Ketahuan

1522 Words
Reda mengurutkan kejadian saat Ta sedang di toilet bandara. Ta masuk, sementara seseorang lain keluar dari sana. “Reda!” Reda tentu terkejut, sama seperti dia, Arthur Bakrie. Perbedaannya, Arthur kemudian tersenyum dan memeluknya, sementara Reda pucat pasi tergugu tak dapat berkata-kata. Pelukan hangat Arthur dilerainya. “Kau di sini? Bagaimana kau tahu aku di sini?” tanya Arthur masih dengan senyum mengembang. “Kejutanmu bagus sekali!” Kejutan, pikir Reda. Tidak, ia tak merencanakan bertemu Arthur di sini. “Aku ---“ Kalimat Reda hilang oleh kecupan Arthur di bibirnya. Tautan khas yang saat ini sulit Reda beri balasan. “Aku rindu padamu, Sayang. Aku ada kabar bagus!” Reda terpaksa bungkam. Kabar buruk yang ia miliki. Rindu juga Reda kepada Arthur, tapi tak ingin lekas bertemu. Arthur menarik Reda menjauh dari toilet pria, “Kau bahkan bawa koper. Kau akan tinggal beberapa hari di sini? Menyenangkan sekali!” Reda perlahan memaku langkah, hingga Arthur berhenti dan heran sendiri. Reda juga hati-hati melepas tangan pria itu dari kulitnya. “Aku di sini bukan untukmu. Maafkan aku,” ucap Reda sedih. Arthur bingung, “Apa maksudmu?” “Aku ... bisakah kita bicara nanti? Akan panjang penjelasannya. Aku butuh waktu khusus.” Arthur tersadar saat melihat label toilet yang tergantung di atas mereka. “Kau datang dengan salah satu pria di dalam sana?!” tanya tajam Arthur keluar. “Ya,” jawab Reda pelan. Tak bisa lagi menghindari masalahnya, maka saatnya untuk dihadapi saja. Arthur berubah ekspresi lagi. Dia tampak geram lalu mengeluarkan sebuah kartu nama. “Temui aku di sini.” Reda mengambilnya dan membaca sekilas. “Ahli penerjemah dan pemandu wisata, Arthur Bakrie.” Arthur memang punya keahlian itu, terutama bahasa negara yang kini mereka pijaki. Arthur menyukai tempat ini sejak dulu dan tahu apa pun tentang sejarah dan budayanya. Kabar bagus yang Arthur maksud, kini pria itu memang menetap dan punya pekerjaan di negara asing ini. Rencananya, Arthur berjanji akan membujuk Nyonya Naraya merestui mereka dan tinggal di sini setelah menikah. Namun, terlanjur Reda telah diperistri pria asing. “Kau berhasil. Selamat!” ucap Reda sedih. Arthur baru akan buka suara, tapi menutup mulutnya lagi saat seseorang keluar dari toilet pria. “Kau tidak akan selamat!” geramnya lekas menjauh. Kaki Reda jadi lemas mendadak. Hampir ia jatuh sendiri, tapi lagi-lagi Ta menahannya. “Kau juga pusing?” “Oh! Bukan.” Reda menepis bantuan Ta. Pandangannya melirik ke sekitar, khawatir dibuntuti Arthur. “Kau sudah lebih baik?” “Ya.” “Bagus!” Reda pikir Arthur Bakrie akan langsung kembali ke alamat tinggalnya, ternyata saat Reda dan Ta berniat melanjutkan makan, pria itu terlihat menunggu di sekitar sana. Rusak suasana makan Reda, juga selera dari laparnya. Di hotel, Ketika Ta selesai ditangani dan tidur lelap, lekas Reda menghubungi Arthur. Namun, pria itu secara nyata langsung menolak panggilannya. Reda coba mengirim pesan, sekedar dibaca tanpa balasan. Melihat Ta yang pulas, Reda melepas kacamatanya. Baru kali ini benar-benar tanggal benda penganggu itu dari wajah tampan Ta. Sayangnya, Reda tak utuh menikmati tanpa mata pria itu terbuka balas menatapnya. “Aku pergi, sebentar saja! Maafkan aku, Ta,” ucapnya pelan. Reda memantapkan tekadnya. Ia harus menemui Arthur, bagaimana pun juga Reda harus memberinya penjelasan langsung. Baru selangkah kaki putihnya keluar pintu untuk pergi, Reda sudah disambut Arthur di pintu kamar lain, berseberangan tepat di depan pintu kamarnya dengan Ta. “Kemari!” kata Arthur membuka lebar pintu. Reda tak nyaman rasa, tapi ia butuh waktu untuk menjelaskan. Satu caranya hanya dengan menurut masuk. Reda langsung melihat hidangan di meja, sangat istimewa, lengkap menunya. “Aku memberimu sambutan,” ujar Arthur. “Seingatku kau suka hal-hal begini.” Reda berbalik kepada pria dekat pintu itu. Memang waktu saat ini tepat sekali untuk makan malam, tapi Reda yakin tak akan setenang itu Arthur mendengar penjelasannya. “Arthur, aku minta maaf.” “Kau memang harus mengatakan itu!” balasnya bengis. “Aku ... biarkan aku menjelaskan. Dengarkan saja dulu. Kau bisa?” “Akan kucoba.” “Ayahku mendadak menikahkanku dengannya. Kau tahu nenekmu tidak merestui kita, tapi ayahku ingin aku segera menikah dan hamil. Kau tahu sendiri bagaimana Abifata ---“ Dalam sekejap langkah, Arthur sudah tepat di depan Reda, membuat Reda kehilangan suaranya. Aura marah Arthur memanaskan ruangan itu. “Jadi kau sedang berbulan madu, huh?!” Reda menggulung bibir. “Arthur ....!” Arthur menciumnya, menggigitnya dengan kuat lalu mengumpat. “Kau punya waktu memberitahuku sebelum sampai ke sini, tapi kau membuatku mengetahuinya sendiri.” “A—aku ...” Arthur mencengkeram mulut Reda dengan satu tangannya. Ketakutan Reda tampak jelas. Meski tangannya kosong tak berguna, Reda tak berani untuk melakukan pembelaan diri. “Kau ingin hamil, huh?!” Seringai di wajah Arthur makin membuat Reda takut saja. “J---jangan lakukan! Kumohon jangan, Arthur!” Namun sia-sia permohonan itu karena Arthur Bakrie sudah menyelesaikan amarahnya dengan pelampiasan kasar yang menyakitkan. Reda perih di sekujur tubuh. Bekas basah, bekas merah, bahkan bekas gigit pria itu tertinggal banyak di kulitnya. Reda memang berpacaran dengan Arthur, status kekasih mereka sudah terikat selama dua tahun. Jatuh cinta dan terbuai bujuk rayunya yang memesona. Arthur Bakrie memang pria manis, juga hangat, tetapi kadang berbahaya saat dia marah. “Kau menangis? Apa yang kau sesali?!” Reda tak bisa sembunyi dari rasa kecewanya. Kecewa karena Arthur tak mau mendengar penjelasannya. Reda juga menangis karena serasa kejam mengkhianati Ta. “Saat kita pertama melakukannya, kau masih perawan dan sama sekali tidak menangis. Mengapa saat ini kau begini?!” Isak Reda tak ayal meninggi. “Kau menyakitiku!” “Kau pikir apa yang kau lakukan?! Kau menikah dan berbulan madu di depanku! Kau pikir itu tidak menyakitkan buatku?!” berang Arthur lebih keras suaranya. “Tapi kau berselingkuh pula, Arthur,” ungkit Reda. Beberapa kali ia mendapat kiriman foto Arthur dengan wanita berbeda dari nomor asing. “Aku bukan menikah!” Reda diam. “Aku berselingkuh hanya karena kau jauh dariku. Aku tidak memakai perasaan dengan mereka, tapi kau mengikat namamu dengan pria lain!” Umpatan Arthur terdengar lagi. “Kubilang tunggu!” “Ayahku ---!” Arthur memotongnya cepat. “Kau bisa kabur ke sini, sendirian! Kau akan dapat perlindungan dariku!” Reda tertunduk. Baginya tak ada jalan lain, kabur dari Abifata itu tidak mungkin. Lari kepada Arthur hanya akan membuatnya kena imbas perbuatan Reda. Konsekuensi mengkhianati Abifata itu sama dengan hidup tak tenang selamanya. Sudah pernah ia dan Gazain kabur dari ayah mereka, tapi selalu gagal dan akhirnya Reda memutuskan untuk menuruti apa saja ingin ayahnya, dengan begitu Gazain bisa hidup bebas tanpa diusik Abifata seperti yang saudara kembarnya itu inginkan. “Tidurlah. Istirahatkan tubuhmu sebelum kita melakukannya lagi. Kalau kau hamil, itulah mauku. Kalau kau kembali kepadanya, dia harus melihat jejak sentuhanku padamu. Kau meminta dua neraka, Reda. Aku akan jadi nerakamu yang pertama!” Reda menangis sendirian. Bergelung selimut dengan rasa lengket tak nyaman. Sementara Arthur mengguyur diri dengan air di kamar mandi. Meringis Reda karena harga dirinya terluka sangat dalam. Reda takut pula jika hamil bukan dari Ta. Selama ini memang Arthur selalu memakai pengaman, takut sesuatu terjadi tak sesuai keinginan, tapi kini tekad pria itu malah berbalik mengerikan. Terhitung dari pukul 8 malam Reda di kamar Arthur hingga pukul 3 dini hari ini, Reda sudah empat kali digauli. Arthur Bakrie menuntut balas. Pria itu merecoki Reda dengan obat, dan meminum perangsangnya sendiri. Arthur juga membakar pakaian Reda di ujung permainan terakhirnya. Kini, saat pria penuh amarah itu tidur, satu-satunya kesempatan yang Reda punya untuk kembali ke kamar aslinya bersama Ta. Satu-satunya kain yang bisa Reda kenakan untuk pulang hanya handuk hotel kamar Arthur. Berjingkat kaki Reda masuk, berharap Ta tidak akan mengetahui kejahatannya. Namun, saat kembali, yang pertama menegurnya justru pria itu. “Dari mana?” “A---aku dari ---“ “Semalam kau tidak tidur di kamar ini, lalu pulang ... begini.” Reda menelan salivanya. Sudah terpampang begini jelas, tertangkap basah dengan empat mata Ta. Reda akhirnya bersikap kebalikan dari gugup. Dikibaskannya rambut dengan gaya menawan kemudian berjalan tak peduli menuju koper perjalanan yang besar. “Kau semalaman tidak bisa diandalkan, Ta. Terpaksa aku harus ... mencari sampingan, sebentar.” Ta melihat memang banyak bekas memerah di kulit Reda yang terbuka. “Ganas sekali teman kencanmu.” Reda menelan saliva lagi selagi berpakaian. Andai Ta tahu apa yang dialaminya baru saja. “Kau tidak berhak berkomentar. Malamku lebih seru, setidaknya malam pengantinku tidak benar-benar gagal karenamu,” balas Reda berusaha terdengar baik-baik saja. Ta tak peduli juga. Bagus sekali jika ia tak harus berhubungan langsung dengan Reda. “Ngomong-ngomong, pusingmu bagaimana?” tanya Reda setelah selesai berpakaian. “Masih, tapi tak separah semalam.” Reda mendekatinya, berniat menjelaskan. “Kau harus paham, ayahku ingin segera aku hamil.” “Aku memang tidak mempermasalahkan. Aku paham artinya saling tidak ikut campur.” Reda mengerjap, hampir saja ia memeluk Ta karena jawaban baik itu. Rasa bersalah yang sebelumnya ada sudah tanggal dari kepalanya. “Sebagai gantinya, aku akan membantumu sembuh. Kau lihat tiket kita, Ayah menjadwalkan sore nanti kita untuk pulang.” Mendadak kepala Ta langsung berputar lagi rasanya. Ia pun memilih berbaring di sofa. “Jangan ingatkan aku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD