Reda tak menemukan keberadaan Arthur saat ia kembali sadarkan diri. Namun, sosok Ta masih di sana, di tempat sofa semula berbaring dengan lengan menjadi bantal kepalanya. “Ta!” panggilnya pelan. Pria itu langsung bangkit mengenakan kacamatanya, “Kau sudah sadar.” Reda menggulung bibirnya. Ta hanya siaga, bukan panik. Setidaknya Ta masih tetap di sisinya, meski tak ada Arthur. Reda rasa tak tahu malu jika menanyakan keberadaan Arthur, tapi tak ada orang lain lagi yang bisa ditanyai selain Ta. “Aku tidak mungkin bermimpi. Tadi Arthur di sini, bukan. Ke mana dia?” “Diseret ayahnya. Tuan ... Rustawan,” Ta mengingat. Pria malang itu tampak mengenaskan oleh pukulan ayahnya. Wajah cukup tampan Arthur babak-belur, dan telinganya memerah oleh kalimat caci-maki dan hinaan. Andai Reda melihat se

