Alfi Alhusyan

1124 Words
"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia," Ali Bin Abi Thalib. **** Pemuda itu terlihat berlari menghindar dari kejaran beberapa orang dibelakangnya yang masih belum berhenti menngikutinya sedari tadi. Suara detak jantungnya masih berdegup cepat dan napasnya pun tedengar ngos-ngosan karena orang-orang itu. Ia tidak pernah membayangkan kalau sampai malam ini ia tertangkap, mungkin mereka akan membunuhnya nanti. Alfi Alhusyan, pemuda yang masih berpakain rapi itu harus dihadapkan dengan kenyataan. Saingan dengan anggota keluarganya sendiri karena sebuah jabatan membuat ia kini terancam akan dibunuh agar mereka bisa berbagi hasil kalau laki-laki itu meninggal nantinya. Padahal selama ini ia sudah menaruh kepercaan terhadap mereka, namun manusia tetaplah manusia yang tidak pernah jauh dari kata serakah. Semua yang mereka inginkan harus tercapai, entah harus menggunakan cara yang baik atau pun kotor. Seperti halnya saat ini, mereka masih mengerjar Alfi untuk dibunuh secara sembunyi-sembunyi. Alfi bersembunyi di balik tembok dengan mengintip disebuah celah di sana, ia mengeraskan rahang saat melihat beberapa orang bertubuh besar di depan sana masih berpencar untuk mencari keberadaannya. "Ck," decaknya kasar sembari meringis pelan merasa setetes darah mengalir pada pelipisnya. Ia menggerakan kelopak matanya tidak tenang, walau pun ia bisa berkelahi tapi melawan orang sebanyak itu dengan kondisinya yang benar-benar buruk sekarang adalah bukanlah pilihan yang tepat. Bisa saja ia maju dan menonjok mereka satu-persatu, namun harus ia ingat lagi jumlah mereka banyak dan disertai s*****a lengkap. Benar-benar sudah mempersiapkan dengan matang kalau mereka akan menyeret mayat Alfi ke hadapan bos mereka. Alfi pun memutuskan untuk berlari masuk ke jalan setapak yang remang-remang cahaya itu. Ia menggelengkan kepalanya merasa pusing, karena darahnya makin mengalir tanpa henti. Kalau ia tidak sadarkan diri sekarang, mungkin ia harus siap-siap untuk menjadi jasad besoknya. Pemuda jangkung dengan rambutnya yang hampir menutupi matanya itu mengangkat wajah, melihat rumah sederhana di hadapannya. Lampu depannya masih menyala membuat ia ragu untuk mendekat, takutnya orang akan mencurigainya berbuat hal yang buruk. Alfi mengeraskan rahang saat kembali mendengar derap lari orang-orang tadi, ia pun menarik diri dan bersembunyi di balik tembok. Ia mengerjapkan mata tajamnya melihat jendela di sampingnya terbuka lebar, masih dengan penyangganya. Ia pun melompat masuk lewat jendela usang itu dan langsung membeku saat melihat sosok perempuan dengan masih memakai mukenah duduk di atas hamparan sajadahnya dan kini menatap ke arahnya. Walau keadaan di sana nampak remang-remang cahaya karena lampu yang mati atau memang sengaja dimatikan, namun Alfi bisa melihat dengan jelas rupa gadis di depannya yang sudah melebarkan matanya kaget dan kini sudah berdiri agak menjauhkan diri. "Ka-kamu siapa?" Alfi menipiskan bibir, merasa bersalah karena membuat si pemilik kamar bergetar takut kini. "Aku bukan orang jahat," balas sosok jangkung itu berusaha menjelaskan walau perempuan itu semakin melangkah mundur karena takut. "Mau ngapain di kamar aku? Kamu maling ya?" tebaknya masih dengan nada tercekat membuat Alfi melebarkan matanya kaget. Secara naluri menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan, aku orang baik-baik." Balasnya dengan masih berusaha meyakinkan.  Ya, bodoh memang. Siapa pun yang berada di situasi ini tidak akan pernah percaya dengan perkataan orang asing, apalagi orang yang masuk ke dalam kamarnya di tengah malam begini. "Enggak ada orang baik-baik yang masuk kamar orang sembarangan," kata gadis itu lagi sudah emosi. "Keluar dari kamarku sekarang, atau aku teriak biar tetangga pada bangun." Ancamnya membuat Alfi menelan salivanya kasar. Alfi pun dengan berat hati langsung melompat keluar dari sana dengan kembali duduk sembunyi pada dinding tembok, ia menghela napas samar merasa kelelahan karena harus terus-terusan menjalani kehidupan bersaing begini. Apalagi dengan keluarganya sendiri, keluarga dari mamanya. Ia sudah tahu pasti siapa yang punya perintah untuk membunuhnya sekarang. Tapi, Alfi tetap akan diam saja karena pada dasarnya ia tidak ingin terus-terusan menjalani hidup semengerikan ini. Alfi pun beranjak berdiri, berjalan ke jalanan setapak tadi dan beberapa orang yang mengejarnya pun sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Pemuda bertubuh tegap itu berdiri di bahu jalan dengan mengangkat waja menatap langit malam yang gelap karena tertutupi awan hitam di atas sana membuat ia mendesah penjang. Ia pun bernapas lega saat melihat salah satu taxi mendekat ke arahnya dan langsung terhenti saat pemuda itu menjulurkan tangan. Alfi sudah melangkah masuk ke dalam taxi, langsung duduk menyender pada kursi dengan kelelahan. Pelipisnya yang terluka masih membuatnya pusing dan juga darahnya masih mengalir membuat supir di depannya melirik ke arahnya cemas. "Apa mau saya antar ke rumah sakit, pak? Sepertinya luka bapak lumayan serius," kata bapak-bapak itu  peduli, Alfi tersenyum kecut mendengar pertanyaan tulus itu. Bahkan, seorang supir taxi pun yang sama sekali tidak ia kenal masih bisa bersikap pedulia terhadapnya. Berbanding terbalik dengan keluarga besarnya. "Gak perlu, pak ... saya baik-baik saja." Balasnya tersenyum samar membuat supir di depannya mengangguk ragu. "Terus bapak mau kemana malam-malam begini, padahal sudah mau dekat shubuh ... dan juga bapak sedang terluka." Kata supir taxi lagi masih membuka obrolan. "Saya sedang olahraga," balas pemuda itu berbohong lalu memejamkan matanya sekilas membuat supir taxi mengerjapkan matanya bingung.  "Mana ada orang olahraga dengan pakaian jas rapi begini, apa olahraganya orang kaya memang berbeda ya." Gumam supir taxi dalam hati. Mobil taxi pun terhenti di depan sebuah rumah megah yang gelap gulita itu, lampu taman atau lampu teras sama sekali tidak dinyalakan. Terlihat menyeramkan ditambah tengah malam begini, siapa pun pasti akan ketakutan sekarang. Tapi, pemuda yang sudah melangkah keluar dari taxi itu sudah terbiasa dengan tempat tinggalnya. Kegelapan seakan menjadi teman hidupnya, karena jarang sekali bahkan tidak pernah ia menyalakan lampu rumahnya. Pemuda itu hanya nyaman dengan cahaya remang-remang, ia seakan trauma dengan cahaya terang yang memicu siapa pun akan kembali datang menyerangnya. Oleh karena itu, Alfi lebih suka hidup ditengah kegelapan untuk bersembunyi daripada hidup dengan cahaya terang yang hanya akan merugikannya. Setelah membayar taxi pun, ia melangkah masuk ke dalam halaman rumah megahnya. Rumah berwarna putih gading itu seperti rumah di film horor yang jarang terurus dan dijamah. Hanya sesekali pemuda itu datang menyambangi rumahnya karena orang mamanya meninggal beberapa tahun terakhir karena depresi. Sedangkan, papanya sudah menghilang sejak lama dan terdengar kabar sudah menikah dan punya anak. Sebenarnya Alfi tidak peduli, hanya saja yang membuat ia kecewa adalah disaat mamanya meninggal tidak ada sosok papanya yang datang melayat. Hanya beberapa orang kantor yang terpaksa datang karena ia adalah CEO di perusahaannya.  Alfi merebahkan tubuhnya pada sofa dengan menutup matanya dengan lengan, ia memejamkan matanya kuat dengan berusaha tertidur. Luka pada pelipisnya masih ia biarkan saja karena nanti juga akan mengering dengan sendirinya. Alfi ingin terlelap namun kembali tersentak kaget saat mengingat lagi kejadian tadi, kejadian saat ia terpaksa masuk ke dalam kamar perempuan asing yang baru saja menunaikan sholatnya. Pemuda itu mengerjapkan matanya sayu sembari bergumam dalam hati. "Bodoh! Dia kira dengan berdoa seperti itu tuhan akan mengabulkan permintaannya. Kalau saja tuhan itu ada, kenapa selama ini tidak ada satu pun keinginanku yang terkabul?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD