Part 1

3133 Words
Kata sebuah pepatah, tuntut lah ilmu sampai ke negeri Cina. Nampaknya pepatah itu harus diubah oleh Kana karena wanita mungil itu bukan menuntut ilmu ke negeri Cina melainkan Jerman. Negeri yang terkenal di era perang Dunia kedua berkat kepemimpian Adolf Hitler yang keras serta tembok Berlin yang sudah runtuh dan melegenda karena membelah Jerman menjadi dua bagian. Bagikan mimpi, Kana bisa menuntut ilmu ke Jerman sesuai dengan impiannya semasa remaja. Ya walau resikonya ia harus hidup jauh dari keluarga yang ia cintai. Semua karena jebakan batman dari Dana Kakak sepupu sekaligus Kakak tirinya sehingga Kana mendapatkan Beasiswa kuliah di negara Eropa yang memecahkan rekor sebagai pemenang piala dunia pertama di luar benua Eropa. Dana benar-benar memanfaatkan kecerdasan yang Kana miliki dengan baik, hingga wanita itu lolos mendapatkan beasiswa dari sebuah yayasan pendidikan di Jerman. Setelah melakukan perjalanan jauh dan memakan waktu berjam-jam dari Jerman, akhirnya Kana tiba di bandara Soekarno-Hatta. Kana nampak senang karena setelah sekian lama penantiannya membuahkan hasil, berjauhan dari keluarga lalu harus mengurus kepindahannya yang cukup rumit hingga kini akhirnya ia bisa benar-benar pulang ke Jakarta, bertemu dan tinggal dengan orang-orang yang ia sayangi setiap hari kecuali mama kandung dan adik laki-lakinya, Dirga yang lebih memilih tinggal di Yogyakarta, kota kelahirannya itu. Nampaknya tak ada yang berubah dari Jakarta. Tetap jadi kota yang panas, macet dan menyebalkan, berbeda dengan Munchen setelah beberapa bulan Kana meninggalkan kota ini. Sejujurnya, setelah lama Kana tinggal di Munchen wanita itu lebih mencintai Muchen ketimbang Jakarta. Munchen yang indah dan bersahabat, berbeda dengan Jakarta yang macet dan menyebalkan. Pada hari pertama ia memulai masa adaptasi sebagai dokter lulusan luar negeri dan mengajukan kepindahan ijin praktik beberapa bulan yang lalu, Kana nyaris pingsan karena ia tak kuat dengan panasnya kota Jakarta yang seolah ingin membunuhnya perlahan akibat dehidrasi. Tapi, mengingat janji masa kecilnya dan keluarga yang ia cintai Kana memutuskan untuk berjuang melewatinya dan ia berhasil pindah dengan mulus. Sambil menyeret koper merah miliknya, Kana keluar dari terminal kedatangan internasional. Rasa gembira benar-benar menguasai dirinya saat ini. Ia benar-benar tak sabar untuk bertemu dengan Dana, kakak ipar Kana, Ayunda juga anak mereka Aqila yang belum genap berusia lima tahun membuat Kana semakin bersemangat untuk pulang secepatnya menemui mereka. Kana terus mempercepat langkahnya, tangan kirinya sibuk menggenggam gagang koper yang ia bawa. Kana seperti seorang anak kecil yang tak sabar menanti untuk membuka kado ulang tahunnya, Kana begitu tak sabar menemui Dana, Ayunda dan tentu saja Aqila. Gadis kecil itu menjadi alasan terkuat Kana untuk kembali ke Indonesia. Siapa sangka ketika orang pertama kali melihat Kana dengan kemeja flane yang di padukan dengan skiny jeans berwarna hitam yang membalut kaki jenjangnya itu adalah seorang dokter jenius yang sempat mendapatkan nilai IQ murni sebesar 135 dan berusia 24 tahun? Apalagi perawakannya yang mungil, pipi chubby nan merah merona dengan tinggi 155 sentimeter ini nampak seperti seorang anak SD bukan? Ponsel Kana berdering, buru-buru Kana mengambil ponsel berukuran lima inci yang ada di tas jinjing hitam merek Zara-nya. Dari: My Annoying Bro bul-bulku sayang, kamu udah sampai di sotta kan? mas sama mbak Yunda udah nungguin kamu di pintu keluar. Jalanya yang cepet jangan lelet bu dokter rempong! Sedetik kemudian lagi-lagi ponsel Kana berdering. Dari: Kak Fandy Welcome back at jakarta sweety Kana! Maaf ya hari ini aku nggak bisa jemput kamu ke bandara masih ada kerjaan di rumah sakit ni. Kamu pulang hati-hati ya! Di jemput siapa? Sama mas Dana kan? Jangan pulang sendiri, Kana. Mendadak senyuman di wajah manis Kana kini sirna. Kenapa di saat terpenting seperti ini malah seseorang yang begitu berarti untuknya tak bisa datang? Fandy adalah seseorang yang begitu berarti untuknya, seseorang yang pernah hilang dihidupnya lalu kembali dengan sejuta cinta untuknya, seseorang yang memberinya semangat untuk terus berusaha meraih semua impiannya. Fandy juga lah yang memberinya semangat di saat Kana hancur atas kepergian ayah dan papanya untuk selama-lamanya. Fandy segalanya untuk Kana. Kana terlalu sibuk menatap layar ponselnya dan tanpa sadar ia menabarak seseorang dan terhempas seperti ia sedang menabrak sebuah tembok yang sangat keras. “Miss, anda itu punya mata nggak?” sindir suara pria. Kana mendongak, sosok pria bertubuh tinggi tegap nan atletis berdiri dihadapanya. Karena tubuh Kana yang hanya kurang lebih hanya setinggi dadanya, Kana terpaksa harus mendongak melihat wajah pria yang tertutup dengan kacamata itu. “M-m-maaf,” ujar Kana terbatah-batah “Baru juga beberapa menit saya sampai di Jakarta saya sudah mendapat perlakukan tidak menyenangkan!” dumal pria itu. “Memang Jakarta tak pernah berubah, selalu saja banyak orang-orang yang sulit di atur!” “Maaf,” ujar Kana lagi, “Maaf—” “Alah, nggak usah minta maaf-maafan lah, Miss. You’re wrong! Harusnya anda itu tidak boleh bermain ponsel sembari berjalan, Miss!” sindir pria itu, “Dasar, orang tidak punya aturan!” “Tapi, kan saya sudah—” Dan pria itu berlalu dari hadapan Kana dengan angkunya. Kana hanya memandani kepergian pria itu penuh kesunyian, hampir delapan tahun ia pergi meninggalkan Jakarta kenapa ia harus bertemu dengan orang angkuh di hari baiknya ini? “Dasar, orang gila!” umpat Kana. Kana kembali meneruskan langkah kakinya menuju pintu keluar bandara ini, rasanya ia semakin ingin mempercapat waktu agar ia cepat sampai ke rumah untuk melepas penatnya dan lelahnya akibat duduk selama berjam-jam di peswat dengan menghabiskan waktu bermain bersama Aqila. “Mbul!” teriak seseorang membuat Kana tersikap, sosok pria dengan rambut hitam legam berjalan mendekatinya di samping pria itu seorang wanita cantik bak model Victoria Secret’s dengan rambut burnet-nya ini berjalan sambil mengedong seorang gadis kecil yang mengemaskan. “MAS DANA!” Kana berlari kearah pria itu, suara hentakan sneakers Vans-nya yang ia kenakan ini menggema saat bersetuhan dengan dinginnya lantai terminal bandara siang ini. “Bul-Bul!” Dana langsung menangkap tubuh munggil Kana, dipeluknya erat adik perempuan satu-satunya ini walaupun sebenaranya dirinya dan Kana hanya kakak-beradik sepupu dan tiri. “Mas Rese aku kangen,” rengek Kana nampak seperti anak kecil, “Di Jerman aku nggak bisa dengerin ocehan Mas Rese lagi kalo lagi marahin aku.” “Mas juga kangen banget sama kamu, Mbulku!” sahut Dana riang, “Selama kamu pergi lagi kembali ke Jerman, aku nggak bisa ceramihin kamu!” “Kalau Mas ceramahin aku, aku tinggal lari ke Ibu.” Kana menjulurkan lidah seperti anak usia lima tahun, “ Lalu, tinggal Ibu kembali ceramahin Mas panjang lebar!” Dana tersenyum mengejek, ya Kana dan Dirga memang bukan adik kandungnya tapi Dana begitu menyangi mereka melebih apapun. Ibunya sendiri menganggap Kana dan Dirga sebagai anak kandungnya terutama, Kana. Karena sejak Kana duduk di bangku SMA ia di angkat juga di biayai oleh kedua orang tuanya untuk menjadi anak mereka. “Dasar tukang ngadu!” dumal Dana. “Ehem!” deham seseorang, buru-buru Kana melepaskan pelukannya dengan Dana. Diliriknya wanita cantik yang ada di sampingnya saat ini. “MBAK YUNDA, AKU KANGEN!” kini Kana memeluk tubuh wanita itu, ia nampak terkejut dengan serangan yang tiba-tiba dari Kana. “Aduh, Bu Dokter... kenapa si kamu nggak berubah-berubah hmm?” sindir Ayunda, “Masih aja kaya anak kecil, ih! Inget, kamu itu udah mau umur 25 tahun, Kanaya.” Kana menjauhkan tubuh Ayunda darinya. “He-eh. Maaf ya Mbak! Habisnya aku seneng banget bisa balik ke Jakarta bener-bener nggak usah bulak-balik ke Munchen lagi. Nggak usah bulak-balik ke keduataan Jerman ngurusin visa lagi, pokoknya semuanya ngga seribet dulu! Qila, kangen sama Bibi nggak?” Gadis kecil dengan tubuhnya yang montok terlihat begitu mengemaskan. Ia nampak malu-malu berada di gendongan Ayunda melirik kearah Kana, “Bibi Ana?” “Sini, Bibi Ana gendong!” Kana langsung mengambil alih Aqila yang ada di gendongan Ayunda, “Qila mau apa? Hmm? Mau cokelat? Mau permen? Mau... kue? Atau mau—” “Bibih... Qila mau ecilm,” potong Aqila, “Qila udah lama nggak makan ecilm sama Bibih Ana! Qila angen makan ecilm sama Bibih!” “Qila, jangan makan es krim banyak-banyak!” sahut Ayunda, “Nanti kamu—” “Menurut riset yang di lakukan oleh para dokter ahli, anak-anak kalau makan es krim itu nggak akan bikin mereka sakit kok, Mbak Yun.” Kana tersenyum kemenangan, “Malah es krim itu bagus untuk pertumbuhan anak-anak karena mengandung kalsium dari s**u yang baik untuk pertumbuhan tulang dan gigi anak. Apalagi untuk seumuran Qila, kalsium itu benar-benar dibutuhkan untuk pertumbuhannya.” “Ya... Ya... Ya...” Ayunda mengela napas panjang,  “Kamu menang, Ana. Dasar, Dokter pintar merayu.” “Jadi, Ma?” tanya Aqila penuh harap, “Qila, boleh kan makan eclim cama Bibih cekalang?” dan Ayunda mengangguk khidmat. “Ayo kita beli es krim!” seru Kana riang, “Kita mau beli—” Buru-buru Dana menarik tangan Kana yang akan beranjak. “Bu Dokter Kanaya Septiara Pramudyanto, kita beli es krimnya nanti aja gimana? Udah sore ni, kita harus pulang.” Kana mengerucutkan bibir tipisnya itu, “Ih! Mas Dana mah ngeselin. Aku kan mau makan es krim sama Qila, Mas! emangnya kenapa si kalau udah sore? Kayanya lagi di tungguin sama siapa aja.” “Kamu yakin ni, nggak mau cepet-cepet ketemu sama Ibu di rumah? Kamu juga nggak mau Mas kasih kejutan karena kamu pulang dari Jerman?” tantang Dana, “Oke, kalau kamu nggak mau nggak apa-apa kok, Mbul! Alhamdulilah banget aku mah kalau kamu nggak mau.” Mendengar ocehan Dana, Kana nampak tersentil ingin mengetahui apa maksud tersembunyi dari ocehan Dana. “Emangnya, Mas mau kasih kejutan apa sama aku?” “Rahasia!” Dana mengacak-ngacak rambut cokelat tua Kana yang tergerai menutupi punggung wanita ini, “Kalau aku kasih tahu apa kejutanya, itu bukan suprise namanya.” “Ih, Mas Rese!” desis Kana, “Kenapa si, Mas udah kepala tiga resenya nggak ilang-ilang?! Kasih tahu nggak apaan?!” “Dan kamu, kenapa udah mau umur 25 tahun, masih kaya anak-anak aja?” ledek Dana. “Biarin! Lagian... aku nggak pernah perduli sama hal itu!” sahut Kana ketus. ##### Arka berjalan menuju pintu keluar terminal kedatangan internasional dengan kesal. Baru juga beberapa menit yang lalu ia menginjakkan kaki di Indonesia tiba-tiba orang asing yang entah darimana asalnya membuat mood-nya hancur seketika. Wanita mungil berambut cokelat tua itu, jauh lebih pendek dari tinggi wanita rata-rata pada umunya. Ketika Arka memandangi wajah wanita itu, desis aneh mulai mucul dari dalam dirinya. Baru pertama kali, Arka langsung terpanah melihat seseorang hanya dalam pandanganya pertama saja. Tubuhnya memang mungil bahkan sangat pendek seperti anak SD tapi ia nampak menggoda dengan lekukan tubuhnya yang indah di balik kemeja dan celana jeans miliknya, kulitnya putih bersih bak s**u dan bercahaya, pipi chubby yang merona merah membuatnya terlihat sangat manis dan mengemaskan, lalu kedua mata cokelat tua bersinar teduh yang senada dengan rambutnya membuat wanita itu semakin terlihat cantik dan... bibir tipis nan merah menggoda seakan membuat Arka ingin merasakan sensai bibirnya itu. Ponsel Arka berdering memburyakan lamunan Arka temtang wanita mungil itu, terlihat sebuah panggilan dengan nama Fandy tertera disana. Buru-buru Arka menyentuh hold hijau di layar ponsel berukuran lima inci miliknya itu. “Halo?” “Hey, My Bro!” sahut suara dari sebrang sana, “Apa kabar? Udah sampai lo di Sotta?” “Baru nyampe,” jawab Arka dingin, “Tumben banget ya, Pak Dokter yang super sibuk bisa nelfon gue? Ada angin apa ni? Bales chat Line aja setahun sekali bahkan berabad-abad lamanya.” “Nggak ada angin apa-apa,” ujar Fandy, “Hanya mengucapkan selamat datang di sebuah realita kehidupan di Jakarta ya.” “Dan lo cuman mengucapkan itu?” sindir Arka ketus, “Tanpa mau menyambut sahabat seumur hidup lo di bandara yang jauh-jauh berjam-jam menempuh perjalanan dari Inggris ke Indonesia? Dasar nyebelin lo, Fan!” “Wes, ada yang ngambek ni?” Fandy pun tertawa mengejek, “Udah mau kepala tiga masih tukang ngambek aja! Sorry ni nggak bisa jemput lo di Sotta lagi banyak kerjaan buat visit pasien.” “Ya... Ya... Ya... tahu deh Pak Dokter mah always sibuk paham deh kita,” cibir Arka, “Nggak apa-apa kali, Fan. Gue udah gede bisa pulang sendiri.” “Masih inget jalan pulang kan?” ejek Fandy. “Walaupun, gue udah tiga tahun ninggalin Jakarta gue masih inget jalan ke rumah gue!” sahut Arka ketus. “Well, sepertinya pasien gue udah banyak yang nungguin untuk di visit ni. See you, Ar! Nanti malam atau besok kalau gue sempat, gue main ke rumah lo deh.” “Ya, gue tunggu.” Arka pun langsung memutuksan telfonya dengan Fandy. ##### Kana nampak begitu tak sabar untuk sampai ke rumah sepanjang pejalanan ia duduk di samping Dana sambil mengedong Aqila keponakanya itu, Kana dan Aqila terus bernyanyi riang sembari memandangi pemandangan pepohonan hijau yang terhampar di sepanjang jalan tol menuju pulang. “Kamu sama Qila nampak seperti seumuran,” ledek Dana. “Biar! Berarti aku awet muda dong, Mas?!” sahut Kana ketus. “Malu kali, sama umur yang harusnya udah ‘punya calon suami’,” sindir Dana halus, Kana mengabaikan sindiran Dana. Ya memang, seusianya banyak para wanita sudah sibuk  memulai kehidupan rumah tangga tapi menurut Kana menikah itu urusan kesekian sebelum ia berhasil menjadi seorang dokter yang terbaik ia tak akan ingin menikah. “Kejarlah kariermu sebelum mengejar gaun pengantinmu,” sahut Kana, “So, Mas Rese bin Bawel... berhubung aku baru pindah dari Jerman dan gajiku juga masih di bawah standart, menurutku nikah itu urusan kesekian. Kalau aku udah menghasilkan uang banyak lalu menyenakan hati Mama, Dirga dan Ibu... aku baru mau nikah!” “Kamu nggak takut jadi perawan tua?” tanya Dana, “Kamu itu dokter, siapa si yang bisa nolak kamu? Kamu punya masa depan cerah, Ana. Jadi saran aku—” Radio di mobil ini tiba-tiba memutarkan sebuah musik yang membuat Kana berteriak histeris dan pembicaraan mereka ikut terputus seiring lagu yang sedang dimainkan di Radio. “ASTAGA, CNBLUE OPPA! JUNG YONG-HWA OPPA, LEE JONG-HYUN OPPA, KANG MIN-HYUK OPPA, LEE JUNG-SHIN OPPA! ” teriaknya histeris memuat Dana dan Ayunda sama-sama terkejut. “Kana, kamu ngangetin aja!” dumal Ayunda, “Untung Mbak nggak punya penyakit jantung.” Kana mengabaikan dumalan Ayunda, ia mulai sibuk bernyanyi seolah ia memiliki dunianya sendiri tanpa orang lain. “Go-odbye darling hey you! oh my darling hey you! jugeul mankeum sarang-hae Jebal nae-ge do-rawah jwo sarang-hanikka neoman anikka tashi hanbeon-man love forever.” Suara Kana mengema memenuhi seisi mobil ini, Dana hanya mampu mengeleng-gelekan kepalanya melihat sikap Kana yang tidak pernah berubah sejak dulu. “Dasar anak... selebo!” cibir Dana, “Gimana ada cowok yang bisa naksir sama kamu, Ana kalau kamu nggak pernah bisa berubah menjadi sosok wanita anggun dan berkelas.” “Aku nggak akan berubah sampai kapanpun!” sahut Kana ketus, “Ana ya tetep Ana.” ##### Fandy menyelesaikan tugasnya untuk visit pasien setengah jam lebih awal, jam tanganya sudah menunjukan pukul setengah enam sore ia teringat untuk pergi menenui Arka sahabat lamanya yang baru saja menyelesaikan pendidikan S2-nya di Inggris. Fandy dan Arka bersahabat sejak keduanya duduk di banguk SMA, walau Arka adalah seniornya yang hanya berbeda usia satu tahun denganya. Tapi, dalam hubungan persahabatan antara mereka berdua tak pernah sekalipun gap status junior dan senior itu menjadi penghalang untuk mereka. Arka si anak dari pengusaha sekelas William Wiratama yang memiliki jaringan perusahaan yang bergerak properti besar, memiliki sikap yang ramah dan menyenangkan namun terkadang konyol. Sedangkan, Fandy si anak pegawai rendahan di walikota yang bermimpi untuk menjadi lebih baik dari Arka. Perbedaan keluarga mereka yang mecolok tak membuat mereka berdua menjadi cangung. Semua masalah yang Arka hadapi hampir seluruhnya Fandy tahu begitu sebaliknya. Arka yang kabur setiap marah atau bertengkar dengan Daddy-nya, Arka yang begitu membenci ibu tirinya, kejamnya ibu tiri Arka dengan Arka dan Dara semua hal yang terjadi dengan Arka Fandy tahu. Dan... selain kepulangan Arka ke Jakarta hari ini junior Fandy saat SMA, Kana juga pulang dari Jerman. Kana si dokter jenius yang selalu memilikii sejuta pesona sejak pertama kali Fandy mengenal wanita itu semasa SMA. Walau sejak hari pertama MOS, Kana terkenal sebagai trouble maker namun pesona mangisnya seolah membuat Fandy tak berkutik sama sekali. Dilema mulai muncul, kemanakah Fandy harus pergi? Menemui Arka? Atau menemui Kana terlebih dulu? “Hai Sayang!” bisik seseorang tepat di telinga Fandy, terlihat sepasang lengan putih mulus bergelayut manja di atas pudak Fandy. “Kan—” “Ah, bisa nggak sehari aku nggak denger nama itu!” gerutu suara itu, Fandy mendongak. Terlihat wanita cantik bertubuh langsing dan tinggi semapai sudah berdiri di belakang Fandy. Tubuh indanya di balut dengan minidress tanpa lengan berwarna hitam polos nampak keluaran dari merek H&M yang terlihat sangat pas di tubuhnya. Ia menekuk bibir penuhnya yang di poles oleh Lipcream merek NYX  berwarna ibiza itu sembari menatap Fandy tajam. “Oh, Hai Eliza,” sahut Fandy. “Kamu nyebelin banget si, Mas!” dumal Eliza, “Kenapa kamu masih aja nyebut-nyebut Kana, Kana, dan Kana?! Inget sebentar lagi kita nikah, Mas! berhentilah menyebut nama wanita itu!” “Maaf,” ujar Fandy. “Kamu masih mikirin dia?” tanya Eliza sakartis, “Iya?”  “Eh iya, kok kamu datang ke rumah sakit nggak ngabarin aku?” Fandy berusaha mengalihkan pembicaraannya dengan Eliza. Tidak, Fandy harus berusaha melupakan obsesinya tentang Kana Eliza menarik kursi kosong yang ada di hadapan Fandy, di tatapnya kedua mata Fandy sangat dalam. “Aku telfon kamu berkali-kali kamu nggak ngakat!” dumal Eliza, “Aku kangen tahu sama kamu!” Fandy mencubit hidung Eliza dengan ngemas. “Maaf ya, tadi aku harus visted pasien.” “Kita makan malam bareng yuk?”  ajak Eliza, “Aku kangen makan—” “Sorry, sebenarnya aku mau pergi ke rumah Arka,” potong Fandy, “Kamu nggak mau ke rumah Arka, Liz?” Mendengar nama Arka wajah Eliza berubah menjadi masam. “Oh, si Playboy kacangan itu udah pulang dari Inggris toh? Kirain nggak inget pulang karena—” “Liz!” desis Fandy, “Dia—” “Memang bener kan, dia itu cuman seorang Playboy kacangan?” sahut Eliza ketus, “Gila amit-amit deh dulu mau jadi pacar dia. Diam-diam dia selingkuh dan diam diam dia pergi. Dasar kacangan! Playboy nggak profesional.” “Tapi, kamu memang belum putus bukan sama dia?” tantang Fandy, “Kamu masih—” “Stop, Mas!” erang Eliza, “Aku cape kita debat kaya gini terus. Aku itu udah nggak ada apa-apa lagi sama dia dan aku juga mutusin dia sejak tiga tahun yang lalu! Perkara dia mau apa atau nggak itu urusan dia!” “Tapi....” “Dari dulu saat kita masih sama-sama ospek di kampus.” Eliza menatap Fandy, “Aku cuman cinta sama kamu, Mas.” “Dan kamu membuatku seperti pagar makan tanaman, Liz!” pelik Fandy. “Lalu kamu mau lari dari tanggung jawab kamu?!” sahut Eliza keras, “Ingat, di dalam rahim aku itu tumbuh anak kamu, Mas!” ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD