2. Unexpected Proposal

1447 Words
Mata Dea terarah pada kertas yang kini terpampang diwajahnya. Matanya membulat membaca isi surat tersebut terlebih lagi ketika membaca persyaratan yang diajukan dalam surat tersebut. "Lo—lo gila? Nikah sama lo? Yang bener saja!" protes Dea. Awal Rama mengetahui persyaratan tersebut reaksinya juga sama persis seperti reaksi Dea saat ini. Namun saat itu dia berfikir jika Dea pasti akan langsung bersedia menikah dengannya demi mendapatkan harta berlimpah yang tertera dalam surat tersebut, karena dia kira Dea adalah cewek penggoda yang berhasil menggoda kakeknya sehingga sang kakek menuliskan namanya dalam surat warisan tersebut. Namun Rama sempat heran kenapa sang kakek justru memerintahkan Rama menikahi kekasihnya. Tetapi saat dia bertemu Dea dan mencoba tebar pesona dengan cewek itu, Dea hanya tergoda sesaat saja. Mungkin Dea langsung ilfeel padanya karena dia langsung menunjukkan sifat aslinya pada cewek itu, berbeda dengan Rama yang biasanya menunjukkan sifat cowok baik-baik saat sedang mengincar perempuan lain. Tetapi satu hal lagi yang lebih mengejutkan Rama, cewek itu tidak tergiur dengan harta yang ditawarkan. Dan itu justru membuatnya ingin melaksanakan surat wasiat itu. "Kakek lo pasti gak waras! Kenapa dia nulis nama gue di dalem surat warisan keluarganya?" tanya Dea dan Rama hanya mengedikkan bahu. "Gue rasa ini bukan ide buruk, gue cowok baik-baik, Dea. Nikah sama gue bikin lo punya suami sempurna serta harta berlimpah. Dan bonusnya, gue ahli kok dalam permainan ranjang," ucap Rama menggoda. Dea memutar malas bola matanya. Rama pasti bercanda. Menikah dengannya setelah tau cowok itu adalah setan bertopeng malaikat? No way! "Najis, gue bisa cari suami kaya yang lebih baik daripada lo! Lagipula gue gak kenal ya sama lo. Cowok baik-baik kata lo? Baik-baik my ass." Rama tidak habis akal dia lalu mengangguk-angguk seolah setuju dengan pendapat Dea. "Lo gak tertarik dengan apa yang bakal gue tawarin? Lo bakal gue kasih ¼ bagian dari seluruh harta dalam warisan ini, itu semua belum termasuk biaya hidup, uang belanja bulanan dan kartu kredit unlimited khusus untuk lo. Gimana?" Mata Dea seolah berbinar begitu mendengar penawaran Rama. Mengingat keluarganya kini sedang ditimpa masalah ekonomi yang mengharuskan mereka pindah dari Jakarta dan tinggal di Lombok—kampung halaman ayahnya—dan membangun bisnis penginapan, ibunya bahkan berhenti jadi guru teater demi membantu bisnis keluarga mereka di Lombok. Dea berfikir, dia bisa memberikan ¼ bagian itu untuk ayah dan ibunya agar mereka bisa kembali hidup nyaman di Jakarta tanpa harus ayah dan Ibunya kerja banting tulang di usia mereka yang sudah tidak lagi muda. Tapi—harus menikah sama dia? Rama masih menanti jawaban Dea namun cewek itu masih nampak berfikir. Sebenarnya Rama juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba ingin menikah dengan Dea. Padahal niat awalnya adalah ingin memaksa cewek itu menandatangani persetujuan pengalihan warisan tanpa perlu adanya pernikahan. Tetapi kini Rama justru menginginkan cewek itu menjadi istrinya, dia pasti sudah sinting. Bahkan mereka baru bertemu selama dua jam! "Gimana?" tanya Rama tidak sabar membuat Dea tersadar. Kening cewek itu tampak berlipat seolah dia sedang berfikir sangat keras untuk bisa menjawab tawaran Rama. "Gak. Gue gak bakal nikah sama lo! Lo ambil aja tuh semua harta itu karena gue sama sekali gak tertarik." Babe lo gak tertarik, Dea, plis ini itu rejeki nomplok De! Dea sebenarnya ingin mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia tidak tertarik? Jika dia menerimanya, dia bisa hidup nyaman lagi tanpa perlu kerja sambilan sepulang kuliah hanya untuk membayar sewa kos sederhana dekat kampusnya. Ohiya, kebetulan Dea ini tinggal di ngekos di Jakarta terpisah dari orang tuanya selama kuliah. Dea pulang ke Lombok hanya setiap liburan semester untuk membantu bisnis penginapan. Dea menatap Rama kali ini dengan tatapan heran. "Kenapa sih lo pengen banget nikah sama gue? Bukannya lebih gampang kalo lo bikin surat pernyataan peralihan warisan dan lo bisa ngusir gue pergi?" wajah Rama lalu berubah sendu. Kemudian dia mengambil posisi berjongkok didepan Dea dan tangannya menyentuh lutut cewek itu. Kepalanya tertunduk menatap karpet dibawahnya. "Ini semua bukan cuma soal warisan. Tapi Mami sama Papi gue..." Dea menatap Rama serius. Apa hubungannya dia, warisan dan kedua orang tua Rama? Rama menghela nafasnya dan melanjutkan ucapannya. "Ya, gue pengen Mami sama Papi bisa ngeliat gue nikah dan membina keluarga dari tempat mereka berada saat ini..." Dea terkejut. "Maksud lo mereka..." Rama mengangguk lemas. Dea memilih tidak melanjutkan ucapannya dan justru memandang Rama prihatin. Cowok itu pasti kesepian karena harus tinggal di rumah sebesar ini hanya bersama para pelayan. Dan dalam hati Dea masih bersyukur, meskipun keluarganya sedang bangkrut dia masih memiliki ayah dan ibu yang masih sehat. "Tapi, gimana bisa gue nikah sama lo? Kita bahkan gak saling kenal!" Rama mendongak dan menatap Dea dengan wajah serius. "Kita bisa kenalan setelah nikah." Dea mengulum bibirnya seraya berfikir. Saat ini Rama seolah tengah membuka dua pintu ke masa depannya. Satu pintu akan menuntun dia menjadi seorang istri yang diberkahi dengan harta yang cukup banyak, dia juga bisa memberikan kehidupan yang sama kepada orang tuanya sebelum ayahnya jatuh bangkrut. Pintu satunya lagi mengarahkan dia kepada masa depannya yang tidak tentu arah. Dia masih harus kerja serabutan untuk biaya hidupnya di Jakarta serta bayar hutang biaya penelitian skripsi, sedangkan ayah dan ibunya yang sudah tidak lagi muda harus bekerja keras di resort untuk membiayainya kuliah. Dea menghela nafasnya, menatap Rama sekali, lalu menarik dan menghela nafas sekali lagi. "Bisa lo buka tali ini dulu gak?" tanya Dea kini dengan nada bicara yang sedikit lebih lembut. "Kita bicara setelah lo lepasin iketan ini," pinta Dea meyakinkan. Rama lalu mengangguk dan segera melepaskan ikatan ditangan Dea. "Berapa harta warisan yang bakal jadi bagian gue?" tanya Dea setelah tali di tangannya terlepas dan dia langsung mengusap-usap bekas ikatan ditangannya yang kini memerah karena lecet. Rama mengambil posisi duduk disampingnya. "1/4 bagian jadi punya lo, sepenuhnya." Dea tampak berfikir. Sebenarnya yang dia baca di dalam surat tadi adalah harta warisan akan menjadi milik dia dan Rama jika mereka menikah yang itu berarti paling tidak dia berhak atas setengah bagian dari harta tersebut tetapi dia juga mengerti kenapa Rama tidak memberikan sesuai yang ada dalam surat wasiat mengingat dirinya hanyalah orang lain disini. Dea pun masih tidak mengerti kenapa namanya bisa tertera didalam surat wasiat tersebut dan mendapat seperempat bagian dari hari berlimpah milik keluarga Rama sudah sangat lebih dari cukup untuknya. Dea yakin bisa membelikan ayah dan ibunya rumah mewah di Jakarta serta deposito untuk keduanya hidup nyaman tanpa harus bekerja lagi. "Tenang aja, selama lo jadi istri gue, gue akan jamin semua biaya hidup lo termasuk biaya kuliah lo. Dan seperti yang gue bilang, lo bisa kembali melakukan hobi lo untuk belanja dengan kartu kredit unlimited yang bakal gue kasih." Fyi. Dea ini dulunya adalah keluarga yang lumayan berada, hobi Dea bahkan belanja barang-barang branded yang nilainya diatas enam digit. Sampai suatu insiden menimpa bisnis ayahnya, keluarga Dea jatuh bangkrut. Dari semua harta milik keluarga Dea, hanya tersisa deposito. Rumah mewah keluarga Dea di bilangan Pondok Indah terpaksa dijual untuk membayar hutang yang disebabkan kebangkrutan bisnis Ayahnya. Deposito keluarga Dea akhirnya dijadikan modal untuk membangun dan renovasi rumah peninggalan Neneknya Dea di Lombok untuk dijadikan penginapan. Karena masa studi Dea yang masih tersisa dua semester lagi, yang berarti Dea sedang dalam masa pengumpulan data untuk bahan skripsi, maka Dea tetap tinggal di Jakarta dengan cara ngekos. Dea mengernyit. "Hah, gimana lo bisa tau tentang hobi gue itu?" Rama tersenyum misterius. "Jawabannya sama gampangnya dengan gimana bisa gue ngebawa lo ke sini. Jadi Gimana? lo bersedia nikah sama gue?" "Kenapa lo ngebet banget, deh?" Rama mendengus. "Kan gue udah bilang, ini demi orang tua gue." "Juga harta warisan, iyakan?" tanya Dea lagi. Dan Rama tentu saja tidak mengelak. "Iyalah, gue berhak atas warisan ini. Ini kan emang harta keluarga gue." Dea bisa mendengar adanya penekanan pada kata keluarga yang Rama lontarkan. Benar juga, jika dia jadi Rama dia juga pasti akan melakukan hal yang sama. "Maksud gue, lo rela nikah sama cewek yang lo gak kenal ba—" "Udah gue bilang kan kita bisa kenalan setelah nikah!" kini nada bicara Rama terdengar jengkel. Dea terlalu mengulur-ulur. "Asal lo tau ya, gue gak mau ya nikah abis itu cerai nanti. Gue tuh maunya nikah sekali seumur hidup!" "Gue bahkan gak mikir sama sekali soal cerai!" kini nada Rama sedikit naik. Namun sebisa mungkin dia mengontrolnya untuk tidak terlalu tinggi karena saat ini dia masih membutuhkan kata iya dari Dea. Dea menggigit bibir bawahnya. Baiklah, anggap saja dia melakukan ini untuk berbakti kepada orang tuanya. Lagipula jika begini, dia tidak perlu repot-repot lagi mencari pasangan kaya karena saat ini orang yang lebih dari sekedar kaya sedang memintanya menjadi seorang istri. Meskipun pernikahan ini sama sekali tidak didasari dengan cinta. Bukankah cinta bisa tumbuh kapan saja? Semuanya hanya memerlukan waktu. Dan bonusnya, Rama itu ganteng. Lumayan kan buat dipamerin ke orang-orang 'ini loh suami gue'. "Yaudah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD