Part 5

2070 Words
Setelah sekian lama, Fandy mulai lupa dengan sahabat masa kecilnya Ana. Keputusan orang tuanya yang memilih pindah ke Jakarta membuat Fandy kehilangan masa kecilnya yang indah bersama Ana. Fandy yang mulai beranjak usia 12 tahun, dan selama hampir satu tahun belakangan ini sering mendengar keributan antara orang tuanya karena diam-diam mommynya bermain api dengan pria lain. “BUAT APA LAGI KAMU KESINI!” maki William. “Aku mau ketemu anak-anakku,” sahut suara seorang wanita. Fandy hanya dapat mendengar sayup-sayup suara keributan dari balik pintu itu, lagi-lagi ia hanya mampu menangis. Di pandanginya Dara, adiknya yang baru genap berusia dua tahun. Wajah Dara nampak tak berdosa saat ia tertidur membuat Fandy semakin ingin menangis melihat semua keadaan yang harus ia hadapi sekarang. Kenapa orang dewasa selalu egois? “MEREKA ANAKKU, BUKAN ANAKMU, CHEL!” suara William semakin membuat Fandy takut. “AKU IBUNYA, AKU YANG MELAHIRKAN MEREKA DAN AKU BERHAK UNTUK BERTEMU DENGAN MEREKA, MAS.” terdengar isak suara wanita semakin membuat Fandy ingin menangis. “PERGI SAJA DENGAN PRIA SIALAN ITU!” bentak William, “Ia lebih kaya dariku kan? buat apa kamu mencari Arka dan Dara?” “Tapi, Fandy—” “Nama anakku itu Arka bukan Fandy! Arkana Wiratama tak ada yang namanya Arkana Ifandy Wiratama!” erang William, “Aku menyesal memberikan nama tengah anakku dengan nama Ifandy sesuai keingiannmu dulu. Ternyata... itu nama pria sialan itu bukan?” “Tapi, Mas—” “Kenapa dulu kamu memilikiu, Rachel...” suara William nampak bergetar, “Jika kamu lebih mencintai Ifan, kenapa kamu tidak pernah mau menikah saja denganya? Aku menyesal kalian bermain api di belakangku. Kamu tahu... aku dan Ifan berteman sangat lama? Kenapa kamu begitu tega mengkhiantiku dan merusak persahabatanku dan Ifan?” “Mas,” “Pulang lah!” perintah William, “Jangan pernah kamu muncul di hadapanku dan kedua anakku. Ifan lebih baik dariku yang hanya seorang arsitek rendahan.” Fandy memangis semakin menjadi-jadinya, tidak melihat Mommy? Itu adalah kiamat yang tak ingin ia rasakan. ##### Seperti biasa, jam makan siang menghampiri Kana itu tandanya ia harus menutup polinya untuk mengisi perutnya sebelum membuka praktiknya di sore hari. Kedua mata Kana nampak berbinar memandangi semangkuk Mie Ayam plus pangsit dan bakso yang sudah tersaji dihadapanya. Sejak sebulan belakangan ini, Kana mulai kembali membiasakan diri dengan udara panasnya Jakarta di siang hari ini dan mungkin... akan berusaha mencintainya lagi seperti dulu sebelum ia mengenal keindahan kota Munchen. Buru-buru Kana mengambil sumpit yang ada disisi kanan kotak makan siangnya. Nampak hanya dengan melihat makan siangnya ini rasanya perut Kana semakin benar-benar keroncongan akibat harus menangani pasien-pasien yang menyebalkan. Wanita itu bersiap untuk memulai suapan pertama dan pamungkasnya. “Hai, Kana!” seru seseorang membuat Kana mengentikan aktifitasnya. “Hai, Kak Fandy,” sahut Kana, “Nggak makan siang, Kak?” Fandy menarik kursi kosong yang berada di depan Kana, “Makan Mie Ayam terus dari dulu jaman SMA nggak ada bosennya?” Kana tertawa keras, “Ini makanan terenak setelah Gudeg, Bakpia Patuk sama Ramen ala Jepang.” “Tinggal di Jerman nggak bikin selerah kamu berubah ya?” sindir Fandy, “Aku pikir kamu suka sama makan khas Jerman atau Eropa semenjak tinggal di sana.” “Nggak dong! Untungnya, saat aku tinggal di asrama mahasiswa aku mudah ketemu makanan Indo,” sahut Kana, “Lagian... lidahku bukan lidah orang Eropa, aku orang Asia tulen. Mana bisa makan yang serba daging plus keju.” Dan keheningan menghampiri mereka berdua, Kana mulai menyatap makan siangnya sedangkan Fandy asik memandangi Kana yang sedang menyantap Mie Ayam miliknya itu, Kana benar-benar tak berubah sejak terakhir kali ia melihatnya saat Kana akan pergi ke Jerman hampir tujuh tahun lalu. Andai... malam itu ia tak melakukannya dengan Eliza mungkin saat ini Fandy saat ini juga akan melamar Kana. “Nak,” panggil seseorang dengan suara lemah. Baik Fandy ataupun Kana sama-sama mendongak untuk mencari sumber suara itu. Sesosok wanita tua dengan kulitnya yang keriput berdiri tepat membelakangi Fandy, tangan-tangan rapuhnya meneteng sebuah kantung plastik hitam dan sebelah tanganya ia memengang sekatung rempeyek kacang, ia tersenyum hangat dengan Kana dan lagi-lagi Kana tak pernah tega melihat seseorang yang sudah rentan tapi ia masih mau berusaha mencari sesuap nasi. “Iya, Nek?” sahut Kana. “Mau beli peyeknya, Neng?” tawar nenek itu. “Boleh!” dengan mudah kata itu meluncur dari bibir Kana. Dan nenek ini langsung menghampiri meja Kana lalu menjajakan barang dagangnya itu. “Mau beli—” “Saya beli semua ya, Nek.” Kana mengeluarkan dompet cokelatnya dan mengeluarkan tiga lembar uang 100 ribu-an dan selembaran uang 50-an, “Kembaliannya nggak usah di ambil ya, Nek.” Lalu Kana mengambil kantung plastik yang di bawah nenek itu, terlihat kedua mata nenek tersebut mulai meneteskan airmata. “Terima kasih Neng,” ujar Nenek itu bergetar. “Ini... kenapa banyak sekali, Neng? Harga semua rempeyeknya nggak sampai segini.” “Sama-sama Nek,” sahut Kana, “Nenek cepet pulang ke rumah ya, supaya Nenek biasa istirahat.” “Saya baru sekali ini mampir ke tempat ini, Neng,” ucap nenek ini, “Tapi, banyak orang yang mengabaikan saya. Saya sudah berulang kali mengeliling kantin ini tak ada satupun yang memperdulikan saya. Sekali lagi terimakasih, Neng geulis. Semoga Tuhan, selalu memberkahi Neng ya.” “Amin Ya Rabb,” sahut Kana, “Besok... Nenek kalau mau mampir keseini, silahkan datang ke sini lagi. Oh iya, Nenek ada telfon atau sesuatu yang bisa saya hubungi? Biar saya bisa mengubungi Nenek kalau saya mau beli Rempeyek buatan Nenek.” Nenek itu mengeleng, Kana hanya mampu mendesah. Fandy hanya mematung melihat sikap Kana yang sejak SMA terkenal dermawan itu. Bahkan, pernah Kana rela tidak jajan hanya karena ia membantu membeli dagangan seorang kakek tua yang berjualan di perempatan jalan menuju sekolah. “Kamu nggak pernah berubah ya, Na,” gumam Fandy pelan. Dan inilah yang membuatku selalu mencintaimu, Kanaya! Kenapa... Kenapa takdir mengatakan aku tak bisa memilikiimu? teriak batin Fandy. ##### “Kak Arka, ayo kita makan siang dulu ya! Aku lapar.” rengek Maurine. Lagi-lagi Arka mengabaikanya, ia justru asik dengan laptopnya. Ya semenjak ia menjabat sebagai Vice CEO perusahaan milik daddy-nya Arka mulai disibukan dengan banyak project yang digarap oleh daddy-nya ini. “KAK ARKA!” erang Maurine tak sabar. “Apa si?” sahut Arka ketus, “Berisik teriak-teriak aja!” “Ayo makan—” Suara deringan dari Ponsel Arka pun mengehentikan pembicaraan Arka dan Maurine. Arka langsung meraih ponsel berukuran lima inci miliknya yang tergeletak di samping laptopnya tertera nama Daddy di ponselnya. Buru-buru Arka mengeser hold hijau dari ponselnya itu. “Dad?” “Fandy? Kamu di kantor atau lagi makan siang di luar?” tanya William “Arka please! Udah berapa kali aku bilang, namaku Arka. Jangan pernah panggil  namaku Fandy!” erang Arka, “Iya, aku di kantor kok. kenapa Dad?” “Daddy, harus ke rumah sakit,” ujar Wiliam. “Ke rumah sakit? Ada apa memangnya, Dad? Kok tumben Daddy banget pergi ke rumah sakit mendadak?” “Ya!” tegas Wiliam, “Daddy dapat kabar dari guru Dara di sekolah, Dara masuk rumah sakit. Kamu bisa handle dulu kan rapat kita sehabis makan siang?” “B-b-bisa, Dad,” jawab Arka terbata-bata. “Daddy percaya dengamu, Nak,” kata William, “Semoga rapat pertamamu lancar.” “Trims,” sahut Arka, “Dad... jangan lupa kabarin tentang Dara ya? Pokoknya kalau ada apa-apa kabarin aku.” “Pasti Daddy akan kabarin kamu,” sahut William. “Semoga Dara nggak kenapa-kenapa.” “I hope, so.” “Oke deh, Ar. Daddy sebentar lagi sampai rumah sakit. Jangan lupa makan siang ya!” William mengalikan penbicaraan, “Good luck!” “You too, Dad.” Dan Arka pun memutuskan telfonya. Dihirupnya sebanyak-banyak oksigen yang ada di udara untuk mengisi paru-parunya yang serasa sesak ini. kenapa... adik kesayangnya itu harus merasakan sakit? Arka tak pernah rela melihat Dara menangis apalagi sampai merasakan sakit, semoga tak ada yang serius terjadi dengan Dara. “Kak Arka? Telfon dari—” “Dara masuk rumah sakit,” sela Arka, “Dan... tolong kamu siapkan dokumen rapat hari ini ya, dokumenya minta aja sama sekretaris Daddy-ku. Soalnya, aku harus menghandel rapat hari ini.” “Tapi—” “Kamu bilang kamu salah satu lulusan terbaik kan?” sindir Arka, “Ayo cepat siapkan segalanya, tanyakan sama sekretaris Daddy apa saja yang harus di siapkan!” ###### Kana memandangi wajah wanita yang sedang tertidur di ranjang rumah sakit ini, dipadangi papan identitas pasien yang tertera di depanya, Andara Isabella Wiratama. Nama yang cantik, secantik perawakan gadis ini. Tubuhnya yang langsing bak super model dengan kulitnya yang putih bersih pasti siapapun akan terpana melihat gadis ini walaupun ia sedang tertidur. Mirip dengan karakter dalam kartun Disney, si cantik Aurora dalam serial sleeping beauty. “Kasihan, kamu jadi nggak selesai makan siangnya,” guman Fandy yang berdiri di samping Kana, “Karena harus menangani wanita ini.” “Ya... nggak apa-apa lah,” sahut Kana, “Kewajiban kita bukan sebagai seorang dokter untuk menyelamatkan nyawa sesama umat manusia?” “Harusnya, kamu tadi ignore aja telfon dari Dirga,” ujar Fandy. Kana hanya tersenyum. “Dirga itu adik aku loh, masa iya aku lepas tangan saat adik aku butuh bantuan aku? Seorang Kakak pasti akan melakukan apapun buat adiknya.” “Tapi kan, banyak dokter jaga di IGD? Kenapa dia harus minta kamu banget si, Na? Emang nggak ada dokter lain apa yang lagi jaga di IGD?” “Dia adikku, wajar kan kalau dia lagi susah minta bantuan sama aku?” sahut Kana, “Yaudahlah... aku masih kenyang  juga makan rempeyek yang tadi aku beli. Ini enak loh Kak, Ibu pasti suka ni aku pulang bawain oleh-oleh.” Keheningan kembali menghampiri mereka berdua, hanya terdengar suara desah napas dari mereka dan juga wanita muda yang terbaring ini. Tiba-tiba suara pintu yang terbuka membuat suasan yang hening berubah seketika. “Dara!” seru seorang pria yang berumur lebih dari setengah abad ini. Kana dan Fandy sama-sama tersentak melihat sikap pria ini. lalu pria ini mendekati ranjang pasien gadis remaja ini satu hal yang membuat mereka berdua tercengan, pria itu langsung menangis dihadapan gadis remaja ini. “Pak,” panggil Kana sambil menyentuh pundak pria itu. “Ya, Dok?” “Bapak ini, siapanya Andara ya kalau boleh tahu?” tanya Kana hati-hati. Pria itu menghapus sisa air mata yang membasahi pipinya, “Maaf saya datang-datang malah langsung menangis ya. Saya William, orang tua dari Andara. Kalau boleh tahu, anak saya kenapa ya, Dok?” “Saya Kanaya, dokter yang menangani anak anda, Pak. Anak anda tidak apa-apa,” sahut Kana, “Dia hanya mengalami stres, kelelahan dan kurang tidur di tambah diet ketat yang dia jalani makanya ia pingsan mendadak karena tekanan darahnya rendah.” “Anak saya... sebentar lagi ujian, Dok.” Wiliam memandangi tubuh Andara yang masih tak sadarkan diri, “Dia terlalu keras kepala untuk belajar apalagi dia kelas 12 makanya ia sering sekali kurang tidur di tambah lagi, dia ingin badanya seproposional model-model Victoria Sceret makanya ia selalu menjalani diet ketat.” “Kalau boleh saran,” tambah Kana, “Di masa pertumbuhan seperti Andara ini, jangan sering-sering melakukan diet ketat seperti ini ya, Pak. Dia masih remaja, masih masa pertumbuhan. Dulu waktu saya masih berumur 17 tahun, saya nggak pernah diet-dietan kok malah Ibu sama Mama saya ngomel saat mereka lihat saya mencoba diet. Mereka bilang, ‘Ana kamu itu masih masa pertumbuhan, kamu jangan siksa diri kamu dengan bebagai macam obat diet atau menyiksa dirimu untuk diet ketat. Cukuplah kamu berolahraga untuk hidup sehat.’ Fisik sempurna, wajah yang cantik atau tampan belum tentu sempurna di dalam hatinya sama seperti fisiknya.” William mengangguk, “Baik lah, Dok. Terimakasih sarannya saya akan melarang anak saya untuk diet ekstrim lagi setelah ini.” “Sama-sama,” sahut Kana sembari berlalu meninggalkan William diikuti Fandy yang mengekor dibelakang. William begitu terpana melihat penuturan Kana yang begitu mendalam mengenai kesempurnaan fisik seolah-olah itu adalah tamparan untuk William yang selalu mengutamakan kesempurnaan fisik. Ia mempunyai istri yang sempurna seperti Merry tapi apa Merry benar-benar bisa menerimanya selama ini? “Dokter hebat,” gumam William, “Baru pertama kali aku mendengar sindiran sehebat itu meluncur dari seorang anak baru kemarin. Sepertinya... ia cocok bersama dengan Fandy dan dapat mengimbangi sikap dingin Fandy. Tapi apakah Fandy mau menerima perjodohan yang Merry inginkan? Aku berharap... Fandy bisa berkenalan dengan gadis ini.” *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD