “Hanya saja tidak ada nasi disini, jadi tidak apa kalau saya memanggang roti sebagai gantinya?” Pria itu mengedikkan bahu. “Tidak masalah. Asal bisa membuat perutku kenyang, itu sudah cukup.” Jawab pria itu lagi. Lantas kemudian tubuh tinggi besarnya bergerak menuju lemari es empat pintu yang ada di salah satu dinding dan membukanya. “Kurasa Mirza ataupun Rayyan tidak mabuk disini?” tanya pria itu tanpa mengangkat kepala. “Saya kurang tahu tentang itu. Saya hanya dibayar untuk membersihkan rumah.” Jawab Ajeng apa adanya. Dari sudut matanya Ajeng bisa melihat pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sudah berapa lama kau bekerja pada Rayyan dan Mirza?” tanyanya ingin tahu. Ajeng menggelengkan kepala dan mulai mengolesi roti dengan margarin. “Saya tidak bekerja untuk mereka, Tuan.” Jawabnya jujur. “Saya bekerja untuk Mbak Halwa, sekretarisnya Tuan Mirza.” “Begitu. Jadi, selain bekerja untuk sekretaris Mirza, kau bekerja dimana?” tanyanya yang kemudian membuat Ajeng menaruh perhatian penuh padanya. Ada apa dengan pria itu? Kenapa dia bertindak seperti seorang investigator? “Aku bukan seorang investigator. Aku hanya sekedar penasaran, mengingat kau masih muda tapi kau bekerja sebagai asisten rumah tangga.” Ucapnya seraya mengeluarkan s**u dari lemari es dan kemudian membuka salah satu pintu nakas dan mengeluarkan gelas. Ajeng mengerutkan kening, bagaimana bisa tamu seperti pria itu begitu hafal tata letak barang di dapur? Bukankah biasanya orang asing akan meminta bantuan? “Saya memang masih muda. Tapi saya punya cukup banyak pengalaman.” Jawab Ajeng tanpa ada niatan untuk sombong sedikitpun. “Jadi? Kau bekerja disana dan disini?” tebak Ilker lagi. Ajeng menganggukkan kepala. “Sebenarnya tidak bisa dikatakan bekerja disana sini, karena pekerjaan saya selalu terhubung pada satu keluarga.” “Maksudnya?” “Saya bekerja untuk keluarga Levent secara umum. Saya bekerja sebagai salah satu pramusaji di Turkish Resto yang dimiliki oleh Sir Erhan Levent. Saya bekerja untuk Mbak Halwa yang merupakan sekretaris dari Tuan Mirza Levent. Dan saya terkadang dipekerjakan sebagai pengasuh oleh Nyonya Gisna Levent dan Nyonya Caliana Levent.” Tutur Ajeng apa adanya. Tanpa Ajeng ketahui, Ilker mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum. “Pengasuh? Siapa yang kau asuh?” tanyanya ingin tahu. “Cucu-cucu mereka.” Ucapnya dengan senyum yang terkembang di wajahnya. “Anak-anak yang cantik dan lucu.” Lanjutnya. Ia membalik roti yang ada di atas wajan anti lengket sebelum memasukkan jamur kancing ke atasnya. “Cucu?” tanya Ilker seolah tidak tahu. “Ada berapa cucu yang kau asuh?” “Dua.” lanjutnya tanpa menaruh curiga. “Satu gadis cantik bernama Hanna. Sekarang dia sudah tidak perlu pengasuh lagi mengingat usianya sudah cukup besar. Dan satu lagi bernama Ilsya. Dia gadis yang sangat cantik dan cerdas. Anda tahu, di usianya yang ke empat dia bahkan sudah pandai menulis dan membaca.” Ucapnya dengan bangga. “Kau yang mengajarkannya?” tanya Ilker lagi ingin tahu. Ajeng menggelengkan kepala. “Sekolahnya, tentu saja. Saya hanya menemaninya jika diperlukan saja. Saya bukan pengasuh penuh waktu.” Akunya lagi. Ilker hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Anda bisa duduk di meja makan, makananya sudah hampir matang semua.” Ucapnya pada Ilker yang diangguki pria itu. dengan satu tangan meraih kotak s**u dan tangan tainnya meraih gelas, Ilker duduk di ujung meja. Menunggu Ajeng menyajikan makanannya. Ajeng sudah meletakkan roti panggang di atas piring. Jamur panggang dan tumis daging di piring lainnya. “Semoga Anda menikmati sarapannya.” Ucapnya seraya meletakkan piring-piring itu di atas meja. “Kau tidak sarapan bersamaku? Sepertinya kau datang kemari jauh sebelum jam sarapan.” Itu bukan pertanyaan tapi pernyataan. “Tidak usah, Tuan. Tidak sopan menikmati makanan bersama tamu.” Tolak Ajeng halus. “Kalau Anda mengijinkan, saya akan melanjutkan pekerjaan saya.” Ucapnya lagi. Ilker menganggukkan kepala dan Ajeng kembali meraih lap dan semprotannya. “Apa kau terbiasa bekerja sambil bernyanyi seperti tadi?” tanyanya saat Ajeng dua langkah berjalan menjauh. Ia terdiam dan menggelengkan kepala. “Saya hanya bersenandung sambil bekerja untuk menghilangkan sepi.” Jawabnya jujur. “Siapa yang takut sendirian di tempat sebesar ini.” ujarnya sambil mengedikkan bahu dan memilih untuk membersihkan bagian luar penthouse. “Satu lagi.” Ucap Ilker dengan nada yang lebih lantang. “Kau belum menyebutkan siapa namamu. Setidaknya aku harus menyebutkan namamu saat aku berterima kasih pada Mirza, bukan?” tanyanya dengan senyum yang terbentuk di sudut mulutnya. “Saya Ajeng, Tuan.” Jawab Ajeng sopan. “Ajeng.” Ilker mengulangi nama itu dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD