Annita Zhahira

1022 Words
"Sabar itu ada dua macam: sabar atas sesuatu yang tidak kau ingin dan sabar menahan diri atas  yang kau ingini" Ali Bin Abu Thalib. ***** "Kamu gila apa? Itu pekerjaan yang kamu dapat susah-susah dan sekarang kamu malah resign dari sana? Kamu kira nyari kerja gampang?!" "Aku gak nyaman sama seragamnya, terlalu ketat di badan." "Siapa yang peduli seragamnya mau ketat atau longgar, yang kita bicarain sekarang pekerjaan kamu. Sebentar lagi kamu bakalan di kontrak jadi pegawai tetap dan kamu dengan cerobohnya malah resign? b**o banget astaga!" "Aku juga punya alasan sendiri, kamu gak usah ngehakimi kalau gak tau letak duduk persoalannya." "Aku sekarang lagi kuliah, bentar lagi skripsi dan pastinya butuh uang banyak. Kamu kira kalau kamu resign siapa yang bayarin aku kuliah, mau terus-terusan ngemis ke orang lain?" "Kak, aku bakalan cari kerja kok." "Kerja apaan dengan jilbab besar begitu? Jadi babu aja sekalian sana?!" Annita mengembungkan pipi bulatnya dengan menghela napas panjang setelah mengingat hari dimana ia beradu mulut dengan kakak kandungnya. Berbagai omongan tidak mengenakan terus-terusan didengarnya dari kakaknya. Seharusnya di saat begini, Annita hanya butuh didukung dan disemangati atas pilihannya resign dari tempat kerjanya. Tapi, malah cercaan dan juga makian yang ia dapat. Sakit. Pake banget. Ia merasa tidak ada sama sekali yang mendukungnya. Bahkan, keluarga dekatnya saja malah mengomelinya dengan berbagai perkataan yang tidak mengenakan yang membuat ia terpojokan. Annita juga resign dari tempat lamanya bekerja karena ada insiden yang tidak mengenakan yang dilakukan oleh rekan kerjanya. Dan itu juga salah satu alasan yang buat Annita membulatkan tekadnya untuk benar-benar keluar dari sana. Wanita yang masih terjaga itu beranjak dari tempat duduknya sembari melangkah keluar dari kamar, melenggak masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Kebiasaan perempuan itu melaksanakan sholat malam setiap harinya. Annita bergerak kecil mengeluarkan mukenahnya dari gantungan lalu kemudian memakainya pelan. Annita menutup pintu kamarnya rapat lalu merunduk pelan menghamparkan sejadahnya. Perempuan berpipi bulat itu pun mulai melaksanakan sholat tahajudnya dengan begitu khusu'. Berbagai harapan dan permohonannya ia panjatkan dalam doa sampai ia tidak sadar, cairan bening mengalir begitu saja pada pipinya samapi mengenai mukenahnya. Kepalanya tertunduk dengan bahu bergetar naik-turun menahan isak tangisnya. Rasanya hari ini terlalu berat untuknya. Ia ingin beristrahat sejenak untuk memulihkan luka. Annita mengerjap samar dengan memandang lurus sajadah di hadapannya. Bibirnya bergerak pelan masih memanjatkan doanya lirih, disaat sedang punya beban pikiran begini dan merasa lelah menjalani hidup, salah satunya pelarian adalah menikah. Kalau saja Allah sudah menghadirkan jodoh untuknya lebih baik Annita menikah saja dan tinggal bersama dengan suaminya kelak daripada terus-terusam tinggal dengan kakak kandungnya yang seperti orang lain baginya. "Ya Allah, kalau bisa engkau kabulkan satu saja doa hamba..... kirimkanlah jodoh untukku Ya---" Annita tersentak kaget dengan sontak beranjak berdiri dan menelan salivanya kasar. Perempuan itu menahan napas takut saat melihat sosok jangkung kini berdiri di hadapannya dengan tatapan kebingungan. Cowok di depannya itu sesekali terlihat menolehkan kepalanya ke jendela sembari berusaha menetralkan napasnya yang masih ngos-ngosan. "Ka-kamu siapa?" "Aku bukan orang jahat," balas sosok jangkung itu berusaha menjelaskan walau Annita semakin melangkah mundur karena takut. "Mau ngapain di kamar aku? Kamu maling ya?" tebaknya masih dengan nada tercekat membuat sosok berbadan tinggi tegap itu melebarkan matanya kaget. Secara naluri menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan, aku orang baik-baik." Balasnya dengan masih berusaha meyakinkan. "Enggak ada orang baik-baik yang masuk kamar orang sembarangan," kata Annita sudah emosi. "Keluar dari kamarku sekarang, atau aku teriak biar tetangga pada bangun." Ancamnya membuat pria itu berdecak samar. Pria berkemeja putih itu bergerak kecil dan melompat keluar dari jendela membuat Annita buru-buru menutup jendela kamarnya yang ia lupa kunci. Annita mendudukan diri dengan tubuh yang gemetaran kecil masih merasa shock dengan kehadiran orang asing di dalam kamarnya itu. "Aku mintanya jodoh ya Allah, bukan maling." Lirihnya merasa miris sendiri. ****** Pemuda berkaos hitam pekat itu tersenyum samar melihat sang adik yang sedang bergelantungan di atas pohon mangga depan rumahnya. Adiknya yang kini duduk di sekolah menengah atas itu tanpa takut meloncat dari satu ranting ke ranting yang lain. Cowok yang tidak lain adalah Adnan Siregar itu menolehkan kepala ke sampingnya, seorang perempuan yang bersamanya sedari tadi hanya duduk melamun tanpa berkedip sekalipun. "Kenapa sih, Nit?" ujarnya membuat sahabanya itu tersadar dan mengangkat wajah pelan. "Gakpapa," balas gadis itu lirih walau kemudian menarik napas dalam sembari menghembuskannya kasar. "Apanya yang gakpapa, wajah kamu aja terlihat jelas kalau sedang punya masalah." Cibir temannnya membuat Annita kembali melemaskan bahunya. "Aku resign dari tempat kerja," jelasnya membuat Adnan melebarkan matanya kaget. "Serius?" Annita mengangguk saja masih dengan wajah masamnya, "kenapa? bukannya sebentar lagi kamu jadi pegawai tetap di sana?" tanya temannya masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran seorang Annita Zhahira itu. "Kamu tahu sendirikan, Nan .... seragamnya ngetat banget di badan dan aku gak nyaman. Apalagi aku kemarin sempat ada masalah sama rekan kerja aku, dia gangguin aku sampai aku nangis di tempat kerja." Tambahnya masih berusaha menjelaskan. "Itu salah satu alasan yang buat aku makin bertekad buat keluar dari sana." Katanya dengan mengadu sudah ingin menangis. "Terus gimana tanggapan kakak, kamu?" "Dia malah maki aku, Nan. Aku juga disuruh jadi babu aja gara-gara aku sekarang pake hijab panjang begini. Emang salah ya kalau aku mau berubah menjadi pribadi yang lebih baik?" "Enggak, Nit. Pilihan kamu sudah bagus, omongan kakak kamu atau siapapun yang tidak setuju dengan apa yang kamu pilih gak usah didengar. Hidup kamu ya milik kamu, kamu yang jalanin dan kamu yang rasain. Jadi apa yang terbaik buat kamu lakuin aja," ujar Adnan dengan tersenyum lembut menenangkan sahabatnya itu. "Makasih ya, Nan. Cuma kamu yang ngedukung aku." Gumamnya dengan menggigit bibir bawahnya. "Santai, aku akan selalu ngedukung apapun pilihan kamu. Jadi, gak usah sedih ya." Tambah pemuda itu lagi membuat Annita di sampingnya tersenyum lebar merasa lebih ringan begitu saja. "Terus sekarang rencana kamu apa?" "Cari-cari lowongan kerja sih yang bisa pake kerudung panjang begini," "Agak susah sih, tapi tetap semangat!" Annita mengangguk pelan lalu menghela kasar membuat Adnan memandang ke arahnya, "mending nikah aja kali ya biar gak terlalu banyak pikiran begini. Capek aku," kata Annita asal dengan tersenyum miris. "Emang nikah gampang? Kalau pun nikah sama siapa dah, emang kamu sudah punya calon?" "Punya," "Hah? Siapa?" "CEO, heheh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD