[02] Pepet Terus, Bro!

1210 Words
”Hari ini enggak jemput Syerin di tempat kerjanya?” tanya Diyas saat melihat Tala bersantai di rumah. Lelaki itu hanya mengenakan celana jeans pendek berwarna khaki. Kaus warna pelangi menutup tubuh tegapnya. ”Dia lagi di rumah aja, Bu. Kenapa emang? Ibu mau minta dijemputin terus bawa ke sini?” Diyas menggeleng walau tak terlihat oleh sang putra. ”Ibu minta tolong anter jahitan Ibu Tiara yang tinggal di Panam. Ajak tuh Celi supaya dia sekali-sekali bisa keluar melihat dunia ramai. Kasihan di rumah terus. Yang dia tahu hanya rumahnya dan rumah kita saja.” ”Siiip. Berangkat,” balas Tala tanpa perlu dipaksa. ”Si centil kenapa belum ke rumah, Bu?” tanyanya. ”Tala. Jangan dikatain centil terus nanti jadi beneran centil besarnya.” ”Ya enggak mungkinlah. Mamanya ayu dan pendiam gitu. Papanya orang baik-baik, masak anaknya jadi kecentilan.” ”Emang kamu tahu gimana papanya?” Diyas menatap mata Tala. ”Kenal sama papanya?” ”Ih kepo banget ini ibu-ibu. Udah ah, aku berangkat menjemput permaisuri kedua yang paling centil. Bye, Ibu.” Tala bersiul ketika tiba di depan ruko milik Cetita Maharani seorang ibu beranak satu. Perempuan itu ditinggal suaminya tanpa kabar sehingga mengerjakan segala sesuatunya sendirian. Tita tidak terlihat seperti ibu-ibu karena usianya memang masih delapan belas tahun. ”Hai mamah muda,” tegur Tala saat melihat Tita mencatat sesuatu di atas meja. Celita ada di atas meja itu sedang rebahan dengan botol dot yang menyumbat mulutnya. Tita mendongak sedetik lalu menekur lagi. Siulan Tala mengganggu konsentrasi Celita tetapi tidak bagi Tita. Ibu muda itu hanya menjaga Celita saat akan turun dari meja. Cetita Maharani. Tidak ada yang kurang pada diri perempuan itu. Dia cantik. Kulitnya putih dengan bulu tangan kecokelatan sedikit lebat. Rambut hitamnya dibiarkan lepas tanpa ikatan. Jepitan ungu dia selipkan di kepala bagian kiri sehingga mempermanis tampilan kesehariannya. Hari ini perempuan itu memakai kemeja kebesaran yang diberinya aksesoris sebuah ikat pinggang. Ia mengenakan rok pendek sebatas lutut. Tala tidak bodoh untuk dikelabuhi kenapa perempuan itu senang memakai rok. Tidak diberitahu pun, Tala bisa tebak bahwa pinggul semoknya pasti akan sesak saat dibalut jeans yang ketat. Tubuh Tita sebelas dua belas dengan putrinya, bisa dikatakan sintal dan bohay barangkali. Tala yakin hanya lelaki yang mencintai perempuan itulah yang sanggup menggendongnya. ”Enggak sopan deh matanya,” ucap Tita menurunkan Celita. Ia menepuk p****t anaknya sebelum berlari menuju Tala. ”Ikut Om Tala jalan-jalan, Cantik.” Tala menangkap tubuh gempal Celita. Anak itu bertanya kemana mereka akan pergi. Tala menjawab sambil memainkan pipi Celita. ”Mamanya Celi enggak bisa apa gayanya bagusan dikit? Ini nih banyak baju bagus. Pilih yang paling cantik supaya banyak yang suka.” Tita mencebikkan bibirnya. Dia memang tidak suka dandan. Pakaian kebangsaannya hanya kaus atau kemeja kebesaran dan rok pendek. Tidak ke salon karena tidak punya waktu. Tapi Tita melindungi kakinya dengan high heels tujuh senti. Dia suka dengan sepatu karena orang bilang alas kaki yang bagus akan membawa kaki kita ke tempat yang bagus juga. ”Tunggu bentar, aku bikinin s**u Celi.” Tita membekali dua botol s**u untuk Celita. Diberikannya kepada Tala sebelum lelaki itu pergi dari sana. Pandangan Tita jatuh kepada dress sepanjang lutut yang baru saja ia pajang. Apakah kalau dia pakai dress akan terlihat cantik? Untuk apa? *** Cetita menutup rukonya lewat waktu Magrib. Ia membersihkan diri dengan berendam di air hangat untuk menghilangkan pegal seluruh tubuh. Waktu-waktu seperti ini terkadang membuat ia lalai karena sering ketiduran dan lupa menjemput Celita di rumah Bu Diyas. Kalau terjadi hal seperti itu, biasanya Celita akan diantar oleh Bu Diyas atau anaknya membuat Tita merasa tidak enak terlalu merepotkan mereka. Andai suami Tita masih ada. Perempuan itu mengenyahkan pikirannya. Ia menyelesaikan mandi dengan cepat lalu memakai baju tidur. Sebelum keluar ia menarik selembar kardigan dan memakainya. Seseorang sudah menunggunya di luar ruko. ”Ke rumah Bu Diyas?” tanya Novial. ”Hm,” jawab Tita sambil mengunci ruko. ”Ayo aku temani.” Mereka berjalan kaki ke arah blok perumahan Bu Diyas. ”Bagaimana toko, Ta? Sepertinya rame terus.” ”Hm.” Tita tersenyum. ”Enggak cari karyawan? Kamu pasti kerepotan sendirian. Kalau ingin ke kamar mandi atau toilet terpaksa kamu tutup tuh toko.” ”Tinggal dikasih palang aja supaya yang datang tahu akunya lagi di belakang,” jelas Tita. ”Bahaya seperti itu, Ta. Orang jahat tidak masuk pakai permisi.” Tita berbelok ke halaman rumah Bu Diyas. ”Aku belum sanggup gaji karyawan, Bang Yal.” ”Aku perhatikan sudah bisa kok. Satu saja cukup untuk gantian istirahat. Kamu akan terlalu capek jika semuanya kamu kerjakan sendiri.” Mereka tiba di teras. ”Aku masih sanggup kok. Untung ada orang baik seperti Bu Diyas dan Bang Tala yang bantuin jaga Celi. Aku merasa cukup terbantu walau enggak enak karena merepotkan mereka.” Novial menarik napas kasar. Ada sesuatu yang ingin ia tinju. Kalau boleh ia sangat ingin memindahkan hidung Tala ke belakang kepalanya. ”Aku butuh uang semakin besar untuk s**u Celi.” Tita masuk ke rumah Diyas setelah mengetuk daun pintu yang terbuka sebanyak tiga kali. Novial tetap tinggal di luar. Ia melihat lampu mobil menyorot kepadanya. Kedua buku jemarinya ia genggam hingga kukunya menancap di telapak tangan. Pintu mobil terbuka, kepala Tala keluar dari sana diikuti seluruh tubuh lelaki itu. Cengiran khas Tala menyapa Novial kali ini tidak melunakkan sendi ruas jemari yang terkepal. ”What’s up, Bro. Kenapa seperti nahan pup tuh muka?” Tala melingkarkan tangannya ke bahu Novial. ”Tal, kamu pernah punya hasrat—” Tala cepat memotong, ”Eh gila pertanyaannya. Ini sedang usaha menghalalkan pacar nih, jangan tanyain soal hasrat segala sekarang.” ”Gila! Ini serius, Bro. Aku ingin tahu, apa kamu pernah merasa sangat ingin melenyapkan seseorang dari muka bumi? Minimal hilang gitu dari depan matamu.” Tala tertawa keras sekali. ”Sekarang ini hasrat itu ada. Aku ingin sepak calon papa mertua kaya itu ke Mars. Setahun, Bro! Dia masih belum menggeser syarat calon menantu. Dikira jadi direktur perusahaan gampang kali, ya. Ngelamar jadi sales aja susahnya minta ampun!” ”Oh sama. Aku juga sekarang sangat berhasrat membunuh laki-laki laknat.” Kilatan dari mata Novial membuat Tala diam beberapa detik sebelum menggila kembali. Lelaki dengan kaus pelangi dan celana cokelat yang tadi pagi ia kenakan itu bersiul masuk ke rumah. ”My Dear, Centil,” panggilnya kepada Celita. ”Lagi makan nih. Suapin Om Tala juga dong. Aaak!” Tala membuka mulutnya di hadapan Celita. Celita memukul sendok ke pipi Tala. ”Iiih cantik-cantik jorok. Makan tuh bekas pipi Om Tala yang ada lipstiknya.” Tawa Tala memecah keheningan antara Diyas dan Cetita. ”Kamu bilang enggak jemput Syerin.” Diyas mengangkut pakaian yang baru dilipatnya ke kamar. Tinggal Tala yang sibuk menggoda si kecil Celita. Anak itu hampir menangis ulah dikerjai Tala. ”Jahil banget sih Bang Tala!” teriak Tita menarik Celita ke pangkuannya. ”Sudah hampir nangis masih dikerjain.” ”Aduh, mamahnya galak benar.” Tala berdiri hendak meninggalkan Celita dan Tita. ”Di luar ada Bang Yal tuh. Mau jemput kamu dengan Celi kali.” Tala membuka kausnya sambil berjalan ke kamarnya. ”Kami pulang dulu, Bu,” pamit Tita. Melihat Novial masih berada di luar, Tita menghela napas. Kalau saja ia belum pamit, ia akan menunggu sampai lelaki itu pergi. ”Celi sudah ngantuk? Sama Abang aja, Ta.” Novial mengulurkan tangannya minta agar Celita dia yang gendong. Tita menggeleng. Dia sanggup membawa anaknya berjalan kaki. Tangannya diciptakan memiliki kekuatan lebih besar sejak menjadi ibu. Ia bahkan tidak mengeluh capek jika manjanya Celita kumat dan ingin digendong sepanjang hari. ”Pepet terus, Bro. Tapi, sudah punya bekal apa kamu sampai hari ini?” Tala melipat tangan sambil bersandar di ambang pintu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD