Satu

1916 Words
Alysa Nazila Rahma, dia adalah seorang gadis yang baru berusia 17 tahun. Dia juga adalah gadis yang sedang menempuh jalan hijrahnya menuju ke jalan yang benar sesuai dengan syari'at islam yang sesungguhnya. Alysa berasal dari Bandung. Namun saat ini ia tinggal dan menetap di Jakarta bersama kedua orangtuanya. Ia juga memiliki satu kakak laki-laki yang bernama Raka. Saat ini Alysa sedang duduk di bangku kelas XI SMA. Ia bersekolah di sebuah SMA Negeri. Di SMA-nya tersebut Alysa memiliki beragam cerita. Di sekolah ia terkenal sebagai gadis yang pendiam dan terkesan tak mudah bergaul. Terlebih memang Alysa ini memiliki sifat introvert. Selain itu, Alysa juga dikenal sebagai gadis yang pemalu. Bahkan hanya untuk saling bertatap mata saat bicara saja, Alysa selalu merasa malu. Baik kepada perempuan ataupun laki-laki. Di sekolahnya itu Alysa memendam sebuah rasa terhadap seorang lelaki. Lelaki itu sangat terkenal di sekolahnya. Selain menjabat sebagai ketua OSIS, lelaki itu juga terkenal karena memiliki paras yang tampan, otak yang pintar, bahkan lelaki itu memiliki daya tarik tersendiri untuk membuat para kaum hawa tertarik padanya. Namun bukan soal fisik yang membuat Alysa menyukai lelaki itu. Tapi soal ketakwaannya kepada Sang Pencipta-lah yang membuat dirinya mengagumi lelaki itu dalam diam. Alysa memendam rasa itu sejak dari kelas X SMA. Sejak ia pernah mendapati sikap lemah lembut lelaki tersebut terhadap seorang perempuan, dan dari situlah benih-benih rasa mulai tumbuh di dalam dirinya terhadap lelaki tersebut. Kini ketika Alysa sudah duduk di kelas XI SMA. Ia mulai merasa perasaannya terhadap lelaki itu semakin besar. Bukan hanya kagum karena sikap lemah lembutnya saja, tapi saat ia juga tahu bahwa lelaki itu sangat taat terhadap agamanya. Alysa semakin dibuat kagum pada lelaki itu. Alysa tak pernah berharap ia akan menjadi pacar atau dekat dengan lelaki yang ia kagumi. Alysa hanya berharap, kelak jika Allaah menghendakinya, ia hanya ingin bisa melengkapi separuh agamanya dengan lelaki tersebut. Dan nama lelaki yang Alysa kagumi itu adalah Ikfan. Ya, Ikfan Faraz Raufa. ▪▪▪▪▪▪ "Hay Sa, besok kamu mau ikut mentoring gak?" tanya Defit saat mendapati Alysa tengah duduk di taman sekolah, tepatnya di bawah pohon yang rindang. Setelah sholat ashar tadi, Alysa tak berniat untuk pulang langsung ke rumahnya. Seperti biasa, ia ingin membaca buku novelnya terlebih dahulu di taman sekolah, baru setelahnya ia akan pulang ke rumah. Defit sendiri adalah teman rohis Alysa di sekolah. Perlu diketahui, bahwa meskipun Alysa ini pemalu dan termasuk makhluk introvert. Tapi hal itu tak membuat dirinya menjadi benar-benar kuper. Ia tetap bisa aktif mengikuti organisasi yang ada di sekolahnya. Itu pun hanya satu, organisasi rohis saja. "Insyaa Allaah Fit, kamu mau ikut?" tanya Alysa balik. "Iya, aku juga ikut," jawab Defit bersemangat. Melihat Defit bersemangat, Alysa pun tersenyum. "Yaudah, aku pulang duluan ya Sa." Pamit Defit kemudian. Alysa mengangguk. "Iya." "Assalamu'alaikum." Salam Defit sebelum benar-benar pergi. "Wa'alaikumussalam." Beberapa menit setelah kepergian Defit, nampak dari jarak yang tak terlalu jauh darinya, Alysa melihat ada beberapa orang yang memakai blezer berwana biru—pakaian kebanggaan OSIS—mereka terlihat tengah duduk lesehan membentuk lingkaran di taman sekolah—seperti sedang berdiskusi. Melihat itu Alysa memicingkan matanya mencari seseorang. Ya mencari siapa lagi kalau bukan si ketua OSIS-nya. Saat itu Alysa mencari keberadaan Ikfan dari kejauhan. Bahkan suara diskusi mereka masih cukup bisa terdengar oleh Alysa sebab jarak yang tak terlalu jauh dan diskusi itu pun nampak terkesan heboh. "Ko bisa gak ada di lo si Nin?" tanya Ikfan pada Hanin. "Ko lo jadi nanya ke gue sih, kemarin 'kan udah gue titip ke lo. Lo nya aja kali yang ceroboh." Jawab Hanin sewot. "Tapi gue gak ngerasa nanggepin titipan dari lo, lagian itu 'kan udah seharusnya lo yang pegang bukan gue." Timpa Ikfan terdengar kesal. "'Kan sebelum nitip gue udah bilang ke lo, kalau tu proposal harus minta pendapat Wakasek sebelum direvisi," ucap Hanin tak mau kalah. "Sssttt... udah-udah, bukan waktunya debat. Sekarang yang mesti kita pikirin itu, dimana proposalnya. Proposal itu sekarang gak ada ditangan kita dan jam lima sore nanti kepala sekolah mau liat proposal itu." Lerai Reno berdecak kesal. Keempat anggota OSIS lainnya selain Ikfan, Reno, dan Hanin, nampak mereka terlihat kebingungan dan juga cemas. Sementara Ikfan yang melihat kondisi kacau ini, ia pun membuang nafasnya kasar. "Gue cabut dulu." Ikfan beranjak dari duduknya. "Mau kemana lo, Fan?" tanya Reno. "Jangan balik dulu dong, tanggung jawab kita nih." Sambungnya. Mendengar perkataan Reno, lantas Ikfan menghela nafasnya. "Apaan sih lo, siapa juga yang mau balik. Gue mau cari tu proposal yang gak tau ada dimana." Ketus Ikfan menjawab. "Cari dimana?" tanya Hanin. "Dimana-mana." Jawab Ikfan sekenanya seraya pergi meninggalkan forum diskusinya begitu saja. Melihat kepergian Ikfan dengan raut wajah yang kesal, semua anggota OSIS yang masih setia duduk lesehan di taman pun hanya bisa terdiam dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diartikan. Bahkan Alysa yang sejak tadi memperhatikan mereka dari jarak jauh, ia juga mulai ikut merasa cemas. Ya Allaah, proposal itu dimana ya? ▪▪▪▪▪▪ Setelah meninggalkan forum diskusinya tadi—di taman sekolah—kini Ikfan yang sudah berada di ruangan OSIS, ia terlihat tengah sibuk mengobrak-ambrik seisi ruangan tersebut. Ia melakukan itu hanya karena mencari proposal yang menjadi proker OSIS-nya untuk hari esok. "s**l! dimana proposal itu!" Umpat Ikfan frustasi ketika tidak menemukan apapun. Sedangkan di tempat lain, di taman sekolah, Alysa tengah berpikir akan pergi ke kantin untuk membeli sebuah air mineral. Ia merasa tenggorokannya terasa kering dan harus segera meminum air putih. Saat itu keadaan sekolah juga masih terlihat cukup ramai walaupun sudah bel pulang. Wajar, anak SMA itu 'kan memang sudah biasa setelah pulang sekolah pasti selalu ada yang nongkrong-nongkrong dulu sebelum pulang ke rumahnya masing-masing. Benar begitu bukan? "Bu, beli air mineralnya satu," ucap Alysa pada bibi kantin. "Yang mana?" tanya bibi kantin. "Yang tiga ribuan atau yang dua ribu lima ratusan?" sambungnya lucu. "Yang mana aja boleh, bu." Jawab Alysa sambil tersenyum. "Yang tiga ribu aja ya?" tawar bibi kantin. Alysa pun tersenyum dan mengangguk menyetujui tawaran bibi kantin. "Makasih, bu," ujar Alysa lembut setelah menerima air mineral yang ia beli. "Sama-sama." Saat Alysa hendak pergi dari kantin, tiba-tiba... "Pok, liat nih ada map. Penting kayeknye," ucap mang batagor sekolah yang tiba-tiba datang mendekati bibi kantin tersebut. Mendengar itu, lantas Alysa mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana. "Map ape tu bang?" tanya bibi kantin. "Ane juga kagak tau, kayeknye punya anak sekolahan ini. Ane gak paham, map apaan ini." Jawab mang batagor sambil memegang sebuah map yang terlihat tebal isinya. "Simpen aje bang di sini, nanti juga kalau ada yang nyari, ada yang nanyain," seloroh bibi kantin kalem. "Boleh aku liat itu mang?" tanya Alysa menengahi keduanya. "Oh, boleh dek." Jawab mang batagor seraya menyodorkan map itu kepada Alysa. Lantas Alysa meraihnya. Dengan serius Alysa pun menatap map berwana biru itu lalu ia buka isinya. "Ya Allaah, ini 'kan proposal OSIS untuk acara besok," ucapnya sedikit kaget. "Adek tau itu apa?" tanya bibi kantin. "Tau bi, ini punya..." Alysa menggantung jawabannya, ia bingung harus menjawab apa. Pasalnya jika ia bilang proposal itu punya temannya, benarkah itu punya temannya? Mengenal dekat dengan Ikfan saja Alysa tidak. "Punya siapa, dek?" tanya mang batagor penasaran. Terlihat gelagapan namun berusaha di tutupi. "Punya OSIS." Jawab Alysa akhirnya. "Ohh punya OSIS.... ohiya, kemarin 'kan ada den Ikfan ke kantin sama Hanin, mereka sempet diskusi di warung ibu. Kayaknya ketinggalan deh." Kata bibi kantin baru ingat. Mendengar itu barulah Alysa paham titik kecerobohan Hanin dan Ikfan. "Yaudah mang, bi, aku pamit dulu ya. Mau ngasihin proposal ini." Pamit Alysa. "Iya dek, silahkan." Dengan langkah yang pasti, Alysa pun pergi meninggalkan kantin dan berjalan kembali menuju ke taman sekolah. "Siswa itu kayeknye bukan dari Jakarte ye?" tanya mang batagor kepada bibi kantin setelah kepergian Alysa. "Iye, dia ntu dari Bandung. Ane dulu pernah nanye ke die," jawab bibi kantin sambil sibuk merapikan dagangannya. "Pantesan, gaye bicaranye beda. Lebih lembut dan jarang tu ane denger die ngomong pake lo gue kayek siswa yang laen." "Namanya juga orang Bandung atuh bang... wajar kali." ▪▪▪▪▪▪ Sesampainya di taman sekolah, Alysa mendapati taman sekolah itu sudah terlihat sepi. Bahkan forum diskusi OSIS yang tadi pun sudah tidak ada. Tanpa berpikir panjang, Alysa kembali melangkahkan kakinya menuju ruang OSIS. Barangkali mereka ada di sana. Sepi. Hanya itu yang Alysa dapati saat sudah berada di depan ruang OSIS. Bahkan pintunya tertutup rapat dan terdengar sunyi—tanpa ada suara yang sedang berdiskusi di dalamnya. "Apa mereka semua udah pulang ya?" tanya Alysa monolog. "Terus proposal ini gimana? Katanya jam lima sore sekarang kepala sekolah mau liat hasil proposalnya." Sambungnya lirih. Dengan berdiri memantung di depan ruang OSIS, Alysa terus memegang map biru itu dengan raut wajah kebingungan. Namun sedetik kemudian ia terpelonjak kaget setelah mendengar suara berat mengintrupsinya dari arah belakang. "Lagi ngapain lo di sini?" tegur Ikfan yang tiba-tiba ada di belakang Alysa. Dengan wajah terkejut namun tak dapat Ikfan lihat—sebab wajah Alysa memakai masker berwarna hitam—Alysa pun menoleh Ikfan. "Ma.. maaf," cicit Alysa gugup. Alysa seketika merasa gugup karena Ikfan, lelaki yang selama ini ia kagumi kini ia tengah berdiri tepat di depannya. Melihat gelagat Alysa, Ikfan menaikan satu alisnya. "Ko minta maaf? Gue itu nanya tadi, lo ngapain di sini?" tanya Ikfan lagi terkesan ketus. Mendengar nada bicara Ikfan yang tak bersahabat, Alysa semakin tak berani menatap wajah lelaki itu. Ia hanya terus menunduk—ralat, menjaga pandangan lebih tepatnya—bak anak kecil yang ketahuan mencuri sesuatu. "Mau ketemu kamu," jawab Alysa lirih terkesan ambigu. Mendengar jawaban Alysa, Ikfan semakin dibuat aneh. Bahkan bukan hanya soal itu, mendengar kata "kamu" yang baru saja Alysa ucapkan, hati Ikfan seketika berdesir. "Mau apa ketemu aku?" tanya Ikfan dengan nada yang berubah sedikit ramah dan ia juga merubah gaya bicaranya menjadi aku-kamu. Sejujurnya ia merasa geli sendiri saat mengucapkan kata itu, pasalnya ia terbiasa bicara dengan gaya lo-gue kepada semua teman sekolahnya. Namun karena Alysa berbicara dengan gaya yang berbeda, maka Ikfan pun mengikuti saja gaya bicara gadis itu. "Mau ngasihin map ini, ini tertinggal di kantin," jawab Alysa yang masih lirih dan tanpa menatap wajah Ikfan. Mata Ikfan tertuju pada map biru yang Alysa sodorkan padanya. "Map itu? Map itu ko bisa sama lo?" tanya Ikfan kaget dan kembali merubah gaya bicara "kamu" menjadi "lo" lagi, mungkin dia belum terbiasa. Sambil menggigit bibir bawahnya di balik masker yang ia gunakan, terlihat Alysa tengah berusaha menetralkan perasaannya. Jujur ia sangat malu dan gugup saat ini. "Tadi aku dari kantin dan gak sengaja denger mang batagor kalau dia nemuin map ini. Terus aku coba liat aja, siapa tau aku kenal map itu punya siapa dan ternyata benar map itu punya OSIS. Ada tulisannya di sana." Jelas Alysa dengan sekali tarikan nafas. Mendengar penjelasan Alysa, Ikfan terlihat mengingat sesuatu. "Ya ampun," keluhnya seraya menepuk pelan keningnya sendiri. "Gue lupa kemarin 'kan gue sempet ke kantin sama Hanin." Mendengar keluhan Ikfan demikian, Alysa hanya bisa berdiri terdiam di tempatnya sebari terus menunduk. "Makasih ya," ucap Ikfan seketika. Mendengar itu, refleks Alysa menatap wajah Ikfan, sampai Ikfan juga bisa mendapatkan sorot mata indah yang gadis itu miliki. Hati Ikfan semakin berdesir aneh tatkala melihat itu. Namun sedetik kemudian Alysa kembali menunduk saat menyadari tatapannya terhadap lelaki yang ada di hadapannya. Bukan mahrom. "Iya," lirih Alysa menanggapi. Mendengar itu, Ikfan tersenyum. "Yaudah kalau gitu, aku pamit. Assalamu'alaikum." Ucap Alysa kemudian, lalu bergegas pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban salamnya dari Ikfan. Melihat Alysa yang bergegas pergi, Ikfan hanya bisa terdiam menatap kepergiannya. Dalam hatinya, ia merasa aneh. Ia merasa siswa perempuan ini berbeda dengan yang lain. Jangan Fan, belum waktunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD