Part 3 | Rasa Tak Biasa

1345 Words
“Pertemuanmu dengan dia membuat rasa aneh yang menyapa rongga dada.” *** Entah sudah berapa lama Zihan berdiri mematung di pinggir jalan menunggu taxi ataupun angkutan umum yang sudi untuk mengantarkannya. Namun kedua netranya tak kunjung juga melihat tanda-tanda akan ada kendaraan yang datang menghampiri. “Masa iya gue ke kantor Ayah jalan kaki. Bisa rontok nih kaki,” gumamnya. Tak lama suara deru mesin motor berhenti di depannya, dengan senyum lebar dia melihat seseorang yang bertengger manis di atas motor ninja dengan wajah tertutup helm full face. ‘Ojeg zaman now,’ pikir Zihan senang. “Bisa antarkan saya?” tanya Zihan pada seseorang yang dia yakini sebagai supir ojeg. Dia masih setia bertengger di atas moge dan helm full face yang masih melekat di kepalanya. “Tentu dengan senang hati, Bidadariku,” ujarnya setelah dia melepaskan helm full face miliknya. Suara orang itu sangat alay dan membuat Zihan mual. Zihan terperanjat kaget mendengar respons yang dia terima dari seseorang di hadapannya. Dengan cepat Zihan mendongak dan mendapati seseorang yang tak asing untuknya. “Irfan!” pekiknya. “Yap.” Dia adalah Irfan kerabatnya sewaktu SMP dulu yang sekarang sudah berprofesi sebagai dokter di rumah sakit milik keluarganya sendiri. “Sorry, gue kira loe tukang ojeg,” ucap Zihan tak enak. “Santai aja. Mana ada tukang ojeg seganteng dan setampan gue,” ocehnya penuh percaya diri. Rasanya Zihan ingin muntah di tempat sekarang juga mendengar ucapan super pede dari lawan bicaranya. “Udah ayo buruan gue anter,” titahnya. “Enggak ah gue nunggu taxi atau angkutan umum aja,” tolak Zihan. Meskipun begini Zihan tahu batasan antara seorang perempuan dan laki-laki, tidak baik jika hanya berduaan saja. Terlebih lagi posisinya sekarang Irfan mengendarai motor dan itu tak  menutup kemungkinan akan adanya kontak fisik di antara mereka. Walaupun Zihan tidak memiliki rasa ataupun s*****t berlebih. Tapi tetap saja dia harus membatasi kedekatannya bersama orang yang bukan mahram-nya. Namun dia tidak bisa membentengi dirinya untuk tidak bertemu dengan Gibran. Cinta memang mampu membuat seseorang salah jalan. Dalam Shahihul Bukhari, dari Ibnu Abbas Radliyallah’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wassalam bersabda : “Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali dia (wanita tadi) ditemani mahram-nya.” “Udah gue anter aja di sini jarang lewat kendaraan umum,” tuturnya. Zihan berpikir sejenak, dia setuju dengan apa yang dikatakan oleh teman lamanya itu. “Tapi---” “Tenang gue tau batasan kok, ini tas gue buat sekat di antara kita biar gak ada kontak fisik berlebih. Kalau loe takut jatuh pegangan aja ke jok motor,” jelasnya yang seperti mengetahui kegelisahan hati Zihan. Dan hal itu membuat Zihan bisa sedikit bernapas lega. “Ya udah tapi pelan-pelan,” peringat Zihan. Irfan mengangguk mantap. Dia juga masih sayang nyawa. So, untuk apa kebut-kebutan tak jelas di jalanan. Ini bukan arena balapan dan yang pasti Irfan bukanlah pembalap handal. “Nih pake helm-nya.” Irfan menyodorkan helm yang selalu dia bawa. Zihan mengambil alih benda yang berfungsi sebagai pengaman kepala itu dan langsung memakainya. Lalu dia duduk di kursi penumpang. “Bismillahirrahmanirrahim,” ucap Zihan sebelum motor melaju membelah jalanan. “Pantes loe gak mau gue anter. Taunya udah ada yang jemput,” gumam seseorang yang sedari tadi memantau gurak-gerik Zihan. “Syukurlah kalau loe udah nemuin seseorang yang cocok buat loe. Gue ikut bahagia,” gumamnya lagi tapi melemah saat menyebutkan kata terakhir kalimatnya. Ada sesuatu yang dia rasakan di dalam hatinya. Namun entah rasa apa itu dia pun tak mengetahuinya. Cemburu? Oh tidak mungkin mereka hanya sebatas sahabat. Entahlah yang jelas ada rasa ketidakrelaan dan ketidakikhlasan saat melihat Zihan bersama laki-laki selain dirinya. Gibran, ya laki-laki itu adalah Gibran. *** Setelah beberapa menit menerobos jalan raya akhirnya mereka sampai di tempat tujuan juga. “Makasih, Fan,” ucap Zihan setelah turun dan melepaskan helm. “Iya santai aja kalau sama gue mah,” sahutnya seraya mengambil alih helm yang Zihan sodorkan. “Ya udah duluan yah, Han assalamualaikum.” “Wa'alaikumusalam warahmatullah,” sahut Zihan. Kini motor yang mengantarkannya sudah tak nampak dari pandangan. Zihan berjalan memasuki kantor milik sang ayah guna melanjutkan pekerjaan yang tadi sempat terhenti karena ulah orang yang tidak bertanggung jawab yang telah memaksanya untuk bertemu. “Han berkas-berkasnya udah selesai ditandatangani, ‘kan?” Baru saja Zihan mendorong kenop pintu ruangan. Tiba-tiba suara Tasya menyapa pendengarannya. “Hehe, belum Mbak tadi ada urusan mendadak.” Tasya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak dari atasannya. Memangnya seberapa penting urusan itu sampai lupa tugasnya untuk bekerja? “Aku langsung kerjain sekarang juga, Mbak.” Zihan langsung masuk ke dalam ruangannya. Melanjutkan pekerjaan yang sempat terabaikan. Membaca mempelajari dan menandatangani berkas-berkas dengan penuh ketelitian dan konsentrasi tinggi. *** “Assalamualaikum,” salamnya ketika memasuki rumah yang di tempatinya bersama dengan kedua orang tua dan satu adik laki-lakinya. “Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh,” sahut Windi, bundanya. “Baru pulang, Han?” tanya sang bunda basa-basi. “Iya, Bun,” jawabnya seraya mengambil tangan sang bunda untuk disalami. “Zihan ke atas dulu yah, Bun mau bersih-bersih.” Zihan langsung bergegas ke lantai dua, tempat kamarnya berada yang sudah difasilitasi dengan kamar mandi di dalamnya. Setelah beberapa menit berperang dengan segala macam peralatan mandi. Zihan kembali turun ke lantai satu membantu sang bunda untuk menyiapkan makan malam. “Ada yang bisa Zihan bantu?” tanyanya seraya memeluk sang bunda dari belakang. “Tentu dengan senang hati,” sahut Windi seraya melepaskan tangan sang putri yang melingkar cantik di pinggang rampingnya. Kedua wanita beda generasi itu berkutat dengan segala macam alat masak. Di tengah kesibukan mereka memasak suara salam menggema mengusik gendang telinga. “Assalamualaikum.” “Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh,” jawab sepasang ibu dan anak itu. “Yang sekolah pulangnya ngalahin orang kerja,” sindir Zihan menegur Zaka, adiknya yang terlalu rajin bersekolah. “Syirik aja sih, Kak,” sahut Zaka seraya melepaskan tas punggungnya dan menaruh asal di meja. “Siapa juga yang syirik,” sela Zihan tak mau kalah dengan sang adik. “Tadi apa coba kalau bukan syirik namanya?” “Udah-udah baru juga pulang bukannya bersih-bersih dulu. Ini malah ribut gak jelas!” lerai Windi. “Kak Zihan yang duluan, Bunda,” adu Zaka seraya mencium punggung tangan ibunya. “Ih apaan sih,” dalih Zihan. “Iya tadi, ‘kan Kak Zihan yang duluan ngajak ribut.” “Itu mah kamu aja yang sensian,” kata Zihan tak terima. “Enggak yah. Itu tuh akibat kurang belaian cogan makanya suka gerecokin Adeknya yang gantengnya kelewat batas ini,” oceh Zaka memasang wajah super cool-nya. “Ish, ngomongnya udah kaya orang bener aja,” seru Zihan. “Udah jangan ribut mulu. Biarin Adik kamu bersih-bersih dulu, kasian dia masih capek.” “Bunda baik banget sih belain aku yang di dzolimi Kak Zihan.” Zaka serasa di atas angin mendengar ucapan ibunya. “Udah gih sana mandi,” titah Windi mengkomando putra bungsunya. Zaka langsung bergegas menuju kamarnya untuk membersihkan tubuh yang sudah terasa lengket karena keringat. Sedangkan Zihan mencebik kesal karena ulah adiknya yang sangat menyebalkan. *** Malam telah menyapa. Menyapa seluruh insan manusia untuk segera bergegas mengistirahatkan kondisi fisik yang sudah terlalu lelah beraktivitas seharian penuh. Tepat di sepertiga malam Zihan terbangun untuk menyempatkan bertemu dan menyapa Rabb-Nya melalui salat malam yang selalu dia dirikan. Menyapa Allah dengan dua raka'at salat malam. Berdoa dan bermunajat kepada-Nya. Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala menganjurkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wassalam untuk melakukan salat malam. “Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra' 17: Ayat 79). Tepat di sujud panjang terakhir, Zihan menumpahkan segala macam kegundahan dan kegelisahan dalam hatinya. “Pertemukan dan persatukanlah hamba dengan dia yang telah Engkau tetapkan menjadi imam yang kelak akan menemani, dan membimbing hamba menuju jannah-Mu. Dan hamba berharap dia-lah yang Engkau tetapkan untuk menjadi imam hamba kelak. Aamiin Allahuma Aamiin.” Dia membuka Al-qur'an dan membacanya dengan tartil. Menunggu waktu subuh datang dengan mengisi lantunan ayat suci Al-qur’an adalah rutinitasnya untuk mengawali hari. -Bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD