25- Tamu Undangan

1182 Words
Argan dan Nino melangkah memasuki ruang aula pernikahan dengan langkah tegas. Argan berada di depan dengan Hana yang senantiasa menggandeng lengannya, sedangkan Nino berada di belakang. Tentu saja Nino juga turut digandeng lengannya oleh Dini. Kedua pasangan itu memasuki ruang aula pernikahan setelah Hana menyerahkan undangan sebagai syarat untuk masuk. “Wah, gila!” Itu adalah kalimat yang pertama kali Argan ucapkan begitu memasuki ruang pernikahan itu. Aula megah, ditambah dengan tata dekorasi yang elegan membuat suasana di dalam ruangan itu benar-benar tampak mewah. Argan bahkan tak dapat mengatup bibirnya semenjak pertama kali menginjakkan kakinya di sana. Ia benar-benar terpana. “Butuh dana berapa buat bikin pesta pernikahan semewah ini?” Argan masih tak dapat menyembunyikan rasa takjubnya. Hana yang berada di sampingnya hanya dapat terkekeh melihat tingkah pemuda itu. “Yang pasti bukan dana yang sedikit, dan gak murah,” balasnya. Hana menoleh ke belakang menatap Dini dan Nino yang tampak canggung menggandeng itu. “Kalian berdua harus tampak meyakinkan dong sebagai sepasang kekasih,” ucapnya dengan gemas sembari menggelengkan kepalanya. Argan ikut menoleh ke belakang, ia menggelengkan kepalanya seraya membenarkan perkataan Hana. Memang benar Nino dan Dini itu tampak sangat canggung. Bahkan terlihat seperti dua orang asing yang baru pertama kali bertemu. “No, yang bener, dong.” Argan menghentikan langkahnya membuat langkah Hana ikut berhenti. Pemuda itu berdecak menatap Nino. Sedangkan pemuda yang ditatap Argan itu hanya mengedik bahunya. Ia berceletuk, “Gue udah kaku buat gandengan tangan, karena udah lama ngejomblo.” Hana dan Dini hanya dapat terkekeh. Kedua pemuda yang masih berada di usia dua puluh tahunan itu benar- benar lucu. “Ya udah, biar gue aja yang gandeng.” Dini berucap sembari menggandeng lengan Nino lebih erat lagi. Satu tangan Nino di letakkan di pinggangnya. Kemudian sengaja mencondongkan tubuhnya agar lebih rapat. Wajah pias Nino membuat Argan tertawa melihatnya. Sembari tertawa, pemuda itu berceletuk, “Nah gitu dong.” Ia mengacungkan jempolnya pada temannya itu. “Yang natural.” Mereka kini sudah berhenti tertawa. Keempatnya kini melangkah menuju deretan kursi yang telah disediakan untuk para tamu undangan. Argan dan Nino duduk bersebelahan. Sedangkan Dini dan Hana juga duduk bersebelahan. Keempatnya duduk berderet di kursi paling depan. “Mantan pacar lo yang mana?” Argan bertanya sembari celingukan memandang kursi pelaminan di bagian depan ruang aula itu. Pelaminan masih kosong. Hanya ada sebuah kursi panjang yang sengaja ditempatkan di tengahnya. Jam masih menunjuk pukul sembilan pagi, dan masih terlalu pagi untuk mempelai duduk di pelaminan itu. Hana ikut menatap pelaminan yang masih kosong itu. “Belum ke luar ya.” Ia ikut celingukan mencari sosok pengantin pria yang sekaligus mantan pacarnya itu. “Bentar lagi kali,” sambungnya dengan acuh. Argan hanya mengangguk- anggukkan kepalanya saja mendengar jawaban dari Hana itu. Pemuda itu tak bertanya apa- apa lagi karena Hana langsung sibuk memainkan ponselnya. Sehingga ia memilih mengalihkan tatapannya. Bahkan Nino dan juga Dini turut memainkan ponselnya masing- masing. Membuat Argan menggeleng prihatin. Mata Argan berbinar ketika tak sengaja melihat prasmanan. Berbagai macam makanan tersusun rapi di meja panjang yang disediakan untuk prasmanan itu. Mulai dari daging- dagingan, sayur- mayur, bakso, hingga jus minuman tersedia di sana. Argan tersenyum lebar. Ia merasa sepertinya hari ini ia benar- benar mendapatkan rejeki nomplok. “No.” “….” “No … Nino.” “Hem …” Argan masih berusaha menyenggol lengan Nino agar pemuda itu mengalihkan tatapannya dari ponselnya. “Nino.” Nino yang geram karena terus merasakan senggolan itu akhirnya mendongak. Ia menatap Argan dari samping. “Apaan, Gan?” tanyanya jengah. Argan tak menjawab apapun dan hanya menunjuk ke arah meja prasmanan yang sedari tadi mencuri perhatiannya itu. Ketika Nino mengikuti arah tunjuk Argan itu, pemuda itu ikut berbinar. Ia mengerti sekarang mengapa Argan terus saja menyenggol lengannya. Karena memang prasmanan mewah itu pantas diberi perhatian lebih. “Mantap.” Nino tersenyum lebar memandang prasmanan itu. Selanjutnya ia menatap Argan dari samping. “Itu disediakan untuk tamu undangan?” tanyanya takjub. Argan mengangguk. “Iya dong.” Ia mengangguk- anggukan kepalanya. “Orang kaya memang beda.” “Iya lah, emangnya prasmanan ecek-ecek yang cuma ada bakso sama es krim doing,” canda Nino. Argan tersenyum lebar. Berikutnya ia menatap Hana dan membuat agar wanita itu menoleh ke arahnya. Dan benar saja, Hana langsung menoleh. “Gue sama Nino boleh ke sana?” tanya Argan menyengir sok malu di depan Hana. Ia menunjuk- nunjuk prasmanan mewah di tengah ruangan. Hana kini seperti seorang ibu yang tengah dimintai izin oleh anaknya untuk pergi main. Ia tersenyum. “Boleh. Sana.” Argan dan Nino sontak mengucap hore bersamaan dan bersorak, kemudian kedua pemuda itu dengan langkah cepat menuju prasmanan itu. Tak akan mereka sia-siakan prasmanan yang menunya hanya dapat mereka pesan di restoran mahal itu. Dini menatap keduanya dan terkekeh. “Mereka beneran usia dua puluh tahun?” sarkasnya menyenggol lengan Hana. “Bukannya masih TK, ya?” Hana tergelak mendengar sarkasme dari Dini itu. “Mungkin masa kecil kurang bahagia.” Dini dan Hana tergelak bersamaan. Seiring tawa kedua wanita itu yang bersahutan, kini para tamu undangan sudah memenuhi aula gedung. Hana melihat rata- rata tamu undangan yang datang itu adalah teman- teman sekantornya. Pantas saja, karena kedua mempelai tersebut adalah pegawai di kantornya. Hana mendongak dan tak sengaja ia bertemu pandang dengan Vito, pegawai kantornya dari divisi lain. Ketika tatapan keduanya bertemu itu, Vito langsung menyeringai, dan langkahnya makin cepat. Ia seolah tak sabar menghampiri Hana itu. "Anjir dia ke sini!" Hana mengumpat pelan. Namun umpatannya masih dapat didengarkan oleh Dini di sebelahnya. "Dia? Siapa?" Dini menatap Hana dari samping, lalu kepalanya celingukan mencari sosok yang dimaksud oleh Hana itu namun tak ketemu. Hana tak mengucap apa - apa lagi dan hanya mengedik dagunya. Sontak Dini yang melihat itu langsung menatap ke kejauhan di mana ada segerombol pemuda tengah berjalan ke arah mereka. Segerombol pemuda itu mungkin mengenakan jas rapi dan tampak seperti laki- laki yang baik, namun sayangnya itu adalah suatu kemustahilan. Nyatanya segerombol pemuda yang berusia kepala dua hingga tiga itu adalah segerombol pemuda yang sangat menyebalkan di kantor Hana dan Dini. Mereka adalah gerombolan pegawai kantor namun juga seperti berandalan yang selalu telat masuk, hanya menghabiskan waktu mengobrol atau bahkan merokok di sela jam kerja, serta mereka sering nongkrong di depan kantor demi melihat karyawan wanita yang lewat. Karyawan wanita yang lewat itu selalu menjadi bahan gosip gerombolan itu. Tentu saja membuat semuanya risih. Bukannya atasan tak ingin memecat mereka. Hanya saja ketua gerombolan itu yaitu Vito adalah anak dari pemilik perusahaan tempat Hana bekerja. Selain itu kebanyakan anggota gerombolan itu adalah anak orang kaya yang bekerja hanya untuk mengisi waktu luang. Sungguh ironis! Hana berdoa dalam hati agar Vito tak mengganggunya kali ini. Ia dan Dini bahkan sudah berpura- pura tak melihat gerombolan itu dengan mengalihkan tatapan mereka ke arah lain. Namun sayangnya doanya itu tak terkabulkan. Vito justru makin melangkah cepat disusul oleh gerombolannya itu. Mereka makin mendekat ke arah Hana dan Dini itu dengan seringaian menyebalkan. Dan begitu telah sampai di hadapan Hana dan Dini, tentu saja Vito langsung melemparkan sapaan menyebalkannya. "Halo, cewek- cewek! Kita ketemu lagi!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD