3

1519 Words
            Dahi Daniel berkerut saat membaca sebuah pesan di ponselnya. Lagi-lagi Molly. Gadis itu mengajaknya bertemu untuk makan siang. Bukan hanya makan siang kalau Daniel membaca pesannya yang bernada sangat jalang itu.           Selama beberapa saat, Daniel hanya memandangi ponselnya tanpa membalasnya. Dua sisi hatinya berperang. Sisi merah ingin ia menemui Molly dan mendapatkan sedikit kesenangan. Sisi putih mencegah niat buruknya itu. Mengingatkannya bahwa ia ingin berubah. Namun apa yang akan dilakukannya sambil menunggu waktu nanti sore? Devan sudah asyik dengan games-nya sejak tadi. Biasanya jika libur mereka memang sering menghabiskan waktu mereka untuk bermain games. Yeah, pria dan games sama seperti wanita dan shopping. Kodrat alam.           “An?”           “Hmm?” Jawab Devan tanpa menoleh dari layar televisi.           “Ayo kita makan di luar.”           “Bukannya nanti sore kita makan besar di rumah Dave?”           Daniel memutar bola mata. Dari mereka berempat, Devan yang paling bisa menahan lapar. Pria itu malah bisa dikatakan sangat susah makan.           “Kita belum sarapan. Kau tidak punya apa-apa untuk di makan,” Daniel menggerutu. Ia selalu bangun tidur dalam keadaan lapar, dan saat pergi ke dapur milik Devan, ia tidak menemukan apapun yang bisa di makan. Hanya berkaleng-kaleng minuman bersoda, air putih, dan beberapa karton s**u. Bagaimana Devan bisa bertahan hidup dengan itu semua?           “Aku keluar. Kau mau apa?”           Devan menggeleng tanpa menoleh. Daniel berdecak dan bangkit dari duduknya. Ia meraih ponsel dan mengetikkan balasan untuk Molly. Walaupun tidak ingin bersama Molly, tetapi Daniel tidak suka makan sendirian. Apalagi di hari libur seperti ini. Restoran pasti penuh oleh para keluarga atau sepasang kekasih.           Tiga puluh menit kemudian, Daniel sampai restoran milik ayah Dave. Begitu Daniel setuju untuk bertemu, Molly langsung menentukan tujuannya. Gadis itu sangat suka makanan di restoran ini. Tidak banyak restoran yang menyajikan menu Skotlandia di kota ini.           “Daniel!” Molly melambai dengan riang dan bangkit dari duduknya. Gadis itu berlari kecil dan memeluknya.           Daniel melepas pelukannya dengan canggung. “Ini tempat umum, Molly. Jaga manner-mu.”           Molly terkikik dan meraih tangannya menuju meja tempatnya tadi duduk. Dari sekian banyak gadis yang 'berhubungan' dengannya, bisa dibilang Molly adalah yang paling beruntung. Daniel memutuskan untuk 'mempertahankannya'. Walau tetap saja Daniel mempertahankannya hanya untuk kepuasan seksual. Tidak lebih dan tidak akan pernah lebih.           “Dan, aku harus ke kamar kecil. Pesankan aku seperti biasa ya?” Molly bangkit dan berlari kecil ke kamar mandi.           Daniel tersenyum pelan dan memanggil pelayan. Matanya menyusuri buku menu, mencari apa yang ingin dimakannya siang ini.           “Selamat siang, Anda mau memesan apa, Sir?”           Daniel tertegun mendengar suara riang itu. Ia mendongak dan mendapati seorang gadis yang sangat cantik berdiri di hadapannya. Rambut gadis itu tergerai dan tampak sangat halus. Matanya bersinar bagai mentari pagi. Dan senyum yang terukir dari bibirnya, membuat Daniel ingin meraih ponsel dan mengabadikan senyum itu.           Mata Daniel turun ke d**a gadis itu yang sangat seksi. Bukan tipikal p******a yang besar dan penuh seperti milik Molly, tetapi p******a mungil yang pasti sangat pas di tangannya.           Selama Daniel ke sini, ia belum pernah menemukan pegawai ini. Gadis ini pastilah pegawai baru.           “Boleh aku minta nomor ponselmu, Nona?”           Sesaat gadis itu menatapnya heran, tetapi tidak lama ia melotot marah pada Daniel. “Kurasa menu itu tidak ada dalam daftar!” Jawabnya seraya menatap Daniel dengan tidak suka.           Daniel terkekeh. “Ini menu baru. Dan aku ingin nomor ponselmu sekarang juga.”           “Lalu kau akan mengajakku bercinta? Mimpi saja kau, Sir!” Gadis cantik itu berderap meninggalkannya dengan marah.           Daniel kembali terkekeh sendiri. Tidak ada gadis yang pernah menolaknya. Dan penolakan ini hanya membuatnya semakin penasaran. Oh, ia adalah seorang pria pemburu. Mangsa yang jual mahal seperti itu hanya akan semakin membangkitkan minatnya.           “Kau sudah memesan?” Tiba-tiba Molly muncul.           “Hmm... ah, belum! Aku akan memesan sekarang.” Daniel bangkit dari duduknya.           “Hei, sejak kapan pembeli harus memesan sendiri?”           Daniel menoleh dan tersenyum tanpa menjawab apa-apa. Ia melangkah ke sudut restoran. Di dekat dapur, ada sebuah mini bar. Biasanya Daniel lebih suka duduk di sini jika sedang berkunjung kemari.           “Hai, Sir! Yang biasa?” Tanya Aldo saat Daniel duduk di depan bar.           Restoran keluarga Cromwell ini menyediakan bermacam-macam wine kualitas premium. Semua diimpor dari Negara-negara penghasil anggur terbaik di dunia.           Daniel menggeleng. “Aku ingin bertanya tentang karyawan barumu.”           Alis Aldo berkerut. “Karyawan baru?”           “Gadis yang ...”           “Aldo, aku pulang ya!”           Daniel menoleh dan mendapati si cantik itu berdiri di belakangnya. Mata gadis itu melotot padanya.           “Kau lagi!” Bentaknya marah.           Daniel terkekeh. “Ya aku lagi. Mau kutraktir minum?” Daniel mengulurkan sebotol wine padanya.           Si cantik mendelik. “Aku juga bisa membelinya sendiri!” Lalu gadis itu menoleh pada Aldo, “aku pulang, Al! Bisa muntah aku lama-lama di sini dengan playboy seperti dia!”           Daniel terbahak melihat gadis itu berderap pergi. “Aldo, pesankan Cullen Skink untuk Molly. Bilang padanya, aku ada urusan!” Daniel bergegas mengikuti gadis itu pergi. Gadis seperti itu lebih menantang untuk ditaklukan daripada gadis seperti Molly.           Daniel berlari keluar di mana tadi ia melihat gadis itu melangkah. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari si cantik itu. Ke mana perginya ia? Kenapa cepat sekali? Jika gadis itu berjalan kaki, seharusnya ia masih terlihat. Mungkin ia bisa mencarinya di sepanjang jalan, tidak mungkin si cantik itu menghilang secepat itu. Daniel baru akan melangkah ke mobilnya saat suara klakson memaksanya untuk minggir.           Sebuah mobil sport melintas di hadapannya dengan si cantik di belakang kemudi yang tersenyum sinis pada Daniel. Sial! Siapa sebenarnya gadis itu? ~~~~           Diva tertawa puas melihat wajah kaget playboy m***m itu. Apa si b******k itu mengira dirinya gadis murahan yang bisa dibeli hanya dengan wajah tampannya? Pria itu salah besar!           Ia sudah menemukan berbagai jenis pria di London. Dari yang paling kuno sampai yang paling ba****an, ia sudah bisa membedakannya. Dan pria itu masuk kategori amat sangat ba****an. Seorang pria yang tidak segan-segan untuk mengajak tidur wanita yang baru saja dijumpainya. Diva menghela napas panjang. Tidak di sini, tidak di London, pria sama saja. Apa para pria tidak bisa melihat wanita bukan dari tubuhnya?           Diva mengarahkan mobilnya ke arah kawasan tempat kos Abigail, sahabatnya. Ia baru kemarin pulang dari London. Dua hal yang begitu diinginkannya hanyalah mengunjungi restoran dan Abby. Diva memarkirkan mobilnya di depan tempat kos Abby yang kecil. Sejenak, ia menatap bangunan itu dengan sedih. Abby sahabatnya, satu-satunya yang dimilikinya, dan kini gadis itu hidup sendirian dalam keadaan miskin. Gadis itu selalu menolak bantuan dari keluarganya.           Sambil menghela napas lelah, Diva keluar dari mobil. Senyum terkembang dari bibirnya saat ia tiba di hadapan kamar kos Abby. Gadis itu pasti akan terkejut. Diva mengetuk pelan pintu itu. Satu kali, dua kali, tidak juga Abby membukakan pintu untuknya. Di mana Abby?           Seorang wanita gemuk menghampirinya ketika ia hendak mengetuk lagi. “Non, cari siapa?”           Diva melepas kacamata hitamnya dan menoleh. “Abigail ada, Bu?”           “Dia sudah pindah kemarin.”           Mata Diva membelalak. “Pindah? Pindah ke mana, Bu?”           Wanita itu mengangkat bahu. “Saya juga tidak tahu.”           Diva kembali menatap pintu kos itu setelah ibu-ibu tersebut pergi. Sejak kemarin, Abby tidak bisa dihubungi, karena itulah ia memutuskan datang kemari. Ia sudah sangat merindukan Abby. Diva kembali ke mobilnya dan meninggalkan tempat itu. Ia harus bisa segera menemukan Abby. Harus. .....           “Pokoknya aku tidak mau tahu! Kakak cari Abby sampai ketemu!!”           Dave, kakaknya, menoleh dengan heran saat tiba-tiba ia masuk ke rumah dan berteriak.           “Ada apa, little baby? Abby kenapa?”           “Ia hilang!”             “Apa??” Teriak Dave, dan orang tuanya bersamaan. Bagi mereka, Abby adalah si bungsu di rumah ini. Mereka semua sangat menyayanginya.           “Aku ke tempat kosnya hari ini dan dia tidak ada di sana!” Diva duduk di sebelah Mama dan memeluk wanita itu. Jangan tanya bagaimana sedihnya Diva. Abby adalah sebagian hidupnya.           “Kau tidak menemukan orang untuk ditanyai?” Dave bertanya.           “Ibu kosnya bilang ia pindah kemarin.”           “Ponselnya?”           “Tidak bisa dihubungi sejak tiga hari lalu.”           Dave berdecak dan bangkit dari duduknya. Setelah meraih ponsel dari meja kopi di hadapannya, Dave menghubungi orangnya untuk mencari Abby.           “Kau tidurlah dulu, baru sampai tadi malam sudah main terus.” Mama mengusap rambut Diva dengan sayang.           “Saat aku bangun sudah harus ada berita tentang Abby! Aku tidak mau tahu!” Diva bangkit dari duduknya dan melotot pada Dave.           Jujur saja, ia takut Abby menghilang lagi. Gadis itu sangat sering berpindah-pindah kos selama ini. Ponselnya juga sering tidak aktif. Diva hanya takut terjadi apa-apa dengannya.           Diva bangun dua jam kemudian dan bergegas mengecek ponselnya. Senyum terbit di bibirnya saat melihat Dave sudah mendapatkan alamat kos baru Abby. Kakaknya memang luar biasa! Diva turun dari tempat tidurnya dan bergegas mandi. Ia ingin cepat-cepat turun untuk memeluk kakaknya dan berterima kasih. Oh, dan makan tentu saja. Ia kelaparan!           “Mamaaa, aku lapaaar!!” Teriaknya seraya menuruni tangga. Langkahnya terhenti saat melihat ruang keluarga yang ramai. Ada tiga orang pria asing yang tidak dikenalnya. Dan saat mereka menoleh, Diva terkesiap melihat salah satu dari mereka. Sial, playboy cap Jack Daniels ada di sana!                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD