Part 1 | Bercanda

1640 Words
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :  “Sesungguhnya aku juga bercanda, namun aku tidak mengatakan kecuali yang benar.” *** “Candaanmu memang tak selucu acara Stand up comedy di tv. Tapi candaanmu mampu memberikanku efek tawa dan luka secara bersamaan yang saling bersahutan.” *** Sudah menjadi Kebiasaan Zihan terbangun di sepertiga malam untuk melaksanakan salat malam. Menyapa Tuhannya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Awalnya sulit bahkan sangat sulit untuk terbangun di tengah malam seperti ini. Namun dengan seiring berjalannya waktu, itu sudah menjadi kebiasaan yang enggan untuk dia tinggalkan. Itulah beribadah, berat di awal tapi ringan jika terus dijalankan. Beda halnya dengan bermaksiat, awalnya ringan tapi berat di akhir karena harus menanggung dosanya. Duduk bersimpuh di tengah dinginnya malam yang hanya beralaskan sajadah untuk tempatnya bersujud dan mengadu pada Rabb-nya. Tempatnya bersujud seringkali basah oleh linangan air mata yang kerap kali tak bisa dia bendung. Mengingat betapa kecilnya dia di hadapan Rabb-nya. Mengingat betapa hinanya dia di hadapan Rabb-nya. Dan betapa berlumuran dosa serta kesalahan yang telah dia perbuat dalam hidupnya, yang sering kali lupa dan lalai akan perintah-Nya. Mengharap ampunan dan Ridho-Nya. *** Sekarang adalah Hari pertama Zihan bekerja di kantor pusat milik ayahnya yang bernama Pratama. Pratama seorang pebisnis yang sukses, terbukti kini beliau sudah memiliki beberapa cabang toko buku yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Bekerja di kantor sang ayah hanyalah kegiatan sampingannya saja. Karena pekerjaan utamanya adalah sebagai seorang pustakawan di salah satu Perpustakaan Perguruan Tinggi yang bernama Campus Asterion Islamic University. Zihan Fahira Adinda Pratama, adalah nama lengkap dari gadis cantik dengan hijab yang menutupi kepalanya. Putri pertama dari Pratama dan Windi serta memiliki seorang adik laki-laki bernama, Zaka Fasya Aditya Pratama yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan panjang tentang berbagai angan yang berkelana ke sana-kemari. “Masuk,” titahnya dan muncullah sosok seorang perempuan yang beberapa tahun lebih tua darinya. Dia adalah Tasya, sekertaris yang akan membantu pekerjaannya selama bekerja di kantor pusat milik sang ayah. “Ini ada berkas yang harus ditanda tangani.” Tasya menyimpan beberapa berkas yang ada di tangannya di meja kerja Zihan. “Iya makasih, Mbak.” Zihan langsung mengambil alih berkas-berkas tersebut. Sebagai tanda hormat kepada yang lebih tua Zihan memanggil Tasya dengan sebutan 'Mbak' sedangkan Tasya hanya memanggil Zihan hanya nama saja, tanpa ada embel-embel di depannya. Karena dia merasa keberatan jika dirinya dipanggil Ibu/Mbak atau apa pun itu, umurnya jelas di bawah Tasya. Jadi dia yang harus menghormati Tasya meskipun dari segi profesionalisme kerja jelas Tasya di bawahnya, tapi itu tidak dipermasalahkan Zihan sebab itu hanya sebuah panggilan saja. “Saya permisi,” pamitnya yang langsung menghilang di balik pintu ruangan kerja Zihan. Hal baru baginya berkutat dengan berkas-berkas dan file-file yang sangat asing. sedikit kerepotan dan kebingungan tapi untung saja ada Tasya yang mau membantu pekerjaannya. Biasanya dia hanya berkutat dengan buku, buku, dan buku. Dari mulai buku yang tipis sampai tebal, buku tentang medis, dan dunia kedokteran adalah makanan sehari-harinya. Beruntung dia memiliki sekertaris seperti Tasya yang sangat bisa diandalkan. Tasya sudah seperti kakak baginya, karena memang sebelum dia terjun ke dunia bisnis sang ayah. Ayahnya sudah terlebih dulu memperkenalkan Tasya kepada sang putri agar mereka bisa menjalin kerja sama yang baik. Zihan tengah berkutat dengan beberapa berkas yang baru saja diterimanya dari Tasya, membaca dan menandatanganinya dengan penuh ketelitian dan konsentrasi penuh. Namun tiba-tiba suara gawainya berbunyi nyaring. Tanda ada panggilan masuk. Dengan lincah dan gerakan cepat dia langsung mengangkat dan menempelkannya di daun telinga. “Hallo,” sapa seseorang di seberang sana. “Hm,” sahut Zihan. “Ketemu sekarang di tempat biasa gak ada penolakan karena ini perintah!” putusnya yang langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak. Zihan mendengus sebal dengan tingkah seseorang yang baru saja menghubungi dia dan menyuruhnya tanpa memberikan waktu dia untuk menjawab. Apakah dia menerima atau menolak ajakannya. “Kebiasaan deh kalau ada maunya main perintah aja udah kaya sama babu.” Zihan langsung mengambil tas selempangnya yang tersampir di kursi. Bergegas ke luar untuk mencari taxi yang akan membawa dan mengantarkannya ke tempat tujuan. *** Zihan sudah duduk di sebuah kafe namun yang ditunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. “Mana sih tuh anak? Dia yang ngajak ketemuan dia juga yang telat,” gerutu Zihan. “Gue cabut juga nih. Udah tiga puluh menit duduk gak jelas di sini, mana sendirian lagi.” Zihan berniat untuk beranjak dari duduknya. Tapi urung saat ada suara yang menyapa gendang telinganya. Suara yang selalu dia rindukan, suara yang selalu membuat deru napas dan detak jantungnya tak seirama dan berdetak lebih cepat dari biasanya. “Gue di sini Zihan,” ucap seseorang di belakangnya dan langsung duduk di bangku kosong. Posisi mereka saling berhadapan. “Kebiasaan deh loe yang ngajak ketemu tapi loe juga yang ngaret.” Zihan langsung menghadiahi seseorang yang kini sudah duduk manis di depannya dengan suara jutek dan judes. “Cuman tiga puluh menit doang gak nyampe sejam, ‘kan?” jawabnya enteng setelah melihat jam hitam yang melingkar indah di pergelangan tangan. “Apa? Loe bilang cuman. Apa gue gak salah denger?” omel Zihan tak terima. “Sorry, Han biasa tadi macet,” jawabnya dengan senyum tanpa dosa. “Gak ada sorry-sorry-an loe mah udah kebiasaan. Gak bisa gue maafin, hampir tiap kali ketemuan pasti loe telat. Telat minta maaf, telat minta maaf, gitu aja terus sampai sukses.” cerocos Zihan mengeluarkan segala macam kekesalan dalam hatinya. “Kayanya dalam kamus hidup loe itu 'Gak telat gak asik!' atau mungkin 'Telat is my life' gitu? Jadi loe bisa seenak jidat ngajak gue ketemuan dan buat gue nunggu lama sampe gue akaran,” lanjutnya kesal. Laki-laki tampan dengan setelan baju casual itu memiliki kebiasaan yang sangat membuat siapa saja jengkel dan kesal. Telat, telat, dan telat sudah menjadi habit-nya. “Udah dong, Han jangan ngomel mulu kuping gue panas nih,” ucapnya hiperbola seraya memegang kuping. Mana ada kuping panas gara-gara denger ocehan orang lain? Aneh! “Sorry, Han gak lagi deh,” lanjutnya berjanji. Membujuk sahabat cantiknya agar tidak marah lagi. “Alah, boong. Jangan suka ngumbar janji kalau gak bisa nepatinnya.” “Bener, Han kali ini mah gue janji gak bakal ngaret dan buat loe nunggu lagi,” ucapnya serius. “Semoga omongan loe bener dan bisa gue percaya,” sahut Zihan tak begitu percaya dengan janji yang sudah sering kali diingkari sahabatnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggunganjawabannya.” (QS. Al-Isra: 34). Keduanya memesan segelas jus jeruk dan caffucino late. Tak lama pesanan yang mereka pesan datang dan langsung disambar habis tak tersisa kecuali gelasnya. Tenggorokan Zihan sudah kering kerontang karena terlalu sibuk mengomel dan mengoceh, sedangkan orang di hadapannya haus karena mendengar omelan dan ocehan sang sahabat yang sudah seperti kereta api tanpa rem. Yang mendengar saja sampai haus begitu apalagi yang mengocehnya? Setelah dirasa tenang dan amarahnya mereda Zihan membuka suaranya. “Jadi loe mau apa ngajak gue ketemuan di sini?” tanya Zihan tanpa mau berbasa-basi. “To the point banget sih loe,  Han jadi orang. Gak bisa gitu loe basa-basi dulu, gimana kabar loe? Gimana kerjaan loe? Gimana kabar orang tua loe? Gimana jodoh loe udah lahir apa belum? Atau apalah itu.” “Gue gak ada waktu buat begituan, tadi loe bilang apa? Basa-basi. Maaf gue gak suka basa-basi,” sanggahnya. “Loe kenapa, Han? Hari ini sensitif banget. Lagi PMS?” “Udah deh loe jangan ribet pake nanya begitu segala. Bisa gak langsung ke intinya aja? Gue sibuk banyak kerjaan, gak kaya loe yang hobi keluyuran.” “Sejak kapan mulut loe sepedes cabe-cabean goceng yang ada di pasar, Han?” tanyanya seperti orang yang sedang berpikir keras. “Udah deh loe jangan bertele-tele gue gak punya banyak waktu,” desak Zihan. “Oke...oke.. siap Boss,” pasrahnya. Tak kunjung ada yang membuka suara, mereka hanya diam membisu menjelajahi pikiran masing-masing. Justru sekarang keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing. Katanya sibuk gak punya banyak waktu tapi mereka malah mengulur-ngulur waktu? “GUE SUKA SAMA LOE!” ucapnya membuka suara dan hal itu berhasil membuat Zihan mematung serta menghentikan aktivitasnya seketika. Tenggorokan Zihan terasa tercekat dan sulit mengeluarkan kata-kata. Padahal hanya empat kata yang terlontar dari mulut orang yang ada di hadapannya. Namun, hal itu mampu membuat dia diam membisu. Dia mencoba untuk mencerna kata demi kata yang baru saja didengarnya. Menetralkan detak jantung yang sudah mendesak minta keluar dari persinggahan. “Kok loe malah bengong sih?” tanyanya. Zihan langsung mengerjapkan mata beberapa kali kemudian menggeleng. “Eng...eng...enggak papa kok.” Zihan berkata dengan gugup dan terbata-bata. “Kok loe gugup gitu? Nervous yah deket-deket sama orang ganteng kaya gue,” kekehnya. “Pede banget sih,” sela Zihan sebisa mungkin menyembunyikan kegugupannya. “Tadi loe ngomong apa?” tanya Zihan ingin memastikan bahwa pendengarannya masih baik dan tidak perlu diperiksakan ke dokter THT. “Yang mana?” Dia malah balik bertanya pada Zihan. “Yang tadi.” Orang itu terlihat berpikir keras. Terlihat dari lipatan-lipatan di keningnya serta jari telunjuk yang dia ketuk-ketukan di dagu. Persis seperti anak kecil yang tengah berpikir. “Yang loe bilang kalau loe suka sama gue,” kata Zihan memberitahu dengan kepala menunduk malu. “Oh yang itu,” sahutnya enteng.  “Oh doang?” Zihan mendongak menatap manik mata lawan bicaranya sekejap. Dia mengangguk mengiyakan. “Gue cuman becanda, Han,” lanjutnya yang membuat Zihan kembali mematung. Suka? Becanda? Apa maksud loe Gibran? Jangan bilang loe cuman mau mainin gue. Ini hati Gibran bukan mainan yang bisa seenaknya loe mainin begitu loe butuh dan buang saat loe gak butuh. Ingin rasanya Zihan menjerit dan berlari menghilang di muka bumi ini. Andaikan dia mempunyai pintu ke mana saja milik Doraemon, sudah pasti dia akan pergi sekarang juga. Meninggalkan orang yang dicintai sekaligus orang yang sudah mempermainkannya. -Bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD