3. How he fools her

1522 Words
Rama hampir saja melompat kegirangan namun tentu saja akan memalukan jika dia benar-benar melakukannya. Jadi dia hanya memamerkan senyuman malaikatnya dan menyentuh lengan Dea. "Keputusan yang bagus. Tora, lo dengar itu, kan? Siniin pulpennya!" Tora yang sejak tadi berdiam diri layaknya penonton bisu bergerak sesuai perintah Rama. Dia memberikan atasannya itu pena yang diminta. Tora tetap diam meskipun banyak sekali pertanyaan yang ingin dia lontarkan pada Rama. Dan saat garis terakhir dari tanda tangan Dea tergores diatas kertas bermaterai, Tora hanya menggelengkan kepalanya saat melihat seringai muncul dari bibir atasannya. Tora yakin sejak tadi ada yang Rama rencanakan dan melihat seringaian itu, nampaknya rencana Rama berhasil. "Nah Deani Putri, karena lo udah tanda tangan, jadi lo harus tetep nikah sama gue, bahkan setelah lo denger omongan gue setelah ini. Lo bakal didenda kalo ngelanggar karena lo udah tanda tangan di dalemnya." ucapan Rama membuat Dea menatapnya dengan tatapan tidak mengerti. Bukankah tadi Rama sudah menjelaskan, lagipula kenapa Rama berfikir Dea akan melanggar perjanjiannya? "Gue serius soal seperempat bagian dan hak-hak lo sebagai istri gue nanti. Tapi gue bohong soal 'membina keluarga' sama lo. Maksud gue, gue gak pernah bener-bener serius sama satu cewek. Tapi lo bakal beda sama cewek lainnya karena lo bakalan jadi istri gue. Istri dalam mata agama dan negara, tapi lo gak bisa bertingkah seolah lo emang istri gue beneran." Dea semakin mengernyit. Dia tidak paham kemana arah pembicaraan Rama. "Maksud lo—" "Maksud gue, pernikahan kita ini cuma sebuah status. Gue ulangin, status. Gue bisa bebas kencan bahkan pacaran sama cewek manapun yang gue pengen tanpa harus minta izin lo, gue juga gak bakal nyampurin urusan lo." Dea sukses dibuat terkena serangan jantung oleh kata-kata Rama barusan. Jadi, dirinya baru saja dijebak kedalam sebuah pernikahan status. Jadi, khayalannya menjadi seorang istri itu hanyalah sebatas khayalan yang tidak mungkin menjadi nyata. Dea mengutuk dirinya, sejak tadi dia sudah berfirasat buruk tentang ini tetapi dia tetap mempercayai Rama. Sial, sial, sial! "Lo—" "Kenapa tampang lo merah gitu, De? Ahhh jangan bilang lo ngarep gue pengen nikahin lo karna gue suka sama lo. Hahaha, jangan baper, kan udah gue bilang lo itu bukan tipe gue." "Apa—" Rama menghentikan tawanya lalu berdiri dari duduknya dan kembali mencolek dagu Dea dengan tatapan menggoda. "Tapi, meskipun kita nikah cuma untuk status, gue bersedia kok kalo lo mau ngelakuin kewajiban suami-istri sama gue. Kayak yang gue bilang, gue ahli loh di ranjang." Dea menepis tangan Rama dan menatapnya dengan tatapan siap melahap kapan saja. Tangannya mengayun siap memukul Rama namun Rama dengan sigap menangkapnya. "b******k LO! KENAPA LO GINIIN GUE? APA SALAH GUE SAMA LO HAH?" teriak Dea tidak terima. Rama tersenyum setan. "Pertama, ini sedikit hukuman buat lo karena lo udah mempersulit jalan gue buat dapetin harta warisangue. Kedua, gue ini emang suka permainan. Anggap saja ini semua cuma permainan. Let's see how this game come to an end. Me as a winner or you..." Rama berhenti sejenak dan mendekatkan wajahnya ke arah Dea lalu berbisik, "as a loser." Dea merasakan dirinya baru saja dilempari bom atom. Bagaimana bisa kehidupan pernikahannya yang bahkan belum dimulai itu menjadi sebuah permainan? "b******k! Lo kira gue mau jadi boneka mainan lo hah?" Rama terkekeh. "Aduh, Dea sayang. Lo itu butuh harta ini juga sama kayak gue, so don't be a hypocrite. Jadi kenapa kita gak saling bantu untuk dapetin itu?" ucapan Rama menohok Dea. Benar juga, dia membutuhkannya. Dea menggertakan giginya. Egonya semakin digores. "Lo kira gue mau ngehabisin hidup gue Cuma buat pernikahan mainan ini?" Rama mengangguk-angguk sok diplomatis. "Terus, mau lo gimana?" tanya Rama. Dea tampak berfikir. "Gue gak akan selamanya nikah sama lo! Kita bakal cerai setelah gue mengembalikan kehidupan keluarga gue seperti sedia kala." "Lo kira gue gila? Itu bisa ngerusak nama baik gue di mata publik!" "Lo emang gak pantes untuk sebuah nama baik! Bahkan lo dan kata baik gak bisa dijadiin dalam satu kalimat!" seru Dea geram. Rama mendengus. "Fine, tiga tahun. Setelah tiga tahun kita bakal cerai," tawar Rama. "Gak. Enam bulan!" "Setahun!" putus Rama final. Tidak menyangka Dea sama keras kepalanya dengan dirinya. Dea terlihat berfikir dan akhirnya dia mengangguk. "Oke, satu tahun." Tora sudah akan angkat bicara namun Rama cepat-cepat mengangkat tangannya untuk menyuruhnya diam. "Tora, pernikahan bakal diadain lusa. Siapin semuanya, gue pengen pernikahan ini meriah. Lo tau kan se-Indonesia harus tau kalau ini adalah pernikahannya Rama dari keluarga Baskoro." Tora mengangguk mengerti, sedangkan Dea ingin muntah mendengar kalimat super sombong dari mulut Rama itu dan Rama hanya tertawa licik. Setelah itu Rama berdiri dan berjalan ke pintu diikuti dengan Tora dibelakangnya. Namun Rama berhenti saat sudah berada selangkah didepan pintu. Dan dia memastikan Dea mendengar suaranya. "Tora, kunci pintu ini sampe hari pernikahannya, gue gak mau nanggung resiko mempelai gue kabur." Dea terbelalak dibuatnya dan dengan refleks cepat Dea berlari menuju pintu namun sialnya Tora sudah menutupnya dan memutar kuncinya. Terdengar gedoran dari dalam kamar hasil perbuatan Dea. "WOY RAMA! LO BENER-BENER b******k! KELUARIN GUE b*****t!!!" Rama ingin tertawa mendengar sumpah serapah mulai mengalun dari mulut Dea seperti lirik rap disertai musik yang berasal dari gedoran pintu yang terdengar brutal. Sebenarnya Rama juga tau dia tidak perlu melakukan ini, tetapi entah kenapa sejak melihat Dea pertama kali tadi ada bagian dalam diri Rama yang selalu ingin mengerjai Dea. Iya, aksi pengurungan Dea ini sebenarnya hanya salah satu ide Rama untuk mengerjai Dea, toh Rama yakin Dea juga tidak akan bisa kabur meskipun semua pintu dan jendela di rumah ini dibiarkan terbuka. Rama terkekeh sendiri. Melihat cewek itu meledak-ledak dalam emosi seperti saat ini memberikan kebahagiaan dalam dirinya. Entahlah, mungkin dia memang senang melihat Dea menjadi boneka mainannya. "Ram, bukannya persyaratan dalam surat wasiat itu isinya, pernikahan kalian harus berlangsung seumur hidup? Kalo kalian bercerai ditengah-tengah, semua harta kalian akan menjadi hak yayasan sosial keluarga Baskoro." Rama menghentikan tawanya. "Taulah gue, gue tuh emang gak berencana buat cerai sama dia kok." Tora mengernyit. "Maksud lo? Lo bohongin dia soal pernikahan status?" "Enggaklah, Tor, lo kenal gue dari kita sama-sama bocah. Kapan sih gue bisa hidup sama satu cewek aja? Ya lagian buat gue nikah itu emang Cuma status kok. Di keluarga gue pernikahan status udah mainstream. Mereka tetep jadi suami istri tapi bebas mau ngapain aja asalkan gak ketauan publik. Bahkan Papi sama Mami juga gitu." Tora menghela nafas. "Ya itu kan sebelum tuan dan nyonya besar akhirnya saling jatuh cinta." Rama terkekeh. "Nah itu itu doang bedanya. Gue tuh Cuma bisa jatuh cinta sama cewek-cewek seksi dan cantik. Kalo ngeliat si Dea, frustasi gue yang ada, udah kurus, rata lagi." Tora tidak berkomentar dan hanya mendengarkan atasan sekaligus sahabatnya itu menghina calon istrinya sendiri. Suara gedoran masih terdengar dari dalam kamar Dea, dan Tora hanya bisa mendengarkannya dengan prihatin. Dia sudah terlalu tau bagaimana sifat Rama itu yang memang sering sesukanya. "Oh iya, Sharon nelfon satu jam yang lalu, katanya nanti malam dia bakal dateng kesini." Lapor Tora sambil melangkah bersama Rama. Rama refleks melirik Franck Muller Aetarnitas Mega 4 di tangannya lalu menggelengkan kepala tidak habis pikir. "Cewek itu benaer-bener deh. Gue udah bilang hubungan kita gak bakal lanjut lagi, masih aja ngotot. Bilang sama dia gue udah mau nikah, kali aja dia baru nyerah." Tora hanya mengangguk sebagai jawaban. Dalam hati tidak yakin, karena Tora tau bagaimana sifat mantan pacar bosnya tersebut. "Yaudah, sekarang lo cari Wedding Organizer yang paling bagus dan mahal buat pernikahan gue sama Dea!" "Jadi lo mau pernikahan lo yang bagus dan mahal apa wedding organizernya yang bagus dan mahal?” tanya Tora, polos. Saking polosnya Rama hampir saja memukul jidat asisten yang juga sahabatnya sedari kecil tersebut. “Dua-duanya!” Tora mengangguk, tidak menyadari ekspresi gregetan Rama. “Ok.” Di dalam kamar, Dea memilih berhenti menggedor saat dia sama sekali tidak direspon. Tangannya sudah sakit karena terus-terusan menggedor dan berteriak. Entah sudah berapa banyak kata-kata kotor keluar dari mulutnya untuk menyumpahi Rama. Dia menyesal sempat terpana dengan wajah bagai malaikat milik Rama. Dia sudah jelas-jelas tertipu, cowok itu bukanlah dewa yunani tampan atau malaikat dari surga melainkan seorang setan dari neraka. Dan Dea tidak bisa membayangkan setahun menghabiskan waktunya menjadi istri seorang iblis. *** Rama tidak mengerti kenapa dia justru memilih jalan ekstrim untuk menikahi Dea. Padahal akan lebih mudah menyuruh cewek itu menandatangani surat peralihan warisan dan membagi sedikit kompensasi untuknya. Tetapi dia justru memilih menikahi cewek yang sama sekali tidak menarik dimatanya. Menurutnya. Rama selama ini tidak pernah berfikir untuk menikah. Dia fikir dia bisa bersenang-senang dengan cewek manapun yang dia mau tanpa harus berkomitmen. Kenapa dia harus membuang waktu dengan mengikat diri dengan satu cewek saat dia bisa bersenang-senang dengan banyak cewek? Apalagi Rama adalah tipe yang mudah bosan dan mudah jatuh cinta. Dia tidak bohong jika mengumbar kata cinta pada banyak cewek, karena menurutnya dia memang mencintai cewek-cewek yang dikencaninya. Jadi, menikahi Dea sama sekali tidak pernah masuk ke dalam daftar hal yang akan dilakukannya semasa hidup milik Rama. Tetapi Rama tidak tau, pilihannya untuk menikah dengan Dea justru akan membawanya ke kehidupan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Seharusnya Rama waspada, karena Dea tidak sesederhana pemikirannya. Baik Rama dan Dea sama-sama tidak tau, kalau kini mereka sudah bertemu dengan iblis sebenarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD