BAB 3

769 Words
Malam itu terasa tenang di Rumah Sakit Militer Gatot Soebroto. Lampu neon di koridor memantulkan cahaya pucat ke lantai keramik, sementara suara detik jam dinding terasa lambat, membosankan. Aruna duduk di ruang IGD, menatap chart pasien dengan mata yang lelah. Rambutnya diikat seadanya, beberapa helai jatuh membingkai wajah. Ia baru saja selesai menjahit luka seorang prajurit yang tergores saat latihan. Bau antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan aroma kopi basi yang ia letakkan di meja sejak sore. Meski tubuhnya letih, ada satu hal yang membuat darahnya mendidih malam itu, bayangan seseorang yang tak pernah jauh darinya. “Tidak bosan membuntuti aku, Kapten?” Aruna menoleh sekilas ke arah pintu. Raka berdiri di sana, tubuh tegapnya bersandar pada kusen. Seragam hijaunya masih rapi meski jam sudah lewat tengah malam. Tangannya terlipat di depan d**a, sorot matanya tak pernah lepas dari Aruna. “Kalau Anda sudah selesai, saya antar pulang Nona.” Suaranya datar, seakan kehadirannya adalah hal biasa, bukan ancaman. Aruna mendengus. “Aku sedang dinas, bukan sedang jalan-jalan. Kau pikir aku pasien VIP yang harus diawasi 24 jam?” Raka tidak menjawab. Ia hanya berdiri, tatapannya dingin. Seolah dinding antara mereka lebih kuat dari beton rumah sakit ini. Aruna berdecak kesal. Ia mencoba mengabaikannya, kembali menuliskan catatan pasien. Namun, hatinya tak bisa tenang. Ada rasa dipenjara yang semakin lama semakin mencekik. Ia tidak bisa bernafas lega. Dan tiba-tiba.. BOOMMM! Ledakan keras mengguncang udara. Lampu-lampu di ruang IGD berkelip, beberapa pecah berhamburan. Suara kaca retak bercampur teriakan panik pasien dan perawat. Aruna sontak berdiri, jantungnya melonjak. “Apa itu?!” Asap tipis mulai merayap dari arah lorong belakang, disusul bau mesiu yang menusuk. Pintu IGD bergetar keras, lalu terbuka karena dorongan arus orang-orang yang berlari ketakutan. Raka bergerak secepat kilat. Ia meraih pergelangan tangan Aruna, menariknya ke samping. “Jangan bergerak! Ikut aku!” “Apa-apaan kau?!” Aruna berontak, tapi suaranya tenggelam oleh teriakan pasien. Suasana berubah menjadi neraka. Seorang perawat berlumur darah berlari masuk sambil menjerit. “Gudang obat! Gudang obat terbakar!” Aruna membeku sesaat. Gudang obat? Itu letaknya hanya dua koridor dari IGD. Kalau api merembet, puluhan pasien bisa mati. Tanpa pikir panjang, Aruna melepas tangan Raka dan berlari ke lorong. “Aku harus bantu pasien sekarang!” “Aruna!” Raka menghardik, tapi ia langsung menyusul. Lorong rumah sakit penuh asap. Lampu neon mati-menyala, bayangan orang-orang berlari terpantul seperti hantu. Suara alarm kebakaran meraung, menambah kepanikan. Aruna menutup mulut dengan masker medis, mencoba menembus asap. Ia melihat seorang anak kecil menangis di kursi roda, terjebak sendirian di tengah lorong. “Hey, sayang! Sini!” Aruna segera menghampiri, mendorong kursi roda itu ke arah pintu keluar darurat. Tiba-tiba, dor! dor! suara tembakan terdengar entah dari mana. Orang-orang menjerit semakin keras. Aruna terpaku, tubuhnya bergetar. “T-tembakan… di rumah sakit?!” Raka datang dari belakang, wajahnya menegang. Ia langsung berdiri di depan Aruna, tubuhnya jadi tameng hidup. “Berlindung di belakangku!” Aruna masih syok, tapi ia mendorong kursi roda itu terus dibelakang Raka sampai anak itu diamankan perawat lain. Setelah itu, Raka menyeretnya masuk ke sebuah ruangan kosong, menutup pintu rapat. “Lepaskan aku!” Aruna meronta. “Aku harus menolong pasien lain!” “Kau ingin mati?” Raka menatapnya tajam, napasnya teratur meski situasi kacau. “Itu bukan kebakaran biasa. Ada yang sengaja meledakkan gudang obat.” Aruna terperanjat. “Apa maksudmu?” Raka menunduk sedikit, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Ini pesan. Bukan untuk rumah sakit. Tetapi, untuk Jenderal Wiratmaja. Dan kau, kau yang jadi sasaran pengingatnya Nona.” Aruna tercekat. Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada ledakan. Ia menggigit bibir, hatinya kacau. “Kau… kau bilang semua ini karena aku? Aku penyebabnya?” “Bukan karena kau,” Raka membalas dingin. “Tapi karena siapa kau.” Aruna menatapnya, matanya berair oleh marah dan takut sekaligus. “Aku hanya seorang dokter! Aku tidak ada hubungannya dengan permainan kotor kakekku ataupun musuhnya!” “Musuh tidak peduli kau dokter atau prajurit,” Raka menjawab cepat. “Bagi mereka, kau hanyalah titik lemah Jenderal Wiratmaja.” Aruna merasa dunia runtuh menimpa dadanya. Ia ingin berteriak, ingin melawan, tapi tubuhnya gemetar. Selama ini ia pikir Raka hanya berlebihan. Namun sekarang, di tengah asap dan tembakan, kata-katanya terasa nyata. Ketukan keras menghentak pintu ruangan. Suara sepatu berlari mendekat. Raka langsung mengangkat pistolnya, matanya menyipit. Aruna mundur selangkah, jantungnya memburu. “I-itu… siapa?” Raka tak menjawab. Matanya fokus pada pintu. Jemarinya mantap di pelatuk. Ketukan berubah jadi hantaman. Pintu bergetar keras. Seolah berusaha di dobrak. Aruna menahan napas. Dan sebelum pintu itu jebol, Raka sempat berbisik lirih padanya, “Bersiaplah, Nona. Permainan baru saja dimulai.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD