2

1429 Words
Mary meringis pelan saat air hangat membasahi tubuhnya yang telanjang. Seluruh tubuhnya terasa sakit bahkan ketika ia mencoba untuk tetap diam di bawah guyuran air. Ia mendapatkan luka baru lagi hari ini. Melengkapi luka lain yang bahkan belum kering. Beberapa guratan merah di punggung dan bagian bawah payudaranya akibat sabetan cambuk milik Gideon yang diakukan pria itu tadi malam. Dulu, berhubungan seks bagi Mary adalah tentang kepuasan antar pasangan dan memenuhi keinginan mereka masing-masing. Ia memang jarang menjalin sebuah hubungan yang mengikat dan dalam jangka waktu lama, tetapi ketika ia setuju untuk berhubungan seks dengan seorang pria, maka yang terjadi adalah kesenangan antar kedua belah pihak. Mereka akan saling memuaskan seperti yang sudah seharusnya terjadi antara dua orang yang saling berhubungan seks. Namun, lagi-lagi ia tekankan, itu dulu. Jauh sebelum ia bertemu lagi dengan Gideon dan menjadi istri pria itu. Istri? Mary mendengkus dengan pemikirannya. Tidak, ia bukanlah seorang istri. Jauh lebih tepat jika menyebutnya sebagai seorang b***k. b***k dalam segalanya. Seks, melayani kebutuhan, mengurus rumah, dan semua hal lain yang Gideon perintahkan untuknya. Dan semua perintah itu tidak pernah berarti baik. Selalu buruk. Sangat buruk. Ketika malam pertama para pengantin baru biasanya diisi dengan sesuatu yang intim dan romantis, hal itu tidak pernah terjadi pada mereka. Oh, memang ada kegiatan menyatukan milik mereka, tetapi itu terjadi dengan cara yang tidak pernah Mary bayangkan sebelumnya. Satu yang tidak pernah Mary ketahui dari Gideon adalah bahwa pria itu ternyata seorang masokis. Awalnya Mary pikir, ketika Gideon mendekat dan mulai membelainya, itu akan berakhir seperti yang ada dalam bayangan Mary. Namun, pria itu menyentak gaunnya dengan kasar. Merobek baju pengantinnya dengan sangat brutal. Dan yang lebih mengerikan, Gideon mulai menamparnya berkali-kali tanpa ampun. Tidak cukup dengan tamparan, kaki Gideon ikut bergerak dan menghantam perut Mary dalam sebuah tendangan yang keras. Mary jatuh tersungkur, menangis, dan berteriak meminta penjelasan Gideon tentang apa yang terjadi. Bukannya berhenti, pria itu malah semakin ganas menendangnya. Di perutnya, menginjak punggungnya, menarik rambutnya dengan kasar dan membenturkan kepala Mary ke dinding. Saat darah mengucur, kepala Mary mulai pening, dan ia hampir tidak sadarkan diri, Gideon mengangkat tubuhnya ke atas kasur. Pria itu melucuti pakaiannya sendiri, sebelum kemudian menyatukan mereka dengan kasar. Mary terisak, memohon dengan lirih agar Gideon berhenti. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Terlebih bagian kewanitaannya, karena perbuatan Gideon yang memaksanya berhubungan. Namun Gideon tidak mau berhenti. Pria itu hanya berhenti untuk kembali menyiksanya dan kembali memuaskan nafsunya hingga Gideon puas dan jatuh tertidur. Dan itu baru yang pertama. Hari-hari berikutnya menjadi lebih buruk lagi untuk Mary. Tidak hanya siksaan fisik, Gideon juga mengancam akan menyakiti keluarganya dan menghancurkan bisnis ayahnya jika ia memberi tahu siapapun tentang apa yang terjadi. Setelah mereka menikah, Dad memang menyerahkan semua urusan perusahaan mereka pada Gideon. Dan terbukti, Gideon mampu membalikkan keadaan yang hampir bangkrut menjadi lebih jaya lagi daripada sebelumnya. Mereka bahkan bisa membuka dua cabang toko lagi di luar Seattle dan Kanada. Karena itulah Mary memilih untuk tetap diam. Demi orang-orang yang disayanginya, Mary bertahan menyembunyikan rasa sakitnya sendiri. Ia hanya perlu pura-pura tersenyum setiap kali bertemu orangtuanya. Ia hanya perlu pura-pura ceria saat Zoe dan Sue meneleponnya. Dan ia hanya perlu berkata dirinya bahagia dengan Gideon setiap ada yang bertanya padanya. Semudah itu. Tidak akan ada yang tahu apa yang dialaminya di sini. Di rumah besar mereka yang hanya ditinggali berdua. Selesai mandi, Mary mengambil jubah mandinya dan kembali meringis saat kain itu menggores bekas luka di punggung dan bahunya. Seharusnya Mary mengobati lukanya, tetapi hari sudah terlalu siang. Ia ketiduran lagi setelah Gideon berangkat ke kantor. Gideon tidak pernah memberinya istirahat yang cukup setiap malam sehingga Mary selalu terbangun dalam keadaan lelah. Lelah secara fisik dan psikis. Seandainya… Mary menggelengkan kepala, menyingkirkan apapun yang bahkan belum ia pikirkan. Tidak ada seandainya. Selamanya ia sudah terjebak dalam mimpi buruk ini dan tidak akan bisa lari lagi. Bahkan meskipun kini Dad sudah meninggal. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk melepaskan diri dari Gideon. Masih ada Mom yang harus dipikirkannya. Setelah memilih gaun yang paling tipis, agar tidak terlalu menyakiti kulitnya yang memerah, Mary pergi ke dapur dan menyiapkan makan siang. Setelah menikah, Gideon membeli rumah besar yang jauh dari pusat kota Seattle. Lingkungan yang dipilih pun termasuk lingkungan tenang yang banyak dihuni pasangan lanjut usia. Awalnya Mary pikir itu agar mereka bisa hidup dengan tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota besar. Namun sekali lagi ia salah. Gideon pasti memilih tempat itu agar tidak ada yang bisa menolongnya ketika mendengar Mary berteriak minta tolong. Itu memang benar. Berkali-kali ia menjerit meminta tolong saat Gideon mulai memukulinya, dan tidak ada tetangga yang datang. Apalagi petugas keamanan. Apa mereka tidak pernah mendengarnya menjerit? Hingga akhirnya Mary berhenti meminta tolong. Memang tidak akan ada yang bisa menolongnya. Sudah takdirnya untuk menjalani kehidupan yang penuh siksaan ini. Mary mengeluarkan daging dari lemari pendingin sebelum menyiapkan bahan lain untuk membuat steik. Siapa yang makan siang dengan steik? Tentu saja hanya Gideon. Pria itu adalah penikmat makanan enak dan berkualitas. Tidak peduli pagi, siang, atau malam, apapun yang ingin ia makan, harus dimakannya. Sudah ada jadwal apa yang harus ia makan setiap hari di dinding dapur mereka. Mary harus memasak sesuai apa yang Gideon tulis. Tubuh Mary sedikit terlonjak diikuti detak jantung yang semakin meningkat saat ia mendengar pintu depan dibuka, kemudian dibanting dengan keras. Sampai detik ini, Mary masih tidak mengerti kenapa Gideon selalu pulang saat makan siang meskipun rumah mereka cukup jauh dari kantor. Mungkin memang pria itu sengaja ingin mengawasinya. Tubuh besar Gideon masuk ke ruang makan di mana Mary baru saja meletakkan piring berisi steik-nya. Tubuhnya gemetar saat melihat mata biru itu menatapnya tajam. Tidak hanya saat berhubungan seks, di lain kesempatan pun, Gideon sering memukulnya. Entah karena ia menjatuhkan sesuatu, atau ketika pria itu mendapati ada debu di atas meja. Selalu ada alasan untuk membuat Gideon naik pitam dan memukulinya. Gideon sampai di depan meja makan, matanya melirik steik yang disajikan Mary lalu rahangnya mengetat pertanda kemarahan yang timbul dari dalam dirinya. “Steik di hari Kamis? Apa kau tidak bisa membaca, Bodoh???” bentak Gideon dengan suara menggelegar hingga Mary mundur satu langkah dengan tubuh gemetar. Kamis? Apa ini bukan hari Rabu? Gideon mendekat kemudian tangannya meraih kepala Mary dan menarik rambutnya dengan kasar. Mary menjerit kesakitan. Dua hari lalu, Gideon memukulnya di kepala hingga menimbulkan luka. Sampai saat ini, luka itu masih berdenyut nyeri. Terlebih saat Gideon menariknya seperti ini. Pria itu menyeret Mary ke dapur. Berhenti tepat di depan daftar makanan yang Gideon tempel. “Lihat ini, Bodoh! Sekarang hari Kamis! Seharusnya kau membuat Quesadilla hari ini!” Setelah mengatakan itu, Gideon menarik kepala Mary dan membenturkannya ke dinding itu berkali-kali hingga ia menjerit kesakitan. Namun jeritan kesakitannya tidak membuat Gideon berhenti. Mary mencoba mengatakan jika ia lupa hari, tetapi Gideon tidak memberinya kesempatan. Setelah puas membenturkan kepala Mary, Gideon mendorongnya ke lantai dan menendang perutnya dengan kuat. Air mata Mary mengalir. Ia menangis tanpa suara. Tidak bisa lagi menjerit kesakitan ataupun meminta tolong. Dosa apa yang pernah dilakukannya hingga harus menerima perlakuan sekejam ini? “Bangun, Bodoh! Tidak usah merengek. Siapkan pakaianku. Aku harus ke Kanada sore ini,” kata Gideon kasar sambil kembali menendang tubuh Mary. Meskipun masih kesakitan, hal itu membuat Mary sedikit lega. Setidaknya, jika Gideon pergi, ia bisa santai dan tenang. Atau…apa mungkin ia bisa kabur kali ini? Tetapi bagaimana dengan Mom? Apa Gideon akan menyiksa Mom jika ia pergi? Hal buruk apa yang bisa Gideon lakukan pada Mom? Pria itu tidak akan menyiksa Mom seperti yang dilakukan padanya ‘kan? Setengah melamun, Mary menyiapkan koper Gideon dan pakaian pria itu. Gideon memang sering bepergian selama dua atau tiga hari untuk urusan pekerjaannya. Biasanya, Mary akan dikurung di dalam rumah selama Gideon pergi. Semua pintu rumah akan dikunci rapat, dan Gideon membawa kunci itu bersamanya. Seluruh jendela sudah diteralis sehingga Mary tidak akan bisa keluar dari sana. “Aku akan pergi dua hari. Jangan berbuat macam-macam selama aku pergi atau ibumu akan menanggung akibat perbuatanmu.” Hanya itu yang Gideon katakan sebelum ia mengunci semua pintu dan pergi berlalu. Mary memandang steik yang sama sekali tidak tersentuh. Ia tidak memiliki selera untuk makan meskipun belum memakan apapun sejak pagi. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya dan yang paling mendominasi adalah keinginannya untuk pergi. Ia sudah tidak tahan lagi. Sudah berbulan-bulan Gideon menyiksanya. Namun, apa dia benar-benar bisa pergi dan mengabaikan keselamatan ibunya? ===== Berbeda dari dua cerita sebelum, untuk cerita ini mungkin lebih kompleks yaa.. baik masalah maupun jalan ceritanya. Jadi, buat yang kurang suka cerita model 'drama', mohon lambaikan tangan wkwk...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD