37- Padepokan

1063 Words
Argan dan Nino yang melihat ada seorang wanita menangis di hadapan mereka, tentu saja tidak tega. Sungguh mereka tak tega. Jadi begitu Bella mengangkat kepalanya lagi untuk menatap kedua pemuda di hadapannya itu, ia mendengar kalimat paling menenangkan seumur hidupnya. "Tenang aja, kami berdua akan tolong kamu untuk menghukum penguntit itu." Argan berujar dengan kalimat yang seolah menenangkan bagi siapapun. Oase di padang gersang. Serta bagai siraman air di terik panas. Apalagi Argan juga tersenyum lebar yang sangat menenangkan. Tentu saja membuat Bella yang melihatnya ikut tersenyum lebar. Nino di samping Argan hanya menganggukkan kepalanya. Pemuda itu juga tersenyum lebar pada Bella. Melihat itu semua membuat Bella sontak menyorot ingus di hidungnya juga mengusap airmatanya. Wanita itu tersenyum lebih lebar lagi dari sebelumnya. Ia lega. Sangat lega. "Terima kasih," ucap Bella dengan raut wajah yang masih dilingkupi airmata itu. Ia menatap Argan dan Nino secara bergantian dan mengucapkan kalimat yang sama, "Terima kasih, terima kasih banyak." Ia menyeka keringat di dahinya. "Aku sangat berutang budi sama kalian," sambung Bella lagi sembari tersenyum lebih lebar lagi. Argan dan Nino yang mendengar ucapan dari Bella itu sontak keduanya bersitatap. Lalu tersenyum berbarengan, dan kembali menatap Bella di depan mereka itu. Lalu dengan cepat Argan dan Nino berucap berbarengan sembari mengulas senyum. "Sama- sama." *** Setelah menyetujui permintaan dari Bella kemarin, Argan dan Nino kini harus menyusun strategi untuk menghukum penguntit yang mengikuti Bella belakangan ini. Banyak strategi yang dipikirkan oleh Argan dan Nino, namun hal yang mereka pikir paling penting yaitu dengan melatih diri mereka. Iya, dengan Bela Diri. Argan mungkin pernah belajar tentang bela diri itu, namun sayangnya Nino sama sekali belum pernah mengikutinya. Dahulu ia selalu malas jika disuruh untuk mengikuti ekstrakurikuler apapun di sekolahnya, apalagi untuk mengikuti Bela Diri. Sehingga Nino hanya mampu melindungi dirinya sendiri dengan menggunakan insting. "Jadi ... lo beneran ajak gue buat belajar bela diri gitu?" Pertanyaan itu berasal dari Argan. Ia memandang Nino di sampingnya itu dengan mata terheran. Pasalnya suatu keajaiban bagi Nino jika pemuda itulah yang pertama kali mengajak untuk melakukan hal berkaitan dengan kebugaran. Olahraga saja Nino malas apalagi untuk melatih bela diri. Mungkin suatu keajaiban. Dan akhirnya keajaiban itu terjadi. "Gue gak salah lihat, 'kan?" tanya Argan lagi. Ia memastikan pandangannya tak salah dan ia tak keliru dalam melihat. Namun seberapa kali Argan memastikan pandangannya, tetap saja ia melihat di depannya ada sebuah Padepokan Silat yang memiliki plang besar di gerbang masuknya. Plang itu bertuliskan Padepokan Silat Dwi Sukma yang tampak lebih besar dari kelihatannya itu. "Iya, lah! Lo gak salah lihat, Gan!" Nino berkata dengan menganggukkan kepalanya mantap. Ia menatap Argan sejenak sebelum merangkul pundak temannya itu. "Demi apa?" Argan terkekeh melihat Nino yang salah tingkah itu. Nino menggaruk belakang telinganya. "Iya demi persahabatan kita," ucapnya bercanda. Ia menyikut lengan Argan sembari melanjutkan, "Emangnya cuma lo doang yang boleh belajar bela diri?" Argan terkekeh namun ia juga tak dapat menyembunyikan malunya. "Iya, deh, iya." Nino menggeleng. "Yuk," ucapnya lagi sembari menunjuk ke arah padepokan silat itu. Argan menatap Nino dengan sangsi namun ia tetap memasuki gerbang padepokan itu. Kakinya melangkah mengikuti Nino di depannya. Pertama kali yang Argan lihat begitu memasuki padepokan itu adalah banyaknya anak- anak kecil yang tengah berlatih. Anak- anak itu berusia kisaran delapan hingga dua belas tahun. Sangat kecil untuk ukuran berlatih bela diri. Namun anehnya hal itu juga yang membuat Nino malu. Ia melihat anak- anak itu saja mau untuk berlatih bela diri sejak usia kanak- kanak, lalu mengapa dirinya justru tak mau repot- repot untuk bela diri? Nino merasa kalah dari anak- anak. "Nak Nino, ya?" Nino terkesiap pelan ketika mendengar namanya dipanggil. Seorang pria yang Nino perkirakan berusia kisaran Bapaknya itu muncul dari balik pintu kayu di ruang utama. Pria itu mengenakan seragam hitam- hitam khas orang yang biasanya berlatih silat itu. Ia tidak tahu namanya karena baru pertama kali sejak sekian lama melihat pakaian itu. "Itu namanya Baju Komprang." Argan tiba- tiba berbisik di telinga Nino. Bagai cenayang, ia mengetahui bahwa Nino tengah tertegun melihat baju komprang itu. Nino hanya mengangguk- anggukkan kepalanya. Mendadak ia menjadi orang yang pengerti. "Iya, Pak, saya Nino. Maaf ya saya datang terlambat." Nino menjawabnya dengan menatap pria berbaju komprang itu. Pria itu hanya tersenyum dengan sopan. Lalu sembari menyodorkan tangan untuk disalimi oleh Argan dan Nino itu. "Panggil saya Abah Saep saja," ucap pria itu tersenyum lebar. Selanjutnya ia menatap ke arah Argan yang terdiam saja sedari tadi. "Loh yang ini ... namanya siapa?" tanyanya lagi. Merasa dipanggil meskipun tanpa nama, Argan sontak memajukan badannya. Dengan cepat ia nenyahut, "Saya Argan, Pak, eh Abah." Pria yang dipanggil Abah itu hanya mengangguk- anggukkan kepalanya itu. "Mari masuk." Ia baru menyadari bahwa Nino dan Argan memang sudah menunggunya sejak tadi. "Mau latihan bela diri?" tanyanya. Ia mengajak Argan dan Nino itu untuk memasuki aula di dalam padepokan itu. Selanjutnya ia mempersilakan kedua pemuda itu untuk duduk di kursi di sudut aula itu. Dan ketika Argan dan Nino baru saja terduduk, seorang anak kecil berusia sekitar dua belas tahun masuk ke dalam aula itu. Anak kecil itu membawakan dua buah gelas berisi air putih yang langsung diletakkan di atas "Silakan diminum." Pria yang dipanggil Abah itu tersenyum lebar pada Argan dan Nino. Yang akhirnya membuat Argan dan Nino benar- benar mau meminum air masing- masing. "Kalian benar- benar mau belajar bela diri?" tanya Abah memulai topik pembicaraan. Ditatapnya kedua pemuda di depannya itu. Argan dan Nino mengangguk bersamaan. "Betul, Bah." Bahkan kedua pemuda itu berucap dengan bersamaan. Abah hanya mengangguk- anggukkan kepalanya. Ia mengelus jenggot panjang yang bertengger di dagunya itu sendiri. "Untuk keperluan apa? Sepertinya kalian ada maksud lain untuk belajar bela diri ini," ujar Abah lagi. Ia menerka, namun pada akhirnya terkaannya itu tepat. Argan dan Nino sontak bersitatap. Mereka heran bagaimana bisa Abah mengetahui tentang niatan mereka yang sebenarnya. Nino yang pertama kali membuka suara. "Kami ingin belajar bela diri untuk melindungi seseorang, Bah." Ia menjelaskan. Tatapan pemuda itu sangat serius. "Orang ini sedang terdesak dan butuh bantuin kami secepatnya. Maka dari itu kami ingin mempelajari bela diri ini dalam waktu yang singkat." Ia menyambung dengan serius. Abah hanya mengangguk- anggukkan kepalanya saja begitu mendeengar perkataan dari Nino itu. "Terdesak, ya?" Ia bagai menggumam sendiri. Argan dan Nino menunggu jawaban dari Abah. Namun mereka juga tak sabar. Hingga akhirnya Abah menyahut dengan kalimat yang lirih namun mencengangkan. "Tidak bisa. Kalian tidak bisa melakukan segala sesuatu yang terburu- buru."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD