Prakata & Prolog

552 Words
Apa si hebatnya cinta? Kenapa cinta selalu membuat orang nampak bodoh dan rela melakukan hal-hal konyol yang memalukan? Apa enaknya kamu jatuh cinta tapi hatimu akan terluka selanjutnya? Apa ada yang namanya cinta sejati? Apa benar cinta itu buta? Apa yang namanya cinta selalu tidak memiliki syarat? Apa benar cinta tak pernah salah? Jika semua jawabnyanya ia, kenapa aku harus menjadi korban dari yang namanya ‘patah hati’? Aku butuh pembuktian secara teoritis bukan omong kosong. ***** Prolog “Dasar cengeng! Ha-ha-ha Ana cengeng Ana cengeng,” ledek beberapa anak kecil yang sedang mengerubuni Kana atau yang biasa dipanggil Ana. Kanaya, nama lengkap gadis kecil ini. Usianya belum genap lima tahun. Rambut cokelat tua panjang yang cantik dengan warna mata senada, memiliki peawakan lebih kecil dari anak-anak seusianya. Kana sering menjadi bahan ejekan teman-teman sebayanya karena tubuh kecilnya. Ia masih saja terus menangis meratapi mainanya yang dirusak oleh anak-anak nakal tersebut. “Kalyian jahat!” isak Kana, “Kalian tahu gak ci! Mayinan itu Papakuh yang uat!” “Kalau Papa kamu yang buat, minta dia aja buatin yang baru,” sahut si anak laki-laki bertubuh gempal. “Kalyian kenapah ci celalu angguin akuh?!” Air mata masih mengalir dari surut-sudut kedua mata Kana, “Aku kan  nggak pernah angguin kalyian!” “Kamu tuh pelit!” celetuk anak laki-laki berambut hitam, “Kita pinjam boneka kayu kamu aja nggak boleh.” “Itu kan kyado dali Papa akuh!” seru Kana, “Aku nggak mau kalyian yusakin boneka aku!” Mendengar ocehan Kana anak-anak nakal ini semakin senang, si anak laki-laki bertubuh gempal itu semakin menginjak-injak boneka kayu yang sudah patah itu. Tangisan Kana semakin menjadi-jadi karena ulah mereka. “Eh, kalian apa-apain ini!” teriak suara cempreng khas anak laki-laki, “Kalian pulang nggak?! Kalo kalian masih nggak mau pulang, aku aduin sama Daddy aku ni!” Kana melirik ke arah kedatangan suara itu, sosok anak laki-laki yang lebih tua darinya berdiri di depanya. Tubuh tingginya melindungi tubuh mungil Kana dari ancaman anak-anak nakal ini. “Dasar, anak tukang ngadu!” pelik si anak laki-laki bertubuh gempal itu, “Ayo teman-teman. Mendingan kita pulang daripada kita digangguin sama anak tukang ngadu ini!” Satu persatu dari mereka mulai meninggalkan Kana dan anak laki-laki jangkung tersebut. Kana masih terus menangis meratapi boneka kayu buatan papanya sudah rusak, patah dan tak berbentuk. Melihat Kana yang masih menangis, rasa iba muncul dari dalam diri anak laki-laki ini. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya was-was. “Bonyekakuh lusak!” isak Kana, “Pacti...pacti Papa nggak akan pelnah kasyih aku mainan  balu lagi!” Dengan refleks anak laki-laki ini memeluk Kana. “Udah, jangan nangis lagi ya? Nanti aku beliin boneka baru lagi. Kamu  mau boneka apa? Teddy Bear? Panda atau—” “Papa udah cape-cape buatyin mayinan uat aku,” gumam Kana, “Tapi, aku ngelusakin mayinan yang Papah uat cape-cape untuk akuh!” “Jangan sedih sedih lagi dong,” bisik anak laki-laki ini, “Kalau kamu masih nangis... nanti cantiknya ilang.” Kana menghapus sisa airmata yang ada di pipinya, ia tersenyum. “Ana nggak nangis lagi kok.” “Anak pintar.” Anak laki-laki ini mengelus rambut kecokelatan milik Kana, “Nama kamu  siapa?” “Nyamakuh Ana,” sahut Kana, “Kamuh?” “Aku Fandy.” ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD