BAB 1

1060 Words
"Nis, bangun, Nduk." Ujar wanita paruh baya. Wanita cantik yang tertidur di atas ranjang itu langsung menggeliat saat wanita paruh baya itu menyingkap gorden ungunya. Membuat pancaran surya menyilaukan matanya. "Hari sudah siang. Mau sampai kapan kamu tidur?" Ujar wanita paruh baya, yang tak lain adalah ibunya. "Nggg... sekarang hari minggu, Bu." Ujar wanita itu malas dengan mata tertutup. "Bangun atau Ibu akan mendoakanmu untuk tidak bangun-bangun lagi!" Ujar ibunya santai yang langsung membuat kelopak mata wanita itu terbuka dengan cepat, "-doa orang tua untuk anak selalu dikabulkan." Lanjut ibunya yang langsung hilang di balik pintu yang tertutup. Wanita itu langsung terduduk dengan rambut yang berantakan. *** Seusai mandi, ia turun dari tangga dengan langkah kakinya yang tertatih. Kaki sebelah kanannya pincang karena kecelakaan yang dialaminya dua tahun yang lalu. Ia melangkah menuju ruang makan dimana ibunya telah menunggu untuk sarapan. Wanita itu bernama Anisa Yudhistira, atau biasa dipanggil Anis. Ayahnya meninggal saat ia berumur 10 tahun. Sebagai anak tunggal, ia selalu membantu ibunya bekerja di kafe peninggalan ayahnya. "Selamat pagi, Bu." Sapa Anis dengan memeluk ibunya dari belakang saat ibunya mencuci kuali. "Pagi. Sekarang sarapan ya, Nduk. Ibu sudah siapin roti bakar dan s**u untukmu." Jawab ibunya dengan lembut. Anis menarik kursi yang berbahan kayu itu, lalu duduk disana. "Ibu sudah sarapan?" Tanyanya sambil mengolesi selai blueberry kesukaannya. "Sudah." Ibu Anis mengelap tangannya pada kain yang tergantung. Lalu duduk di kursi sebrang. Menyeruput kopi susunya sambil menatap putri semata wayangnya. "Anis?" Tegurnya. "Hmm?" "Ibu sudah membuat kafe cabang di Batam. Ibu mau kamu kesana." Ujar ibunya. Kafe cabang? Pikir wanita itu. Bukan hal yang aneh untuk ibu membuka kafe cabang. Mengingat harta peninggalan ayah yang amat sangat banyak. Bahkan, setelah sekian lama di tinggal oleh kepala keluarga itu, peninggalan harta itu masih banyak. Ditambah peninggalan kafe ayahnya yang kini dikelola oleh ibunya. "Terus? Yang bantu ibu disini siapa?" Ujar Anis. "Kamu tidak usah pikirkan ibu. Masih ada Bu Sakinah dan yang lainnya. Toh, disana kamu tidak perlu repot-repot untuk mengurus segalanya. Ibu sudah menyuruh orang untuk mengelola kafenya." Anis menatap bingung pada ibunya. "Kalau ada yang mengelola, kenapa Anis harus kesana,  Bu?" "Dia kenalan ibu. Tolong diawasi ya. Disana kamu akan tinggal di rumahnya. Ya, semakin dekat semakin kamu tahu kan bagaimana dia." "Tap-" "Ah sudah... ibu sudah siapkan tiket. Besok, pagi-pagi sekali kamu sudah berangkat. Mengerti?" Anis mengangguk sementara ibunya itu bangkit dan beranjak pergi. Anis menggidikkan bahunya dan meneguk s**u. *** Perhatian-perhatian, pesawat  Li*n Air dengan tujuan Pekanbaru-Batam segera berangkat. "Bu, Anis pergi dulu, ya. Ibu hati-hati ya. Jaga diri ibu. Kalau ada apa-apa, hubungi Anis." Ujar gadis itu yang tampak enggan jauh dari ibunya. Wanita paruh baya itu tersenyum miring. "Ibu akan baik-baik saja." Ujarnya. Anis agak bingung melihat ekspresi ibunya. Dia akan pergi meskipun tidak jauh dan mungkin akan lama. Tapi, ibunya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi sedih atau khawatir layaknya setiap ibu yang pasti akan khawatir jika berpisah dengan putrinya. Tapi ibunya, memasang ekspresi yang terlihat seperti orang paling bahagia di dunia. Aneh. Pikir Anis Anis memegang tali tas punggungnya yang bergambar Menara Eiffel. Langkahnya terseok-seok. Dokter bilang kakinya akan selamanya pincang dan itu tidak masalah bagi Anis. Selagi dia masih bisa membantu ibunya dengan keadaan pincang seperti itu. Dari kejauhan, wanita paruh baya itu meneteskan air matanya. Sedih bercampur senang. Memang bukan pertama kalinya dia ditinggal oleh putri semata wayangnya. Tapi, namanya seorang ibu, pasti akan merasa kehilangan. Dan ia juga senang, untuk pertama kalinya, setelah dua tahun lamanya, keluarganya akan segera utuh kembali. Dia sudah merindukan dua anggota keluarganya yang jauh disana. Wanita itu menghembuskan nafasnya pelan. Ia mengeluarkan hp-nya, mengetik sebuah pesan pada anggota keluarganya itu. Sebentar lagi, ibu sudah tidak sabar bertemu dengan kalian berdua. Dalam hitungan detik, sang penerima pesan langsung membalas dengan sangat cepat. Kami juga merindukanmu, oma. Wanita paruh baya itu segera pergi saat melihat pesawat yang ditumpangi putrinya telah lepas landas. Anis terus menggenggam kedua jemarinya. Entah kenapa jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Hingga dadanya sedikit nyeri. Dia menatap jamnya, setengah jam lagi dia akan mendarat. Dan itu semakin membuat jantungnya berdegup kencang. Ini adalah pertama kalinya dia gugup. Sangat-sangat gugup. *** Anis hendak mengangkat kopernya saat tangannya disentuh oleh sebuah tangan besar. Anis tersentak dan menatap pria yang membungkuk di belakangnya. "Biar saya bantu, Mbak." Ujar pria tampan itu yang masih lengkap dengan setelan jasnya. Dengan sekali angkat dia meletakkan koper merah muda Anis ke atas trolly. "Ada lagi?" Tanya pria itu memasang senyum manisnya pada Anis. Dia meleleh melihat senyum pria tampan di hadapannya. Anis menggeleng. "Masnya siapa, ya?" Senyum di pria itu semakin mengembang. Beda dengan sorotan matanya yang terlihat murung. "Saya Fikri. Anda Nona Anis kan? Saya Manager Kafe cabang milik ibu anda." Pria tampan itu menjulurkan tangannya yang langsung dibalas oleh Anis. "Ayo, pulang. Pasti kamu capek." Anis menaikkan kedua alisnya. Tadi pake 'anda' sekarang pake 'kamu'. Besok-besok? Pasti sudah pakai 'ko' atau 'lo' saja. Batinnya. *** Anis mendengus sebal saat pria itu membawanya kesebuah Rumah Makan Padang. "Tadi katanya mau pulang. Kok malah kesini?" Rengutnya. "Masih sama." Gumam Fikri. Anis sama sekali tidak mendengarnya karena gumaman Anis yang terlewat kecil. "Makan siang dulu. Setelah itu pulang. Oke? Kamu belum makan kan?" Anis menggeleng.  "Nio pasan apo, Da? Ni? (Mau pesan apa, Bang? Kak? )" Tanya seorang pelayan di rumah makan padang itu. "Gulai Kalio, Asam Padeh, Ayam Bumbu tapi yang pahanya dan satu pergedel kentang yo, Da." "Minumannya?" "Teh obeng  dua. (Teh obeng ini=Teh Es Manis, Orang Batam biasa sebutannya gitu)" "Lai pakai nasi, Da?" "Tu iyo pakai nasi. Kalau indak pakai nasi, ba'a cara makannyo? Lucu juo uda ko kironyo. (Iya pakai nasi. Kalau gak pakai nasi, gimana cara makannya? Lucu juga abang ini rupanya.)" Ujar Fikri terkekeh. Sementara Anis kebingungan mendengar mereka yang berbahasa Minang itu. "Hehe... tunggu sabanta yo, Da. Limo minik se. Beko datang pasanan uda, tu. (Tunggu sebentar ya, Bang. Lima menit aja. Nanti datang pesanan abang)" "Oke, limo minik, yo." Pelayan itu langsung pergi. Fikri kembali menatap Anis yang kebingungan. "Kenapa?" "Kamu bisa Pahasa Padang? Orang Padang, ya?" Tanya Anis. Dan Fikri mengangguk. Limaa menit setelahnya, pesanan mereka datang. Mata Anis berbinar menatap asam pedas dan pergedel kentang kesukaannya. Dia memakan makanannya dengan lahap. Bahkan Anis menambah sekali lagi. "Nanti gendut." "Biarin. Yang penting kenyang." Ujarnya dengan mulut yang penuh. "Dulu takut gendut." Ujar Fikri. "Kan dulu. Sekarang tidak." Fikri tersenyum mendengar respon Anis yang pastinya wanita itu tidak sadar akan ucapannya. Seusai makan, mereka langsung pergi ke rumah Fikri. Anis berdecak kagum saat berdiri di hadapan rumah pria itu. Rumah yang ada dalam lukisannya saat ia kecil. Seolah gambarannya tentang rumah impiannya itu terwujud sekarang. Rumah itu berada di hadapannya. Tanpa disuruh, Anis bergerak mendekati rumah itu. Memasuki rumah itu dengan pandangan kagum. Fikri yang masih diluar mengehembuskan nafasnya dengan lega, melihat Anis memasuki rumahnya. =====
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD