Part 2 | Hutang

1435 Words
“Hutangmu memang tak seberapa bagimu tapi bagiku melebihi dari segalanya. Hutangmu memang tak ternilai dengan digit ataupun ringgit tapi hutangmu menyangkut Hati dan Perasaan yang beberapa detik lalu kau torehkan.” *** Hening tak ada satu pun yang membuka suara setelah Gibran mengucapkan kata yang mampu membuat Zihan melambung tinggi dan kemudian jatuh ke kerak bumi. Mencabik-cabik hati dan perasaan Zihan, meruntuhkan pertahanannya yang sudah bertahun-tahun memendam perasaan. Dan kini pada saat dia merasa cintanya akan terbalaskan sebuah fakta baru didapatkan, bahwa ini hanyalah sebuah lelucon belaka. Sadar Zihan sadar! Dia gak mungkin suka sama loe dia cuman nganggep loe sahabat. Gak lebih! “Zihan... Zihan... Zihan Fahira Adinda Pratama!” teriak Gibran entah untuk yang keberapa kalinya. Sontak Zihan terperanjat kaget saat mendapati suara bising yang begitu memekakkan. “I... i... iyah apa?” gagapnya. “Bengong mulu dari tadi. Kesambet baru tau rasa loe,” candanya seperti tak pernah terjadi apa-apa beberapa menit yang lalu. ‘Gue emang udah kesambet, Ran. Kesambet cinta jin iprit di depan gue.’  Zihan membatin. “Gue baru tau kalau pekerjaan seorang Zihan Fahira Adinda Pratama adalah bengong, bengong, dan bengong udah kaya kaya kambing ompong.” Zihan tak menanggapinya yang dia pikirkan hanyalah hati dan perasaannya yang sudah hancur berkeping-keping hanya dalam waktu sekejap. Dia merasa telah dipermainkan oleh sahabat sekaligus orang yang dicintainya. Gibran Ahmad Luqman Prasetya, cinta pertamanya. Cinta yang masih terjaga kesuciannya. Yang hanya Allah dan sepertiga malam yang mengetahui dan tentu dirinya sendiri. Cinta dalam diam yang dia harapkan akan berakhir indah sebagaimana kisah cinta Sayidina Ali dan Fatimah binti Muhammad. “Zihan loe kenapa sih? Dari tadi bengong mulu. Loe baik-baik aja, ‘kan?” tanyanya seraya melambai-lambaikan tangan di depan wajah Zihan. “Eng...eng...enggak papa kok, Ran. Gue baik-baik aja,” kata Zihan berkilah menutupi perasaanya yang kini sudah remuk redam. “Heyy, berduaan mulu udah kaya orang pacaran aja,” ucap seseorang mengagetkan sepasang sahabat itu. “Zahra!” pekik kedua serempak. “Cieee kompak banget sih dua sahabat gue ini. Iya ini gue Zahra Nureni Sukma Prawira,” tutur Zahra yang malah memperkenalkan nama lengkapnya dan langsung duduk di kursi kosong sebelah Zihan. Zahra, Zihan, dan Gibran mereka bertiga sudah bersahabat sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dan sampai saat ini masih menjalin hubungan persahabatan yang baik. “Apaan sih, Ra,” kata Zihan menyangkal apa yang baru saja dikatakan sahabatnya. “Loe dari kapan di sini?” tanya Zihan mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya niat Zahra ke tempat ini ingin membeli makanan untuk Hanna, uminya tapi ternyata dia bertemu dengan kedua sahabatnya. Dan kebetulan juga dia memang berniat menghubungi sang sahabat untuk memberitahu perihal acara reuni yang akan diadakan teman-teman sewaktu SMP-nya dulu. ‘Sambil menyelam minum air kalau begitu.’ Kira-kira begitulah yang ada dalam pikirannya. “Dari tadi,”  jawabnya. Zahra langsung bangkit dari duduknya dan berniat mengambil pesanan makanan yang tadi sudah dia pesan. Namun urung saat ada sepasang tangan yang mencekal pergelangan tangannya. “Loe mau ke mana, Ra?” cegah Gibran. ‘Gibran gue di sini kenapa loe malah megang tangan Zahra. Loe hutang penjelasan sama gue,’  batin Zihan. “Lepasin, Ran,” pinta Zahra tapi Gibran enggan untuk melepaskan cekalan tangannya. “Loe mau ke mana?” ulang Gibran. “Mau ke mana sih, Ra?” Zihan ikut bertanya pada sahabatnya itu. “Lepasin dulu tangan gue,” perintahnya dan Gibran langsung melepaskan cekalan di lengan sang sahabat. “Gue cuman mau ambil makanan doang kok,” katanya dengan menampilkan deretan gigi putih nan bersih miliknya. Zihan dan Gibran saling melempar pandang pada sahabatnya yang kini malah cengengesan tanpa dosa. Kesal! “Jadi loe cuman mau ambil makanan doang?” tanya Zihan memastikan. Takutnya Zahra hanya beralasan saja. Zahra mengangguk mantap, meyakinkan kedua sahabatnya yang tengah menampilkan raut wajah tidak percaya. “Kenapa gak bilang dari tadi, Ra. Gue kira loe mau cabut,” keluh Zihan. “Hehe, loe berdua aja yang lebay dan takut kehilangan gue.” ‘Gue emang takut loe pergi dari hidup gue, Ra,’  batin Gibran setuju dengan apa yang baru saja dikatakan Zahra. Dia menyimpan sedikit kekaguman pada salah satu sahabatnya yang bernama Zahra itu. Seorang waiters mendatangi ketiganya dan memberikan sebuah paper bag berisi makanan pada Zahra. “Udah yah gue cabut duluan. Makanannya juga udah jadi,” pamit Zahra yang memang sudah ditunggu oleh ibunya. “Kok buru-buru banget sih, Ra belum juga kita ngobrol dan makan-makan bareng.” Gibran berkata lesu. “Ya udah sih kalian lanjutin aja pacarannya. Gue gak mau ganggu orang yang lagi kasmaran,” katanya dengan diiringi senyum jail. “Pacaran apa sih, Ra kita kan sahabatan. Iya, ‘kan, Han?” cetus Gibran meminta dukungan. Zihan hanya menanggapinya dengan anggukan dan senyuman manis tapi penuh luka di baliknya. ‘Iyah gue tau kok loe gak mau dan akan pernah mau punya hubungan lebih dari sekadar sahabat sama gue.’  Lagi-lagi Zihan hanya bisa membatin. “Beneran deh gue harus cabut sekarang juga Nyokap udah nunggu. Bukan nunggu gue sih lebih tepatnya makan ini.” Zahra terkekeh pelan seraya menunjukkan paper bag yang berada di tangannya. Melihat sorot mata tak percaya kedua sahabatnya dia memperlihatkan gawai yang sudah tertera apik pesan dari sang ibu. Umi❤  Zahra pulang sekarang Umi tunggu, Nak. Keduanya masih melihat Zahra dengan rasa ketidakpercayaan. “Apa sih loe berdua liatin gue segitunya banget. Gue tau kok gue ini syantik kaya Zaskia gotik. Cetar membahana melebihi bulu mata Inces Syahrini. Apalagi body gue yang udah kaya model papan penggilesan emak-emak,” candanya. Gibran dan Zihan menatap tajam ke arah Zahra. “Viss, gue balik yah udah ditunggu Nyokap,” tutur Zahra menatap ngeri kedua sahabatnya. “Daahhh guys gue cabut duluan yah byyy. Assalamualaikum.” Zahra langsung pergi melesat setelah mendengar jawaban salam dari kedua sahabatnya. “Wa'alaikumusalam warahmatullahi wabarokatuh.” *** “Loe punya hutang sama gue,” todong Zihan saat keduanya kembali duduk berdua. “Hutang apaan sih, Han. Emang gue punya hutang berapa sama loe?” tanya Gibran seraya mengambil uang dalam dompet dan memberikannya pada Zihan. “Bukan itu maksud gue, Gibran Ahmad Luqman Prasetya!” ujar Zihan kesal. “Terus?” tanya Gibran dengan wajah super polosnya. “Hutang penjelasan!” jawab Zihan singkat, padat, dan jelas. “Penjelasan apa maksud loe?” Gibran malah kembali melontarkan pertanyaan. “Dasar loe tuh cowok paling gak peka!” cibir Zihan. “Apaan sih loe gue gak ngerti?” tanya Gibran bingung. “Peka dong, Ran peka!” gerutu Zihan. “Peka apaan sih?” Bingungnya masih dengan memasang wajah polos menyebalkan. “Hutang? Peka? Apa coba?” gumam laki-laki itu. “Loe tau tembok? Keras, ‘kan? Dingin, ‘kan? Nah itu juga yang gue rasain, ngomong sama loe itu udah kaya ngomong sama tembok. Keras dan dingin. Udah pake kode keras gak mempan udah gue siram pake air panas masih juga dingin. Bingung gue kalau ngomong sama loe. Tingkat kepekaan loe rendah,” cerocos Zihan mengeluarkan apa yang mengganjal dalam hatinya. “Kok ngomong loe ngelantur gak jelas gitu sih, Han?” tuturnya tak mengerti. “Udahlah lupain aja, Ran.” ‘Gue cape, Ran kalau loe terus giniin gue. Gue bukan jemuran yang bisa loe gantungin seenak jidat. Gue bukan mainan yang bisa loe mainin sesuka hati, dan gue bukan boneka yang bisa loe buang dan pungut saat loe butuh,’ batin Zihan menjerit sakit. “Han kok bengong lagi sih?” Gibran mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah sang sahabat karena mendapati sahabatnya yang bengong lagi, lagi, dan lagi. “Mikirin apa sih?” lanjutnya. ‘Mikirin status kita yang masih tetap sama.’  Ingin rasanya Zihan melontarkan perkataan itu pada Gibran. Tapi apa daya lidahnya  selalu kelu untuk mengutarakan kejujuran hatinya. Zihan menggeleng cepat. “Enggak papa kok,” elaknya. “Ya udah, Ran gue harus cabut lagi ke kantor,” lanjutnya. “Janganlah, Han gue, ‘kan belum beres ngomong sama loe,” cegah Gibran. ‘loe mau ngomong apa lagi, Ran? Belum puas nyakitin gue? Belum puas ngancurin hati gue? Belum puas?!’  Lagi-lagi Zihan hanya bisa membatin.  “Tapi sorry, Ran gue harus cabut sekarang juga. Ada berkas-berkas yang harus gue kelarin,” tolaknya. “Ya udah gue anter,”  tawar Gibran. “Gak usah. Gue naik taxi aja.” Lagi-lagi penolakan yang Gibran terima. ‘Cukup, Ran cukup jangan ngasih gue harapan lebih lagi.’ “Tapi, Han---” Ucapan Gibran dipotong begitu cepat oleh Zihan. “Udahlah gue duluan. Assalamualaikum.” Zihan pamit tanpa mendengar balasan salam dari Gibran. “Wa'alaikumussalam,” jawab Gibran setelah Zihan menghilang dari pandangannya. -Bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD