Hari Minggu yang cerah seperti biasa kebiasaan Kana memanfaatkannya untuk pergi mencari hiburanya sendiri. Berhubung Kana sedang mendapatkan jatah libur, Kana memutukan untuk menghabiskan waktunya dengan kegiatan rutinya semasa SMA dan kuliah dulu. Sehabis makan siang Kana pamit untuk pergi ke mall hanya untuk pergi ke toko buku dan menghabiskan waktu di coffee shop, seperti sudah hafal betul kebiasaan anak angkatnya ini Hani dengan mudah memberikan izin untuk Kana.
Setelah menempu perjalan bersama Dana yang kebetulan juga ada urusan dengan rekan bisnisnya akhirnya ia tiba di sebuah mall di bilangan Bundaran HI. Kana dan Dana berpisah arah ketika mereka sampai. Kana dengan langkah santai mulai mengeliling mall ini, tak lupa tangan kanannya sibuk membalas sebuah pesan Line yang masuk ke dalam ponselnya. Nama Andara, mantan pasien sekaligus teman satu sekolah dari adiknya, Dirga kini menjadi sahabatnya dalam berfangirling ria.
Lucu juga, persahabat dengan usia yang berbeda cukup jauh ini hanya karena sama-sama menyukai salah satu band Korea membuat mereka dengan mudah bisa menjadi sedekat sekarang. Kana yang sangat menyukai Lee Jong-hyun dan Andara yang kebetulan juga suka dengan Lee Jong-hyun ini menjadikan mereka dekat hanya dalam tempo beberapa jam saja.
Andara Isabella W
Eonnie!
Udah tahu, kalo Jong-hyun oppa mau main drama?
Kedua mata Kana mendadak tak berkedip memandangi layar ponselnya, astaga kesibukan di rumah sakit menyita wakutnya untuk berfangirling ria seperti dulu. Dengan cekatan Kana menyetuh layar ponselnya untuk membalas pesan Andara.
Andara Isabella W
JINJJA?!
DEMI APA? SERIUS DIA MAIN DRAMA LAGI?
Yesseu^^
Hyunnie oppa main drama lagi finally setelah 3 tahun ya eonnie :3
Apa judulnya? Terus dia main sama siapa?
Akhirnya my hyunnie nangkring di drama lagi setelah sekian lama
Sayangnya aku lupa judulnya apa -_-
Dia main jadi vampire eonn, oh iya katanya... dia juga ikut WGM loh.
Potek hati ku eonnie :” ngeliat ayang burning punya istri :”
Kedua mata Kana semakin tebelanga, tidak katakan itu bohong! gerutu Kana dalam batinnya. Karena Kana terlalu sibuk memandangi ponselnya, tanpa sengaja Kana menabrak seseorang dan membuat barang-barang belanjaan yang ia bawa berhamburan.
“Maaf, saya nggak—”
“Kana?” panggil orang tersebut.
Kana yang sedang membantu membereskan barang-barang belajanan yang berantakan langsung mendongak ketika namanya di panggil. Sosok Fandy kini berada di hadapanya dan sikapnya nampak salah tingkah.
“Oh, hai Kak!” sapa Kana.
Fandy membantu Kana yang sudah selesai membereskan barang-barangnya itu, rasa curiga mulai muncul dalam diri Kana. Kenapa semua semua barang-barang belanjaan Kak Fandy kebanyakan barang-barang wanita? Dan... tunggu... ini kan seperti sebuah butik gaun pengantin bukan?
“Kamu dari dulu tuh kebiasaan banget ya, suka nabrak orang,” ledek Fandy, “Cerboh banget si kamu, Na.”
Kana mengaruk-garuk tengkuk kepalanya yang tak gatal, “He-eh sorry tadi aku dapet Line eh jadi keasikan baca.”
“Jangan mainan ponsel waktu lagi di jalan, Bu Dokter.” Fandy mengacak-ngacak poni yang menutupi kening Kana, “Kalau kamu nambrak kaca gimana?”
“He-eh sorry, Kak!”
Keheningan menyelimuti mereka berdua. Fandy terlihat kikuk saat kedua mata cokelat Kana memandanginya tak berkedip. Apa pendapat Kana jika ia mendengar bahwa dirinya sebentar lagi akan menikah? Akan kah, Kana akan menjauh darinya?
“Kak?” panggil Kana setelah sekian lama ia larut dalam keheningan.
“Iya?”
“Dari butik gaun pengantin?” akhirnya Kana memberanikan diri mencoba bertanya dengan Fandy, “Kok tas belanja Kakak rata-rata dari butik gaun pegantin?”
“Eng....”
“Emangnya, Kak Fanny mau nikah ya?” tanya Kana antusius, “Wah, kok aku nggak di kabarin sama Kak Fanny si?”
Fanny, kakak perempuan satu-satunya yang sudah meninggal dua tahun yang lalu karena menjadi korban praktik aborsi ilegal. Melihat Eliza hamil, Fandy teringat dengan kejadian kakak perempuanya itu walau ia sendiri tak yakin bahwa malam itu ia benar-benar tidur dengan Eliza.
“Bukan,” sahut Fandy datar.
“Lalu siapa yang?”
“Aku...” suara Fandy nampak terdengar samar, “Aku yang akan menikah.”
“Siapa?” ulang Kana.
“Aku, Na!” tegas Fandy, “Aku akan menikah... sebentar lagi.”
Bagaikan mendapat petir di siang bolong, hancur sudah semua harapan Kana untuk bersama Fandy. Pangeran masa kecilnya, pria yang selalu hadir dalam setiap mimpinya, pria yang selalu ada dalam setiap doanya, pria yang selalu ia idam-idamkan sebagai ayah dari anak-anaknya kelak kini harus menjadi pendamping wanita lain bukan dirinya.
“Kak Fandy....”
Fandy meraih tangan Kana yang bergerak bebas. “Maaf, sebenarnya... aku mau ngomong hal ini sejak dua bulan yang lalu, sejak kamu masuk ke rumah sakit yang sama denganku.”
“Kenapa... Kenapa....”
“Maaf aku nggak cerita sama kamu,” sela Fandy, “Aku nggak mau nanti kamu heboh sendiri, kaya waktu aku dapet FK di PTN yang cukup terkenal waktu SMA dulu.”
“Kakak....” terdengar suara Kana seperti seseorang yang sedang menahan tangisannya.
“Kita masih bisa berteman baik kan?” tawar Fandy, “Aku janji, walaupun aku udah punya istri nanti semuanya nggak ada yang berubah.”
“I hope so,” sahut Kana nampak bergetar, “Oh iya... Btw, happy wedding ya, Kak. Kapan Kakak mau nikahnya?”
“Bulan depan,” ujar Fandy datar, “Besok kalau undangannya udah jadi... aku kasih ke kamu ya?”
Kana mengangguk, “Boleh. Oh iya, sorry ni Kak aku ada urusan kasihan temen-temen aku nunggin nanti. See you!”
Kana berlari meninggal Fandy sambil menahan isak tangisnya. Persetan lah dengan yang namanya cinta. Cinta itu hanya omong kosong! aku bersumpah setelah ini aku tak ingin merasakan jatuh cinta lagi! runtuk Kana dalam hati.
######
Fandy memandangi foto keluarga kecilnya yang tergeletkan di atas meja belajarnya, kenapa takdi begitu kejam dengan dirinya? Kenapa istilah keluarga bahagia itu hanya mimpi di siang bolong untuknya? Seminggu setelah kedua orang tuanya resmi bercerai, Fandy harus benar-benar berpisah dengan ibunya untuk selama-lamanya karena pesawat yang membawa ibunya mengalami kecelakaan dan seluruh penumpang di pesawat itu tewas.
Sosok Fandy yang ceria kini semakin terlihat murung, memang anak kecil sepertinya tak pernah tahu apa problematika yang di rasakan oleh orang dewasa. Apa itu cinta? Apa itu selingkuh? Apa itu penghiantan? Rasanya pikirannya sudah di penuhi dengan kata-kata asing seperti itu.
“Fandy,” panggil William saat melihat putra kesayangnya memandangi foto keluarga itu.
“PERGI!” pelik Fandy, “AKU BENCI SAMA DADDY! DADDY JAHAT! KENAPA DADDY TEGA PISAHIN AKU SAMA MOMMY!”
“Fandy....”
“NAMAKU SEKARANG ARKA BUKAN FANDY LAGI!” teriak Fandy, “NGGAK ADA YANG BOLEH MANGGIL AKU FANDY KECUALI MOMMY!”
Dan tangisan Fandy pecah seketika, melihat putra kesayangannya menangis rasa iba menyelimuti William. Andai dirinya tak pernah egois, andai ia masih mempunyai kesempatan untuk memaafkan Rachel mungkin semuanya tak akan seperti ini.
“Arka...”William pun memeluk Fandy dengan erat, “Maafin Daddy... Arka.”
Fandy masih menangis, ia terus meracau mommy, mommy dan mommy hingga William semakin mengutuk dirinya sendiri. Kenapa penyesalan selalu datang belakangan?
######
Arka sibuk menatap layar Tab-nya, di hadapanya sudah hadir sosok Nico yang tak lain adalah salah satu pejabat di kantornya. Nico nampak gusar sembari beberapa kali memperhatikan jam tangan Rolex miliknya. Susana yang sudah sore ini membuat coffee shop yang semula sedikit sepi kini berangsur-angsur ramai di tambah lagi hari ini hari Minggu.
“Dana kok belum dateng juga ya?” gumam Nico.
“Lo udah hubungi dia?” sahut Arka acuh, “Sabarlah sedikit, Nic. Mungkin Dana lagi kejebak macet. Namanya juga Jakarta.”
“Tapi, ini udah lewat satu jam dari waktu kita janjian!” dumal Nico.
“Sorry, gue terlambat!” seru seseorang membuat Arka dan Nico sama-sama tercengang, sosok Dana pun langsung menarik kuris kosong yang ada di samping Arka.
“Dasar tukang ngaret!” sindir Nico.
“Tadi... adik perempuan gue minta ikut makanya jadi lama,” sahut Dana, “Lo tahu lah cewek is ribet! Nyebelin emang.”
“Istri lo emang nggak ribet, Dan?” goda Nico, “Ayunda kan ribet. Segalanya harus perfect banget. kok lo mau sama istri lo?”
“Ale lebih ribet lagi ya!” jawab Dana seolah tak mau kalah, “Kok lo tahan si hidup sama Ale yang bawel, pecicilan sama tukang ngambek gitu si? Gue si kalau punya istri kaya Ale si ogah.”
“Tapi, Ale membuat hidup gue berwarna, Bro!” tegas Nico, “Apalagi semenjak Rosie hadir di tengah-tengah kehidupan gue sama Ale semuanya jadi makin berwarna.”
Arka hanya mampu menghela napas panjang untuk mengisi paru-parunya yang terasa sesak. Memangnya makhluk yang namanya wanita itu selalu membuat segalanya terhambat dan mereka hanyalah penghalang bagi kaum pria. Bagaimana kalau kelak ia akan memiliki seorang istri seperti yang tuturkan kedua temannya ini? Apa dunianya akan berubah?
“Udah-udah kita tujuannya kesini mau ngomongin persiapan rapat tender besok bukan ngomongin cewek apalagi istri kalian!” erang Arka.
“Maaf, boss.” Dana dan Nico hanya meruduk malu. Memang Arka tak segalak Daddy-nya baik di kantor maupun di luar kantor. Di luar kantor Arka melarang keras untuk kedua pria ini memanggilnya dengan sebutan ‘Pak’ walau mereka sudah seperti teman, namun bukan berarti mereka berdua bisa senaknya. Toh mereka hanya orang yang membantu Arka di kanto.
Keheningan menghampir ketiga pria tampan ini, Arka sibuk memainkan Tab-nya lalu Nico sibuk membaca tumpukan kertas yang ia bawa dan Dana mulai mempersiapkan laptop yang ia bawa.
“Eh, sekretaris seksi lo kemana, Ar?” celetuk Dana memecahkan keheningan, “Kok dia nggak ikut sama lo si?”
Arka menatap tajam kearah Dana, seketika Dana mejadi salah tingkah. “Sekretaris? Maksudnya Maurine? Ha-ah gue aja nggak merasa punya sekretaris macam dia kok.”
“Wah jahat amet si lo, Boss!” tuas Nico, “Kalo gue jadi lo, gue bahagia banget punya sekretaris seksi, cantik, cekatan dan pintar lagi macam Maurine. Parah lo nggak mengakui dia sebagai sekretaris lo.”
“Kalo lo mau, ambil aja!” sahut Arka ketus, “Gue nggak suka sama sekretaris kegenitan bin kecentilan kaya dia!” Lalu Arka bangkit meninggalkan pembicaraan mereka, terlihat Nico dan Dana sama-sama melemparkan tatapan penuh tanya. Apa pertanyaan masalah Maurine membuat Arka tersinggung?
“Ar, lo mau —”
“Gue mau beli minum dulu,” potong Arka, “Kering kerontang gue nungguin Dana dari tadi!”
Arka berjalan menuju kasir demi memesan sebuah kopi, ketika ia sedang mengantri kedua mata hitam Arka menemukan sosok yang sangat amat ia rindukan selama bertahun-tahun lamanya.
“Eliza?” panggil Arka, seorang wanita berambut pirang pendek sambil membawa segelas Caramel Frappuchino menengok kearah Arka namun sedetik kemudian ia membuang pandangnya dari Arka dan buru-buru menghindar dari Arka.
Arka mendadak meninggalkan antriannya dan mengejar wanita itu hingga sebelum wanita itu keluar dari coffee shop ini Arka langsung menarik lengan langsingnya itu.
“Kamu mau kemana?”
“Lepasin nggak!” pelik wanita itu, “Kalau nggak aku lempar tampan nan angkuh kamu pakai minumanku!”
“Aku nggak akan lepasin kamu!” tegas Arka, “Sebelum kamu jelasin aku.”
“Apa?!” nampak Eliza mulai habis kesabaranya, “Apa lagi yang harus di jelasin? Semua udah jelas kan? Kita udah putus dan kita nggak ada hubungan apa-apa!”
“Aku nggak mau putus dari kamu!” Arka semakin kuat menarik lengan Eliza, “Aku cinta sama kamu, Liz. Apa si yang kurang dari aku?!”
“Arka, lepasin!” erang Eliza, “Tapi kamu selalu menduakan aku apa itu yang namanya cinta? Aku menyesal pernah mencintaimu, Playboy kampungan!”
“Tapi, aku nggak per—”
“Dengar!” tuas Eliza, “Jangan pernah kamu ganggu-ganggu lagi hidupku sebentar lagi aku menikah! Dan kamu jangan ganggu-ganggu aku lagi!”
Mendengar penuturan Eliza seketika lutut Arka serasa lunglai tak bertulang. Apa? menikah? Wanita yang begitu ia cintai kini akan berdampingan dengan pria lain dan bukan denganya?
“Liz,” panggil seseorang. Arka mendongak kearah kedatangan suara itu sosok Fandy, sahabatnya itu sudah berdiri di hadapan mereka berdua. buru-buru Eliza menghampiri Fandy dan langsung bergelaut manja dengannya sedangkan Fandy nampak seperti orang salah tingkah saat ini.
“Sayang, kok kamu lama banget si jemput akunya?” rengek Eliza, “Kamu tahu nggak si aku sampai kehausan nungguin kamu.”
“M-m-m-m-maaf, Liz.”
Emosi pun langsung menghampiri Arka, satu pukulan keras menghantam pipi Fandy secara membabi buta. Ia langsung tersungkur di atas lantai karena membentur kaca pembatas coffee shop ini. Mendadak suasana coffee shop ini menjadi ricuh tak terkendali. Fandy benar-benar benar tak melawan sama sekali toh jika ia di posisi Arka ia akan melakukan hal yang sama dengan Arka.
“b******k LO!” maki Arka, “GUE PIKIR LO SAHABAT TERBAIK GUE TAPI NYATANYA? BULLSHIT!” Dan Arka berlalu meninggalkan Fandy yang tersungur tak berdaya. Pikirannya mulai kacau entah kemana.
******