1. Meet the Devil

1608 Words
Dea harus pasrah saat dirinya diseret paksa oleh dua dari lima pria berbadan besar yang tiba-tiba menghadang jalannya dan menculiknya ke tempatnya kini. Dea tidak tau pasti dimana tempatnya karena matanya tertutup kain hitam dan mulutnya dibungkam lakban. Percuma jika dia berontak karena tenaganya tidak seberapa dengan dua pria berbadan besar yang sedang memegang tangan kiri dan kanannya saat ini. Dea merasakan tubuhnya didorong dan dia sudah pasrah jika tubuhnya jatuh ke lantai, namun yang dia rasakan justru sebuah kasur empuk yang menopang tubuhnya. Bahkan saking empuk dan nyamannya kasur tersebut, Dea jadi enggan bangun dari sana, namun saat seseorang menarik lepas lakban yang menutup mulutnya, Dea langsung duduk dan menjerit keras. Rasanya seperti kulitnya dicopot paksa dari dagingnya. "Woy, anjing! b******k! Sakit, bego!" serunya merasakan perih masih mendominasi bibir dan kulit sekitarnya yang disebabkan oleh lakban. Dea bergerak tidak tentu arah ingin mencoba melepaskan ikatannya namun sayangnya ikatannya terlalu keras. Mulutnya juga tidak berhenti bersumpah serapah, berbagai umpatan kasar sudah keluar dari mulutnya dan membuatnya terlihat seperti wanita liar karena ucapannya. "Mas, mbak, kakek, nenek, om, tante, adek, kakak, siapapun lo! Percuma lo atau kalian nyulik gue! Keluarga gue gak bakal mampu bayar biaya tebusan asal tau aja!" teriak Dea sambil masih berusaha melepaskan ikatan ditangannya. Dea bisa mendengar suara beberapa laki-laki berbincang, beberapa diantaranya Dea kenali sebagai suara pria-pria berbadan besar yang menculiknya, namun ada satu suara yang asing ditelinganya. Suara itu berat, namun tidak memancarkan aura menyeramkan sama sekali dan justru sebaliknya. Suara itu terdengar seperti madu yang manis. Percakapan itu tidak begitu jelas karena Dea memang tidak fokus mendengarkan dan dia masih sibuk berusaha melepaskan ikatannya. Namun percakapan itu nampaknya sudah berakhir karena suasana ruangan tempat Dea disekap sekarang mendadak sunyi. Hanya terdengar suara langkah kaki yang perlahan mendekat dan makin mendekat membuat Dea bersiap siaga, entah kenapa dirinya jadi gemetar saat samar-samar hidungnya mulai bisa mencium hugo boss dari tubuh orang yang kini sedang berjalan mendekat ke arahnya. "Si—siapa lo?! Pergi! Jangan deket-deket!" Dea berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil meskipun sebenarnya dia ketakutan setengah mati. Dia tidak ingin membiarkan seseorang itu mengetahui dirinya sedang ketakutan. Bau hugo boss itu semakin menajam bersamaan dengan tangan seseorang yang menyentuh kepalanya. Dea sudah ingin menjerit namun yang terjadi selanjutnya adalah kain hitam yang sejak tadi membutakannya terbuka dan dia kembali bisa melihat. Dea berusaha menyesuaikan cahaya yang menusuk matanya yang sudah hampir sejam lebih tertutup dengan cara mengerjapkannya beberapa kali. Dan pemandangan pertama yang Dea dapati saat matanya sudah sepenuhnya menyesuaikan diri dengan cahaya adalah dia sedang berada disebuah kamar yang mewah. Tempat tidur yang dia tempati kini adalah pusat dari kamar mewah tersebut. Kamar itu bahkan sangat luas hampir seluas ruang ruang makan resort milik keluarganya—yang merupakan ruang terluas di resort. "Jadi ini dia cewek perawan simpenannya kakek—ups apa lo masih bisa gue sebut perawan? Kakek gak mungkin ngasih hartanya ke cewek yang jelas-jelas belum pernah dia cicipin." Dea menatap cowok bersuara madu yang sejak tadi menguarkan bau hugo boss yang kini berdiri hanya sejengkal dari tempatnya dengan kernyitan di dahi. Dea ingin bertanya apa maksud ucapan cowok itu tapi sialnya, wajah cowok itu berhasil membuat Dea menelan semua makian dan pertanyaannya kembali. Kampret, ganteng abis ini cowok. "Halo Dea. Kaget, ya?" tanya cowok itu sambil berbalik dan berjalan menuju sofa. Dea tidak sadar dirinya sudah menyerah untuk meronta agar ikatannya terlepas dan kini dirinya sedang terpana menatap sosok pria yang sudah duduk sambil bersedekap diatas sofa marun yang berada di hadapan tempat tidur tempat Dea duduk sekarang. "Kok jadi diem, gak ada yang mau lo tanyain, Dea?" tanya cowk itu lagi karena Dea sama sekali tidak bersuara dan justru menatapnya. Cowok itu tersenyum miring saat melihat Dea salah tingkah karena tertangkap basah memandanginya. Dea mencoba menatap cowok itu dengan ekspresi galak seperti semula. "Siapa lo? Kenapa gue ada disini?" tanyanya galak. Cowok itu tertawa dan tawanya terdengar jahat. Cowok yang tadi terlihat seperti dewa yunani di mata Dea itu kini menjelma menjadi setan mengerikan yang menunjukkan tanduk merahnya. "Gue Rama. Pernah dengar nama Rama Baskoro sebelumnya, Dea?" Dea mengernyit, mencoba menggali ingatannya yang memang lumayan buruk dan ingatannya sama sekali tidak mengingat nama Rama ataupun Baskoro. Artis? Jelas bukan. Biarpun Dea kurang engeh dengan artis dalam negeri, tetapi untuk sekedar tau wajah dan pernah denger nama jelas saja Dea bisa. Tapi cowok ganteng di depannya sekarang ini bener-bener asing. Dea menatap sekali lagi ke arah Rama. "Mungkin lo salah orang, gue gak kenal ataupun pernah berurusan sama yang namanya Rama ataupun Baskoro!" ucap Dea yakin. Namun Rama justru tertawa lagi dan kini tawanya dilengkapi dengan nada meremehkan. "Oh ya? Kalau gitu tolong jelasin sama gue, GIMANA BISA NAMA LO ADA DI DALEM DAFTAR PEWARIS SAH HARTA WARISAN KELUARGA GUE!!!" teriakan itu begitu keras membuat Dea refleks mundur karena terkejut. Hah? Bagaimana bisa? Dea juga tidak tau bagaimana bisa. Kenapa dia harus tau? Dia bahkan tidak kenal dengan orang dengan embel-embel Basko—tunggu dulu! Dea ingat. Dia memang tidak pernah berhubungan atau bertemu dengan orang-orang berembel Baskoro sebelumnya tetapi dia tentu saja kenal dengan siapa keluarga Baskoro. Keluarga kaya yang memiliki ratusan perusahaan di berbagai bidang di Indonesia. Siapa yang gak tau keluarga Baskoro berarti mereka adalah orang yang benar-benar primitif. Tapi sumpah, dia tidak pernah kenal secara personal dengan salah satu keluarga Baskoro sebelumnya. "Gue gak tau. Kenapa gue harus tau?" Rama menatap Dea geram, dia menggebrak meja disisi kiri sofanya dan itu membuat Dea tersentak. Rama memegang pelipisnya, dia tidak habis pikir kenapa nama cewek itu bisa berada di surat warisannya dan tertera sebagai pewaris utama atas harta yang seharusnya menjadi miliknya. "Lo pasti simpenan kakek gue, iya kan?" Dea menggertakan giginya geram. "Lo budek ya? Gue aja gak pernah kenal sama keluarga lo! Lo itu adalah keluarga Baskoro pertama yang pernah gue temuin! Gimana bisa gue jadi simpenan kakek lo padahal ketemu aja gak pernah!" Rama mendengus. Wajah Dea sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda berbohong, tetapi dia masih penasaran bagaimana caranya cewek itu berada dalam surat warisannya. "Mungkin lo salah orang! Yang namanya Deani Putri bukan Cuma gue di Indonesia! Bahkan kalo lo nyari nama gue di satu RT aja, lo bisa nemuin dua sampe tiga orang dengan nama yang sama!" Rama pasti akan berfikiran seperti itu jika di dalam surat wasiat itu tidak terlampir foto Dea yang menunjukan Dea yang ada di depannya kini adalah Dea yang sama dengan yang dimaksud di surat. Rama lalu berdiri dan berjalan mendekati Dea. Tatapan mereka saling bertubrukan dan memancarkan makna yang—entahlah hanya mereka yang tau. Rama lalu menatap Dea dari dekat membuat Dea sedikit gugup. Bagaimana tidak gugup ketika dia dipandangi dari ujung kaki hingga kepala dengan cara yang—err intens? "Kalo gitu akan lebih mudah buat gue," gumam Rama sambil mengusap dagunya dengan jempolnya, berpose seolah dia berfikir keras. Dea menatapnya tidak mengerti. "Maksud lo?" tanya Dea penasaran. Dia masih tidak mengerti kenapa dirinya ada disini dan juga tidak mengerti kenapa namanya bisa berada dalam surat wasiat keluarganya Rama. Rama mengedikkan bahunya, bersikap pura-pura misterius membuat Dea semakin penasaran. Bukannya menjawab, Rama justru tersenyum miring. "Lo yakin? Lo gak pernah menggoda seorang kakek-kakek sebelumnya dengan tubuh kurus lo itu? Maksud gue, kalopun benar lo simpenan kakek, apa sih yang bikin dia sampe tergoda sama badan lo yang—astaga gak ada menariknya sama sekali. Flat." Kata-kata Rama yang lebih tepat dibilang hinaan membuat Dea menganga. Tidak hanya senyumnya yang mirip setan ternyata ucapannya juga sangat sadis! Bagaimana bisa dia mengatai seorang perempuan segamblang itu? Itu namanya menghina! "Barusan lo ngomong apa, hah?" tanya Dea seolah memastikan yang barusan didengarnya merupakan kesalahan. Entah itu kesalahan telinganya atau otaknya memproses kata-kata Rama namun cowok itu justru mencolek dagunya dengan kurang ajar. "Gue gak ngulang kata-kata yang sama untuk kedua kalinya, Dea." Dea menghempaskan tangan Rama dari dagunya dengan cara membuang wajahnya kesamping. Lalu dia menatap Rama geram. "Kurang ajar, lo! Jauhin tangan nista lo itu dan lepasin gue!" teriak Dea dengan suara cemprengnya. Melihat cara Dea bersikap membuat Rama semakin ingin menggodanya. Rama sudah akan membuka mulutnya namun sebuah ketukan berhasil menginterupsinya. Seorang laki-laki berkulit putih dan tubuh yang tidak begitu tinggi masuk dengan baju semi formal sambil membawa map ditangannya. Cowok itu berdiri di pintu menunggu perintah Rama untuk menyuruhnya masuk. Cowok itu sama sekali tidak menatap kearah Dea dan Dea menelan niatnya yang semula ingin minta tolong setelah menyadari cowok itu adalah kaki tangan Rama. "Tora, lo udah nyiapin surat-suratnya?" tanya Rama pada cowok yang ternyata bernama Tora itu. Dea hanya menatap tidak mengerti dua pria didepannya itu. Tora menyerahkan kertas serta sebuah pena kearah Rama. "Tinggal ditanda tanganin aja dan beres." Rama menatap Dea dan surat ditangannya bergantian. Lalu senyuman miring kembali menghiasi bibirnya. "Eum, Tora siniin gue surat alih waris yang asli." Tora menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti. Kemarin Rama memerintahkannya untuk membuat surat pengalihan warisan dan surat pernyataan yang nantinya harus ditanda tangani Dea dan membuat semua harta warisan kembali ke tangan Rama, karena dia tidak ingin melaksanakan persyaratan asli surat warisan tersebut. Tetapi sekarang tiba-tiba Rama meminta surat warisan asli itu lagi. Tanpa banyak bicara dan protes Tora mengambil lagi selembar kertas yang kali ini lebih kaku daripada kertas sebelumnya. Kertas itu sudah diberi materai dan cap resmi yang menyatakan surat waris itu sah. Rama meraihnya lalu kembali mendekati Dea yang sejak tadi sempat dia abaikan. "Kapan lo mau ngelepasin gue?" tanya Dea karena sejak tadi Rama sama sekali tidak berniat untuk melepaskan ikatan ditangannya. Padahal tangannya sudah terasa kesemutan dan pegal diikat dalam waktu yang cukup lama begitu. Apalagi dia sempat memberontak dan berusaha melepaskan ikatan tersebut pasti tali itu melukai kulitnya yang kini terasa lecet. Rama tersenyum jahat. "Setelah lo tanda tanganin ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD