[03] Selalu Ada Jalan

1472 Words
Tita menatap pantulan tubuhnya di cermin. Dia mengenakan dress putih bermotif flower merah muda di atas lutut dengan leher model sabrina. Remaja di ambang dewasa itu tidak mengikat rambut seperti biasa. Mahkotanya jatuh bebas di punggung yang sedikit terbuka. Perempuan itu mengamati bunga dengan dedaunan kecil yang tersebar di pakaiannya. Turun ke bawah dia pandangi ujung pahanya yang terlihat membengkak. Ya, dia merasa berat badannya semakin menjadi-jadi semenjak pernah hamil. Ia seharusnya tidak memakai rok sependek ini. ”Mamanya Celi enggak bisa apa gayanya bagusan dikit? Ini nih banyak baju bagus. Pilih yang paling cantik supaya banyak yang suka.” Bodohnya Tita mengacuhkan nasihat bermanfaat dari anaknya Bu Diyas. Perempuan itu mengembuskan napas malas. Tita b**o, makinya dalam hati. Ia memutuskan untuk mengganti dengan pakaian kebangsaannya saja. Sebuah kaus berlengan panjang dan rok sepanjang betis lalu menguncir rambut. Entah kenapa kali ini ia malu melihat betisnya yang kebesaran. Perempuan gemuk inilah diri Cetita sekarang. Tita kembali menarik napas gusar. Dia kenapa hari ini? Celita masih terbuai oleh mimpi manis. Tita mengusap kening anaknya yang sedikit panas. Gadis kecilnya berguling ke kiri dan tidur dalam posisi telungkup. Ia menepuk ringan p****t Celita sebelum memulai aktivitas pagi itu. Jika hari biasanya, Celita juga ikut bangun ketika Tita selesai mandi pagi. Anak itu juga akan dimandikan. Dengan begitu Tita bisa mengeluarkan dagangannya tanpa rengekan Celita yang manjanya super sekali apabila belum dibersihkan. ”Sehat-sehat terus ya, Nak. Mama sayang Celi,” ucapnya sebelum meninggalkan Celita. Begitu selesai mengeluarkan pakaian yang ia pajang di sisi kanan dan kiri teras ruko, seorang pembeli datang melihat-lihat. Tita mengikuti pergerakan perempuan itu dengan ekor mata. Ia tidak terlalu posesif kepada barang dagangannya. Pernah suatu kali Tita berbelanja di sebuah toko pakaian berlogo internasional. Di sana ia merasa gerah sekali sebab ke mana pun ia melangkah, sang pramuniaga mengikuti seolah ia akan membawa lari pakaian saja. Ia merasa tidak bebas memilih. Menurut Tita, jika pembeli membutuhkan penjelasan penjual, mereka akan bertanya sendiri dengan memanggil penjaganya tanpa harus diikuti ke mana-mana. Tita tidak ingin pelanggan merasakan ketidaknyamanan yang pernah ia alami. ”Dek, baju kaus polos warna putih cuman tinggal ini aja?” tanya perempuan itu. Tita melihat kepada dirinya sendiri. Apa tidak salah dia dipanggil adek sedangkan perempuan yang bertanya perkiraan Tita tidak beda jauh usianya. ”Iya, Kak. Tapi kalau Kakak mau masih ada yang lengannya tiga perempat. Bahannya lebih bagus juga.” ”Ya enggak bisalah, Dek. Mau kupakai di dalam baju sekolah.” Tuh ‘kan! Masih sekolah. Tita mengulum bibirnya. Ada sebait kebahagiaan dalam hati karena masih dikira adek-adek walaupun pernah melahirkan. Ah, s**l. Meskipun Tita berubah menjadi setua penyihir yang kempot dan peyot seperti dalam Disney pun, Tita rela karena ia melahirkan putri yang super lucu. Ia tidak peduli mau dikatai tante-tante bahkan nenek-nenek. ”Kalau gitu, Kakak ambil yang ini aja. Karena Kakak pelanggan pertama, aku kasih diskon deh. Gimana?” tawarnya. Perempuan itu mengangguk antusias. Tita pun lega. Dia membungkus baju tersebut kemudian menerima bayarannya. ”Laris nih, Neng.” Tita menutup cash drawer cepat-cepat akibat teguran itu. Perempuan tadi sudah pergi. Sekarang ada Tala yang sedang pamer gigi di hadapannya. ”Enggak kerja, Bang Tala?” balasnya. Lelaki itu melihat benda hitam di pergelangan tangannya. ”Iya, sebentar lagi. Mau nganter titipin ibu nih untuk kamu.” ”Apa?” Tita mendekati Tala dan mengintip tas kertas di pegangannya. ”Sarapan pagi. Nih!” Tala menyerahkan benda itu. ”Si centil mana?” Tita memajukan bibirnya. Kalau ada orang yang mulutnya patut dimuseumkan, Talalah orangnya. Seenak hati mengatai anaknya centil. ”Dih malah manyun! Ambil piring sana, aku jagain tokonya bentar. Aku sibuk nih enggak bisa lama-lama.” Sibuk anter-jemput perempuan yang belum tentu jadi istri. Huh. Tita pergi ke belakang dengan sebal. ”Bang Tala mau numpang sarapan?” tanyanya setelah menyendok bubur ketan hitam ke dalam piring kecil. Tita menyiram permukaan bubur itu dengan santan manis. ”Udah, di rumah.” Tita makan pelan-pelan. Bubur buatan Bu Diyas terasa enak seperti buatan ibunya di rumah. Tita jadi kangen masakan ibu. Sepertinya Tita akan menelepon ibu agar datang ke Pekanbaru. ”Bang Tala masih di sini aja. Katanya sibuk?” sindir Tita. Ia telah selesai makan. Piring bekas makan ia taruh di bawah meja. ”Kemarin sudah aku bilang pakai baju tuh yang bagus. Kenapa sih bandel?” ”Ih ngapain repot banget sih ngurusin pakaian aku? Sebebas akulah mau pakai apa.” ”Aku hanya kasih saran supaya kamu terlihat cantik, Ta. Nenek-nenek aja bisa dandan lah kamu enggak.” ”Mendingan kamu pergi deh dari sini.” Tita mulai dongkol. Lelaki itu kenapa jadi semakin menyebalkan? Biasanya dia cuek sekali. Tita melihat Tala itu sekitar sebulan yang lalu. Dia kenal Bu Diyas dan Tala hanya karena kebetulan Celita ‘tersesat’ di rumah mereka. Saat itu Tala tidak pernah bicara dengannya jika Tita mampir menjemput Celita. Paling manis lelaki itu hanya tersenyum ringan sambil mengangkat kepala sebagai sapaan. Atau menyebut-nyebut namanya ‘mamanya si centil’ tetapi tidak berteguran langsung. ”Santai, Neng. Galak-galak begitu nanti enggak ada yang mau deketin.” ”Enggak penting juga.” ”Ya deh, salamin buat si Centil, ya. Omnya pergi bentar nganter calon tante cari nafkah dulu.” Tita menekan dadanya. Sepertinya ada jarum yang menusuk di bagian itu. Dia tarik napas untuk meredakannya. Huh. Tita ingin sekali menendang lelaki tak jelas itu ke Planet Pluto supaya ikutan hilang. ”Pengangguran enggak jelas!” Makian itu lolos dengan mudah dari bibirnya. Tala yang telah berjalan beberapa langkah menyahut, ”Kalau ada yang lebih baik, kenapa tetap dipertahankan? Hey, mamanya Celi! Jangan sibuk di toko terus! Di luar sana banyak laki-laki yang bukan pengangguran. Kalau kamu mau dandan dan ganti itu kaus buluk, pasti akan ada yang kecantol lagi,” ucapnya santai. Siulan menutup pidatonya pagi itu. Tita mencibir. Enggak butuh, sahutnya dalam bisikan. Cukup sekali. *** Tala banting setir di depan rumah sakit umum. Dia menekan pelipisnya yang nyeri menggunakan ibu jari. ”Calon papa mertua kenapa makin s***s, Dek?! Ya kalau mau kasih tantangan jangan berat-berat dong! Kerjaan lagi yang dipermasalahkan sama Pak Bulls.” ”Bukan dipermasalahkan lagi tapi emang belum kelar masalahnya. Kamu tuh kurang usaha. Udah setahun masih aja betah jadi pengangguran. Papa juga bisa muntah dapat alasan dari kamu kenapa belum kerja.” ”OK deh. Aku akui usahaku belum maksimal. Eh, tapi kamu jangan muntah-muntah, ya. Tukang obat jangan minum obat, kasih ke orang lain aja obat-obatannya.” ”Bukan tukang obat tapi farmasis. Bukan obat-obatan tapi obat. Beda, Tala!” Tala sang mantan cassanova hanya tertawa. ”Deal ya, sebulan. Kalau aku bisa dapat kerjaan ‘enggak harus jabatan tinggi’ kita akan daftar ke KUA,” kata Tala membengkokkan telunjuknya. Iya, Pak Haji Zainal sudah menurunkan tiangnya untuk jabatan seorang menantu tetapi limit waktu yang dikasih kebangetan singkat. Apa pun itu yang penting Tala akan mencoba dengan usaha terbaik. Tantangan kali ini seru sekali. Tala jadi tak sabar sampai satu bulan dan mengambil alih kepemilikan Syerin atas namanya. ”Memang kamu yakin, Tal, dalam sebulan akan dapat kerjaan?” tanya Syerin sangsi. Tala menaikkan alisnya. ”Nah, kamu takut aku enggak berhasil? Kamu cemas kita batal kawin?” tanya Tala sombong. ”Tahu deh. Terserah kamu. Aku akan doakan dari jauh semoga kamu beneran usaha untuk kesempatan ini.” ”Adek cantik, jangan ngambek. Abang Tala bercanda. Yang enggak kuat tidak nikah sama aku itu aku. Jadi kamu tenang aja. Demi jadi suami kamu, aku akan cari kerja supaya papa galak restu sama hubungan kita. Ok? Jangan sedih, ya, kalau aku cuman bisa dapat kerja jadi karyawan toko di pasar.” ”Di pasar apa di pasar?” ”Ya, di pasar. Masak di rumah kamu.” ”Garing! Kamu enggak ada niat untuk masukin lamaran ke mamanya Celita Celita itu ‘kan?” ”Sudah—eh,” ucapnya menutup mulut lalu tertawa, ”ada yang cemburu. Itu alternatif terakhir kali, Dek. Kalau enggak ada yang mau nerima aku, saran ibu kupake.” Saran Diyas adalah membantu di toko Tita. Lumayan untuk membeli pelumas mobil begitu kata ibunya. ”Aku turun. Cepet dapat kerja, ya, Tala Sayang,” ucap Syerin semanis gula-gula lalu mengecup pipi Tala sekilas. ”Abang lumer nih, Dek,” kata pemuda itu beradegan ingin pingsan. Pulang ke rumah, Tala mendengar suara Novial yang sedang bermain dengan Celita. Tala menarik jaketnya yang tersampir di jok mobil lalu masuk. Novial duduk di bangku dengan Celita di lantai. Menarik leher ke kiri beberapa derajat, kupingnya terasa terbakar melihat penampakan. Lelaki banyak senyum itu mengempeskan pipinya lalu mendekati tempat duduk Novial, Celita, dan Tita. Tala meletakkan jaketnya di pundak Tita yang sedang membungkuk kepada Celita. Ia mengikatkan lengan jaket di leher perempuan itu kuat-kuat. Tita terbatuk merasakan tercekik. ”Kenapa tuh anak?” tanya Novial saat Tala telah masuk ke kamarnya. Diyas datang dengan kain berwarna bata mendekati Tita. ”Loh sudah ditutup pakai jaket. Ibu bawa kain ini untuk kamu,” ucapnya melihat kepada Tita yang tidak mengerti apa-apa. Lebih-lebih lagi Novial. Diyas berbisik kepada Tita, ”Itu loh kamu enggak sadar, waktu kamu menunduk bagian d**a kamu kelihatan.” Wajah Tita merah menahan malu. Dia melirik Novial dan menjadi kesal sekali. Kenapa juga ia mengenakan baju yang tadi pagi tidak jadi ia pakai? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD