Part 2

1699 Words
Arka menurunkan semua barang-barang miliknya dari bagasi taksi, di depan matanya sebuah rumah bergaya minimalis nan elegan sudah menghampar. Rumah yang hampir tiga tahun lamanya ia tinggalkan hanya karena ia harus pergi menutut ilmu. Dengan berat hati, Arka melangkah memasuki rumah ini. Saat Arka membuka pintu rumahnya sosok gadis remaja berambut hitam panjang langsung memeluk Arka tanpa seizin Arka. “Kak Fandy!” serunya. “Hey... Hey... Dara, lepasin dong! Jangan kaya gini, Kakak ini lagi cape baru sampai  dari pejalanan jauh!” dumal Arka. Gadis remaja yang di panggil Dara itu langsung melepaskan pelukanya, di tekuknya bibir penuhnya membuatnya semakin mengemaskan. “Kakak nggak kangen sama Dara ni? Dasar kakak nyebelin! Awas, nanti aku bilangin sama Daddy ya nanti kalau Kak Fandy nakal sama Dara.” Arka tersenyum, dielusnya rambut hitam Dara yang tergerai. “Kakak kangen kok sama kamu, Dar.” Senyum manis kini mengembang dibibir penuh nan ranun milik Dara. “Aku juga kangen pake banget sama Kakak!” Arka merogoh jaket kulit yang ia kenakan, tak lama kemudian Arka menyodorkan sekotak cokelat untuk Dara. “Untuk princess kesayangan Kakak yang suka banget sama cokelat.” “Untukku?” tanya Dara heran, “Serius?” Arka hanya mengangguk. Sedetik kemudian Dara mengambil kotak cokelat itu dari tangan Arka. “Makasih ya, Kakak yang ganteng tapi nyebelin banget!” seru Dara riang. “Kamu udah pulang?” tanya suara seorang wanita, mendadak rona bahagia yang terlukis di wajah Arka dan Dara kini menghilang bagaikan uap air yang menguap akibat dipanaskan di atas kompor. “Udah kok, kenapa memangnya?” sahut Arka ketus, “Daddy kemana ya? Kok saya nggak melihat Daddy saya ya?” Seorang wanita cantik berumur belum sekitar 40-an tahun itu berjalan menghampiri Arka dan Dara. Tubuhnya tinggi semapai bagikan model kelas internasional, rambutnya serwarna tembaga menutupi punggung indahnya ini, b****g dan bagian payurdaranya terekspos karena ia mengunakan minidress yang sangat ketat memperlihatkan bagian lekuk tubuh indahnya ini. “Daddy kamu sibuk,” sahut wanita ini, “Daddy lagi ada rapat persiapan untuk mulai buat tender project barunya.” “Oh, well. Udah paham si ya sama kebiasaan Daddy.” Arka tersenyum sinis dengan wanita ini, “So, Miss... kok tumben si, anda ada di rumah? Biasnya anda sibuk dengan teman-teman sosialitamu untuk mengeliling mall di Jakarta dan menghambur-hamburkan uang atau menghabiskan perwatan di salon hanya untuk mempercantik diri anda? Angin apa anda memilih berdiam di rumah? Atau... anda salah minum obat ya, Miss?” “Mama kan, ingin menyambut anak Mama pulang jauh-jauh dari Inggris,” sahut wanita itu. Arka tersenyum sinis, kedua sudut matanya memancarkan aroma kebencian yang membara dengan wanita ini “Mama? Sejak kapan saya punya Mama ya? Dihidup saya, saya hanya punya Mommy dan Daddy sebagai orang tua saya. Dan... Mommy saya sudah meninggal, 15 tahun yang lalu.” Wanita itu tertohok mendengar ucapan Arka, ia berusaha mengendalikan dirinya untuk tetap terlihat tenang. “Sampai kapanpun, kamu tidak bisa menolak takdir bawah Ibumu itu sudah meninggal, Arkana.” “Mommy tidak pernah meninggal. Tapi, jiwanya masih selalu hidup di dalam hati saya!” sahut Arka ketus. “Kamu ini—” “KAK ARKA!” teriak suara khas seorang wanita. Arka, Dara dan wanita ini pun sama-sama menoleh kearah sumber suara tersebut. Sosok wanita cantik yang baru berumur sekitar 20-an berjalan menuju mereka bertiga. Wanita cantik dengan kulit putih dan tubuh tinggi semapai bagaikan model ini tersenyum melihat Arka, rambut gelapnya sengaja tergerai untuk menutupi punggungnya, tubuhnya yang indah tubuhnya bagaikan gitar spanyol ini di balut dengan minidress dengan belah d**a rendah, berbahan satin yang terlihat halus dengan warna merah menyala. Minidress ini membuat tubuh wanita itu terlihat semakin sexy dan menggoda. Hentakan high heels setinggi 10 sentimeter milik wanita itu mengema seisi ruangan saat bersentuhan dengan dinginnya lantai marmer rumah ini, Arka hanya tersenyum kecut saat melihat wanita ini sudah berada di hadapanya. “Maurine!” seru wanita yang enggan Arka panggil dengan sebutan mama ini, “Apa kabar, Sayang?” Maurine tersenyum, lalu ia memulai cipika-cipiki dengan wanita ini, “Always baik... Tante Merry.” “Hai, Kak Maurine,” sapa Dara setengah ikhlas. “Oh, hai Dara!” kini Maurine mengalihkan cipika-cipikinya dengan Dara, terlihat sekali Dara menahan rasa jijiknya atas perlakukan Maurine ini. “Gak usah sok manis kali sama semua, emang situ gula? Arang aja sok-soan mau jadi kristal, Cih! Sorry, nggak level main sama upik abu.” sindir Arka dengan suara pelan. “Kamu bisa jaga sikap nggak?” bisik Merry, “Ini calon istri kamu datang!” “Sejak kapan?” sahut Arka ketus, “Kayanya saya... nggak pernah pacaran lagi selain sama Eliza.” ##### Fandy membawa sebuah gantungan boneka beruang yang seukuran kepalan tangannya sedangan di saku celanya terdapat sebuah gelang rajutan yang ia beli di pinggiran jalan Mariloboro. Sambil menunggu kedatangan Ana, ia masih asik bermain dengan ayunan yang ia duduki. Pertemuanya dengan Ana kemarin membuat Fandy begitu terketuk melihat Ana yang menangis meratapi mainnya yang rusak iya... melihat gadis kecil itu menangis hati Fandy begitu sakit dan terketuk. “Kak Fandy?” panggil seseorang, Fandy mendongak ke arah kedatangan suara itu, sosok Ana sudah berdiri di hadapanya sekarang. “Udah yama ya, Kak?” tanya gadis itu. Fandy mengeleng. “Nggak kok An, aku baru sampai.” “Oh.” Ana membuat bulatan sempuran dengan bibir tipisnya itu. “Ana!” seru Fandy. “Iya, Kak?” Fandy menyodorkan boneka beruang yang ada di tanganya. “Untuk kamu.” Kedua mata cokelat tua Kana nampak terbelanga. “Untukkuh?” “Ya!” tuas Fandy, lalu tangan kirinya mulai merogo saku celananya. “Dan yang ini juga buat kamu juga.” Ana kecil tesenyum, akhirnya ia memiliki mainan baru setelah mainannya di rusak oleh anak-anak nakal kemarin. “Ma’aci!” “Sama-sama,” sahut Fandy. Ana mengambil boneka itu dari tangan Fandy, kedua matanya nampak berbinar. Fandy hanya terdiam memandangi Ana dalam keheningan, tiba-tiba sebuah getaran hebat mengucang tubuhnya. Apa ia sakit ya? “Ana?” panggil Fandy “Iya Kakak?” Fandy mengenggam tangan kanan Kana yang bergerak bebas, tanpa seizin Kana Fandy memasangkan gelang di tangan kanan Kana. “Kamu jangan pernah ilangin gelang ini ya. Gelang ini cuman boleh ada di tangan kamu nggak boleh ada di tangan orang lain.” ##### Mobil Nissan Grand Livina milik Dana sampai di depan sebuah rumah bergaya minimalis di bilangan Menteng. Setelah mesin mobil berhenti, Kana buru-buru menarik tuas pintu mobil ini, namun sialnya sebelum ia mempijakan kakinya ke atas tanah tangan Dana dengan cepat menariknya lenganya. “Mau kemana, Bul?!” tanya Dana, “Ish, Mas Dana apaan si!” dumal Kana, “Lepasin, wei! Aku mau masuk aku mau ketemu Ibu, aku mau makan masakan Ibu, aku juga mau tidur dan aku cape duduk berjam-jam di pesawat plus lari sana sini karena harus transit!” Tiba-tiba sebuah kain hitam menutupi kedua mata Kana, seseorang menarik tanganya dan menuntun jalannya dengan hati-hati. Semuanya nampak gelap bahkan lebih menakutkan daripada harus berada di kamar mayat atau melihat hantu dengan rambut hitam panjang yang terurai di dalam film horor. “Aduh, ini apa-apaan si!” dumal Kana. “Bukain! Ini nggak lucu!” Dan kain hitam itu pun terbuka, kini di hadapanya terlihat sebuah ‘WELCOME BACK AT HOME KANA’ yang di susun dengan balon-balon berbentuk huruf dengan warna kuning metalik yang menyilaukan mata, gemuru suara trompet benar-benar menggema memenuhi ruangan ini. “Selamat datang kembali, Ana!” seru suara seorang wanita, Kana mendongak kearah sumber suara itu dan ia langsung berlari mendekati sosok wanita mungil dengan rambut hitam sepundak yang tergerai dan sudah memiliki dua warna. “MAMA!” seru Kana riang, wanita yang dipanggil mama itu langsung memeluk erat tubuh mungil Kana yang datang kearahnya. Kania, benar-benar tak mampu menahan harunya saat melihat gadis kecil yang ia rindukan kini sudah benar-benar kembali pulang. “Pie kabare, Nduk?” tanya Kania, “Mama kangen tenan sama kamu, Nduk.” Kana masih memeluk erat tubuh Kania dengan erat. “Aku selalu baik, Ma. Aku juga kangen banget sama Mama!” “Akhirnya setelah sekian lama merantau ke negeri orang... Mbak Ana pulang juga,” celetuk seseorang, dan ekpresi Kana yang semula ceria kini berubah masam. Seorang pria bertubuh jangkung dan terlihat lebih muda dari Kana berdiri di samping Kania. “Kirain aku... Mbak Kana nggak inget pulang dan mau menetap di Jerman supaya bisa ketemu sama Thomas Muller. LUM-Munchen kan deket sama markasnya Bayern Munchen.” “Ugh! Kamu lagi!” gerutu Kana, “Gimana aku mau nonton pertaningan Bayern Munchen kalo tiap hari aku kerjaanya bulak-balik ke kampus dan ke rumah sakit! Memang kampusku di Munchen tapi... you know lah ribetnya jadi seorang mahasiswa ‘kedokteran’. Dan tenang aja... aku bukan seorang bagaikan kacang yang lupa sama kulitnya kali.” “Kenapa?” sahut pria itu, “Mbak, nggak—” “Akhirnya, anak kesayangan Ibu pulang juga,” potong seseorang, dan seorang wanita yang nampak tak muda lagi itu berjalan mendekat kearah Kana dan Kania, kini Kana mengalihkan pelukanya terhadap wanita itu. “Ibu!” seru Kana, “Kana kangen sama Ibu,” Hani hanya tersenyum mendengar penuturan keponakanya sekaligus anak angkatnya ini. Saat Kana kecil hingga sekarang, ia dan mendiam suaminya yang membiayai Kana dan juga Dirga, adik Kana itu. Suaminya –Pradianto– adalah kakak dari papa Kana –Prawira–  walau perselisian yang sempat dialami mendiam suami dan adik iparnya itu cukup lama terjadi namun semejak kehadiran Kana semua keadaan kembali membaik. Ya memang Kana itu adalah malaikat untuk semua orang. “Ibu juga kangen sama anak Ibu yang manja ini.” Hani mengelus rambut kecokelatan Kana, “Apa kabar, Sayang? Apa kamu sudah mulai terbiasa lagi dengan udara panas Jakarta yang berbeda dengan Munchen?” Kana tertawa. “Aku selalu baik dan baik banget, Bu. Dan... sepertinya aku harus kembali membiasakan diri dengan panasnya Jakarta setelah tiga bulan aku kembali ke Munchen.” Hani langsung menyeret Kana masuk kedalam rumah, “Ayo kita masuk, Ibu sama Mama udah siapin masakan kesukaan kamu, Ana.” “Semua?” “Ya!” tegas Kania, “Sup buntut, pekedel, semua makanan kesukaan kamu pokoknya udah Mama sama Ibu masakin special buat kamu, Nduk.” ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD