"Apa maksudmu?!" tanya bingung Gazain terdengar.
"Aku tahu maksudmu!"
"Aku benar-benar meminta Ta menikahimu agar rahasia kita tetap terjaga. Ta bisa dipercaya, Reda. Arthur saja belum tentu bisa tutup mulut jika tahu sebenarnya kita siapa."
Perlahan Reda menurunkan emosinya. "Kau kenal dekat dengan Ta?"
"Tidak, tapi aku berani jamin dia tepat untuk menjadi suami kontrakmu."
"Karena?"
"Dia sebenarnya tidak pernah ingin menikah. Ta tidak akan jatuh cinta kepadamu. Kurasa kau juga begitu. Intinya pernikahan kalian tidak akan jadi rumit."
Reda akhirnya mengangguk. "Menurutmu bagaimana jika Arthur mendengar berita ini?"
"Dia tidak akan peduli."
"Dia pasti peduli. Dia mencintaiku!” bantah Reda yakin.
"Yah, terserah saja. Aku akan tidur lagi,” sahut Gazain malas.
"Kau akan datang besok?"
"Tidak, maafkan aku. Abifata melarangku. Kau juga tahu kalau orang-orang akan curiga jika aku datang ke pernikahanmu, atau menghilang di hari yang sama kau tidak masuk kerja."
"Benar juga,” kata Reda pelan.
"Sudahlah. Semuanya akan berjalan baik."
"Menurutmu keputusanku benar?"
"Tidak. Selagi kau memikirkan hal ini untuk Abifata, keputusanmu salah. Kau tidak harus ---"
Reda memutus panggilan meski Gazain masih berbicara. Lebih baik dirinya tidur dan ikut alur rencana ayahnya daripada terbujuk doktrin Gazain.
***
Ta terlonjak saat pintu digedor. Gegas bangkit menarik tuas kunci dan membukanya.
"Kami diminta mendandani Anda."
"Anda belum mandi?"
Ta bingung. Ia bahkan baru bangun.
"Kami beri waktu lima menit," kata salah satu pelayan itu lalu menutup pintu kembali.
Ta pun memanfaatkan lima menitnya. Setelah itu, tiga puluh menit kemudian, Ta selesai didandani. Ta melihat penampilannya di cermin. Bisa Ta akui penilaian Gazain kemarin benar. Ta kemudian keluar kamar sesuai arahan pelayan.
"Ta?"
Ta berbalik, dari tangga turun ... Reda. Bukan Reda yang kemarin. Reda yang ini mengenakan gaun pernikahan putih dengan rambut yang sudah ditata rapi, sangat memesona sekali.
Reda tersenyum lebar. "Kau tampan. Demi Tuhan, coba lepas kacamatamu!"
"Tidak mau!"
"Kau tidak akan menabrak, aku bisa menuntunmu."
Ta tetap dengan pendiriannya. Reda yang anggun itu merusak pesonanya sendiri dengan menyingsing rok gaun lalu mendekat cepat untuk merebut kacamata Ta. Ekspresi manisnya juga berganti sebal, "Kau bebal! Aku tidak mau punya suami kolot begini!"
"Ya sudah, jangan menikah denganku."
Reda langsung urung merebutnya karena kalimat itu dan Abifata muncul. Tak ada penampilan istimewa dari ayahnya. Biasa saja, seperti ketika beliau akan menghadiri rapat anggota keluarga Abinaya. Reda sedikit kecewa. Hari besarnya tak didampingi Gazain, ayahnya juga begitu. Namun, Reda mengembangkan senyum manis. "Kau tampan sekali, Ayah."
"Kau juga sangat cantik, putriku."
Reda bersemu, malu-malu terlihat setelah pujian itu. Masih tertinggal senyum manisnya hingga mereka sudah di depan penghulu. Ta tak tahu bagaimana cara Abifata mendapatkan semua dokumen pribadinya, tapi semua data itu valid dan asli. Ta kini tahu semua rahasia Gazain, bahwa model terkenal yang meninggal mengenaskan waktu itu adalah ibu mereka. Gosip yang merebak pernah dihebohkan ibu asuh Ta. Ternyata Abifata, konglomerat yang dimaksud. Entah rumor rekayasa kematian itu benar atau tidak.
Ta berjabat tangan dengan wali hakim. Di sisi Ta dan Reda, Abifata datang sebagai saksi pernikahan dengan satu orang lainnya. Kemudian, setelah sah ijab itu ditetapkan, tak ada seremonial apa-apa. Malah, Ta dan Reda diantar ke bandara oleh Abifata. Masih dengan seragam pernikahan mereka, entah kapan dipersiapkan koper dan isinya, benar-benar Ta tak menyadari pergerakan Abifata.
"Ayah ... kau tidak memberitahu kami sebelumnya," protes Reda perlahan.
"Kubilang kejutan, bukan? Sudah, nikmati saja." Abifata mengeluarkan tiket, paspor Reda dan Ta dari saku jasnya. "Pergilah."
Reda mengambilnya dengan wajah masam, kecewa pastinya.
Abifata tersenyum menepuk pelan kepala Reda, "Aku akan menjemput kalian lagi nanti."
Sekejap senyum Reda kembali manis menghiasi wajahnya. Kemudian Abifata berbalik masuk ke mobil, melambaikan tangan dan pergi.
Ta tampak diam di luar, tapi pikirannya memang tidak wajar jika hanya diam saja. Masalahnya, Ta panik.
Reda menyeret koper kecil, "Kau bawa yang besar."
Ta patuh.
Reda kemudian berniat ke toilet, setidaknya untuk berganti pakaian. Namun, Ta ikut juga. "Ta, lihat label di atas."
Ta mendongak, membaca tanda toilet wanita, tapi tetap tak beranjak. "Aku tunggu di sini."
"Kau tidak lihat kalau di sana ada banyak kursi tunggu, yang kosong terutama,” tunjuk Reda dengan ujung mulut dan matanya.
"Aku tunggu di sini."
Reda akhirnya menghela napas saja dan masuk. Sudah melepas gaunnya, ternyata isi tas yang ditariknya adalah pakaian Ta semua. "Ta! Kau masih di pintu?!" panggilnya ragu.
"Ya."
"Bawa kemari koper itu!"
Ta punya niat jahat, "Aku akan memanfaatkan satu kursi kosong di sana."
"Ta!" pekik Reda menggelegar.
Secepatnya Ta menggulirkan koper ke pintu toilet. Kemudian koper kecil muncul sebagai gantinya.
Reda lega mengenakan gaun nyamannya. Tersentak mundur ia karena Ta masih tetap di tempat semula Reda meninggalkannya. "Kau tidak berganti pakaian?!"
"Tidak."
Reda akhirnya tak mau peduli. Lagi pula Ta tampan dengan baju pernikahannya itu daripada ala pelayan perpustakaan. Reda langsung bergerak masuk antrean para penumpang lainnya. Di belakangnya Ta turut serta tanpa bicara. Reda merasa seperti sedang berjalan sendiri, tetapi ada mata yang mengawasi. Pikiran Reda setelah itu tertuju pada tiketnya. Negara yang akan ditempuh itu tempat mukim Arthur saat ini. Reda takut saja jika bertemu Arthur bagaimana menjelaskan situasinya.
"Silakan, Nona!"
Reda tiba gilirannya, kemudian Ta. Reda mencari tempat duduk di ruang tunggu keberangkatan, helaan napasnya panjang. Saat suara pengeras diperdengarkan, Reda akhirnya bangkit dan turut masuk pesawat. Reda terdorong oleh orang yang menyerobot, tapi Ta sigap menangkapnya. Tidak ada kata-kata, hanya tatapan sedetik bertemu di antara mereka.
Duduk berdampingan dengan Ta serasa sendirian. Napasnya saja hampir-hampir tidak disadari. Mungkin benar yang Gazain katakan, Ta akan mempermudah pernikahan mereka.
Tiba di bandara kedua, menunggu lagi.
Reda ingin makan sesuatu, maka ia pun bangkit dari duduknya untuk membeli makanan, Ta ikut bangkit. "Aku hanya beli roti. Kau tunggu di sini saja."
"Kau bisa saja jatuh lagi,” tolak Ta datar.
"Ta, aku bukan anak kecil."
"Bagiku kau kecil."
Reda tak mau menanggapi hinaan itu. Tubuhnya memang hanya setinggi d**a Ta. Langkahnya diayunkan cepat. "Kurasa kita bisa makan di sini sebelum pergi ke hotel."
"Ya."
Reda duduk dan memesan, Ta juga. Selagi menunggu Reda menyadari keringat dingin Ta. "Kau kurang sehat?"
Ta menggeleng.
"Ta, aku sedang pusing, jangan membuatku makin pusing."
"Aku juga pusing."
"Jangan bilang kau mabuk perjalanan," kekeh Reda remeh.
Ta tak membalas. Kemudian Reda mengerjap. Pikirannya bergulir pada pertemuan kemarin mereka sampai detik ini. Ta jelas berbeda situasi dari kehidupan Reda. "Kau belum pernah naik pesawat sebelum ini?!"
Ta merengut, mulutnya yang diam kini terkatup makin rapat.
"Ya ampun!" Reda turun dari kursinya lalu mengusap-usap tengkuk Ta. "Aku juga pusing waktu pertama kali naik pesawat dulu. Waktu itu beginilah Gazain menolongku. Kau merasa lebih baik?"
"Kau membuat perutku makin mual."
"Oh, maaf!" Reda lekas menaik tangannya polos. "Kau mau ke toilet?"
"Ya."
"Mari, kutemani. Kau tampak menderita sekali.”
Ta tak menafi. Belasan jam mengudara benar-benar menyiksanya. Tempat asing, suasana asing dan 'teman', kata asing itu.
***
Menjelang pagi setelah istirahatnya Ta bangun. Setelah beberapa puluh menit tersadar pun kepalanya masih pusing luar biasa. Ta berpindah dari kasur ke sofa, tak ada tanda keberadaan Reda. Kemudian suara klik pintu dibuka, lalu Ta melihat Reda masuk mengendap-endap dengan sekedar handuk melilit tubuh dan bekas memerah banyak di kulitnya yang terbuka.
“Dari mana?”
Reda terlonjak hingga sepatu di tangannya terlepas. “A---aku dari ---“
“Semalam kau tidak tidur di kamar ini, lalu pulang ... begini.”
Reda menelan salivanya.