BAB 2

927 Words
Langit pagi di rumah besar Wiratmaja itu terasa seperti penjara bagi Aruna. Cahaya matahari yang menembus kaca tinggi tidak membawa kebebasan, melainkan bayangan pengawasan. Dari balik jendela kamarnya, ia bisa melihat dua prajurit berjaga di halaman, dan ia tahu: Raka pasti ada di suatu sudut, mengawasi tanpa henti. Sejak semalam, pikirannya hanya dipenuhi satu hal: ia harus keluar. Ia harus kembali ke pasien-pasiennya, ke dunia yang membuatnya merasa berguna. Ia bukan boneka yang hanya bisa duduk diam di balik dinding marmer. Dengan langkah hati-hati, Aruna menyelinap keluar kamar. Ia sudah mempelajari pola penjagaan. Saat pergantian shift, ada celah singkat yang bisa ia manfaatkan. Kakinya berderap cepat melewati lorong panjang yang dingin, lalu menyusuri pintu samping yang jarang dipakai. Saat udara luar akhirnya menyentuh wajahnya, Aruna menghirup napas dalam-dalam. Ada rasa lega sekaligus deg-degan. “Akhirnya…” bisiknya. Ia tahu risikonya besar jika ketahuan, tapi keinginannya jauh lebih besar yaitu bertemu pasien kecilnya yang tinggal di kampung kumuh pinggiran kota. Anak itu sudah menunggunya sejak janji terakhir yang terpaksa ia batalkan karena penjagaan ketat. Kampung itu menyambutnya dengan aroma lumpur, gorengan, dan asap kayu bakar. Gang-gangnya sempit, becek, dan penuh rumah reyot berdinding papan. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki, sebagian batuk-batuk dengan suara serak. Kontras dengan rumah besar tempat ia dipaksa tinggal, di sini Aruna merasa lebih hidup, meski berdebu dan kotor, ada kehangatan manusia yang nyata. “Dokter Aruna!” teriak seorang bocah kurus dengan gigi ompong. Ia berlari kecil, memegang tangan Aruna. “Kak Lila nunggu di rumah. Dia demam lagi.” Aruna berjongkok, mengusap rambut bocah itu. “Terima kasih sudah jemput. Ayo tunjukkan jalannya.” Mereka masuk ke sebuah rumah sempit dengan atap bocor. Di sana, seorang anak perempuan terbaring lemah di tikar, wajahnya pucat, napasnya pendek. Ibunya duduk di samping, wajah penuh cemas. “Dokter… maaf, kami tidak bisa bawa ke rumah sakit. Uang…,” suara si ibu serak, menahan tangis. Aruna menggenggam tangannya. “Tenang, Bu. Aku di sini.” Ia membuka tas kecil yang dibawanya—suntikan, stetoskop, obat-obatan sederhana. Gerakannya sigap, penuh perhatian. Tatapannya lembut saat menyentuh dahi anak itu. “Demamnya tinggi, tapi masih bisa ditangani. Kita harus pantau terus.” Untuk sesaat, Aruna lupa akan dunia luar. Hanya ada dirinya, anak kecil itu, dan tekadnya untuk menyelamatkan hidup sekecil apa pun. Namun kedamaian itu pecah ketika pintu rumah digedor keras. Bomm! Aruna terlonjak. Tiga pria bertubuh besar masuk, wajahnya garang, bau alkohol menyengat. Salah satunya langsung menendang kursi hingga terjungkal. “Mana uangnya?!” bentak si botak bertato di lengan. “Sudah tiga bulan kau nunggak!” Si ibu gemetar, berusaha melindungi anaknya. “Tolong… beri kami waktu sedikit lagi…” “Waktu?!” pria itu menampar meja, membuat obat-obatan Aruna berjatuhan. “Kami bukan panti asuhan!” Aruna berdiri cepat, menahan napas. “Hei! Jangan ganggu mereka! Anak ini sedang sakit!” Tatapan tajam si preman beralih padanya. “Siapa kau? Sok jadi pahlawan, hah?” Aruna menggertakkan gigi. Tubuhnya gemetar, tapi ia berdiri tegak di depan si anak. “Aku dokternya. Dan aku tidak akan biarkan kalian menyentuh mereka!” Preman itu tertawa kasar. “Dokter? Bagus. Kalau begitu kau bisa bayar hutangnya.” Tangannya terulur, hampir menyentuh lengan Aruna. Tapi detik berikutnya, sebuah bayangan menyambar masuk. Gerakannya cepat, menghantam si preman hingga terjengkang ke lantai. Raka. Seragamnya kusut berdebu, napasnya berat, tapi sorot matanya tajam membunuh. Dua preman lain terkejut, segera mengayunkan tinju. Raka bergerak gesit: satu tangannya menangkis, siku kirinya menghantam rahang lawan, lalu lututnya menghantam perut yang lain. Dalam hitungan detik, dua pria itu roboh, meringis kesakitan di lantai sempit. Si botak yang tadi menodong Aruna mencoba bangkit, tapi Raka menendang tangannya hingga senjata tajam kecil yang ia sembunyikan terlempar. Lalu dengan satu hentakan, Raka membantingnya ke dinding papan. Rumah reyot itu bergetar, suara kayu berderit keras. Suasana hening seketika. Hanya ada suara terengah-engah dari para preman yang kini tak berdaya. Raka menatap mereka dengan sorot tajam yang dingin. “Pergi. Sebelum aku benar-benar patahkan tulang kalian.” Tanpa pikir panjang, ketiganya kabur terbirit-b***t keluar rumah. Aruna berdiri terpaku. Dadanya naik-turun cepat, bukan hanya karena ketakutan, tapi juga karena keterkejutan. Ia tahu Raka disiplin, kaku, menyebalkan—tapi tidak pernah ia bayangkan bagaimana pria itu bisa bertarung seperti mesin yang tak kenal ragu. Namun keterpanaan itu segera berubah menjadi amarah. “Kau gila?!” Aruna mendekat, suaranya bergetar tapi lantang. “Kenapa kau selalu harus ikut campur urusanku?! Aku bisa atasi sendiri tadi!” Raka menoleh, wajahnya tetap datar meski ada peluh di keningnya. “Kau hampir ditikam. Itu bukan sesuatu yang bisa kau atasi dengan stetoskopmu.” Aruna terdiam sejenak, lalu menggertakkan gigi. “Aku tidak butuh kau mempermalukanku di depan pasienku! Mereka butuh percaya padaku, bukan melihatku dilindungi seperti anak kecil!” Tatapan Raka sedikit melembut, meski nadanya tetap dingin. “Mereka butuh kau hidup. Itu saja yang penting.” Aruna tercekat. Ada sesuatu di balik kata-kata itu, entah kepedulian atau sekadar kewajiban. Tapi ia tidak mau mengakuinya. Ia memalingkan wajah, menahan air mata yang hampir jatuh karena campuran marah, takut, dan bingung. Suasana kembali hening. Si anak kecil batuk pelan, membuat Aruna segera berlutut lagi di sisinya. Tangannya gemetar saat merapikan selimut, mencoba mengalihkan perhatian dari kehadiran Raka. Raka berdiri di dekat pintu, mengawasi dengan sorot mata tak terbaca. Dari caranya mengepalkan tangan, jelas ia juga menahan sesuatu emosi, atau mungkin rasa khawatir yang tidak pernah ia biarkan keluar. Di dalam hati Aruna, pertanyaan yang tak ia mau akui berputar, Siapa sebenarnya pria ini, dan kenapa justru dia yang paling sering muncul saat aku paling membencinya tapi juga paling membutuhkannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD