Empat

1387 Words
Sama seperti Ikfan, Alysa juga terlihat sedang berusaha untuk menetralkan detak jantungnya saat ini. Untunglah wajahnya selalu tertutup oleh masker, jadi Ikfan tidak dapat melihat wajah Alysa yang gugup dan bersemu malu. "Mm.. aku mau bicara sebentar boleh?" tanya Alysa sungkan. Mendengar pertanyaan Alysa, pikiran dan hati Ikfan tiba-tiba bergemuruh. Relaks Fan, kenapa lo jadi gugup gini di hadapan akhwat? "Boleh," jawab Ikfan yang berusaha untuk terdengar kalem. Sambil menggigit bibir bawahnya di balik masker yang ia gunakan, Alysa berusaha mengeluarkan rangkaian kata untuk diucapkannya kepada Ikfan. "Ini soal undangan kegiatan silaturahim dan kajian akbar ke SMA lain," lirih Alysa tanpa menatap wajah Ikfan, begitu juga dengan Ikfan—ia sama sekali tak menatap wajah Alysa. "Oh, itu," kata Ikfan kalem. "Kenapa?" "Ini undangannya," ucap Alysa sambil menyodorkan surat undangan tersebut kepada Ikfan. Mendengar jawaban Alysa, lantas Ikfan melirik surat undangan yang diberikan oleh gadis itu, kemudian mengambilnya. "Ko ada di kamu?" tanya Ikfan heran setelah berhasil mengambil surat undangan tersebut dari tangan Alysa. Mendapat pertanyaan itu, Alysa pun baru menyadari akan satu hal, bahwa Ikfan sama sekali tak mengenalnya atau bahkan mengetahuinya saja tidak. Dan itu sukses membuat hati Alysa sedikit terusik. "Tadi bu Dewi nyuruh aku buat ngasih itu ke kamu," cicit Alysa menjawab. "Iya tapi ko bisa?" tanya Ikfan lagi. Entah kenapa saat itu ia ingin banyak bertanya kepada gadis yang ada di hadapannya. "Maksud aku, ko bisa undangan ini bu Dewi serahin ke kamu. Bukankah undangan ini ada ditangan anak rohis ya?" sambungnya meralat ucapannya. "Aku salah satu anggota dari rohis." Jawab Alysa cepat. Sedetik kemudian, Ikfan langsung tertegung diam setelah tahu bahwa perempuan yang membuatnya penasaran itu adalah salah satu anggota dari rohis di sekolahnya. "Kata bu Dewi surat itu adalah undangan resmi untuk OSIS. Barangkali kamu mau diskusiin dulu dan—" "Gak perlu diskusi lagi dalam OSIS, kami memang sudah mengiyakannya langsung pada saat Adri membicarakannya tadi sama aku. Insyaa Allaah semua anggota OSIS sudah setuju," sela Ikfan memotong ucapan Alysa. Mendengar itu, Alysa hanya bisa mengangguk kemudian terdiam. Sedangkan Ikfan yang melihat gelagat Alysa yang tiba-tiba terdiam, ia menjadi merasa bingung sendiri. Beragam pikiran mulai menggeluti otaknya. Untunglah, saat Alysa dan Ikfan bertemu, mereka tidak berada di tempat yang sepi, melainkan di tempat yang banyak berlalu lalang siswa dan siswi. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah melarang tindakan khalwat dengan wanita asing, dalam hadits shahih dengan bersabda, “Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut.” (HR. Bukhari & Muslim). Beliau juga bersabda, “Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim. Al-Hakim kemudian menyatakan bahwa hadist ini shahih berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim. Pendapat ini disepakati pula oleh Adz-Dzahabi). "Yaudah, hanya itu yang ingin aku bicarain. Assalamu'alaikum," pamit Alysa akhirnya sebelum memutuskan pergi dari hadapan Ikfan. Mendengar itu, hati Ikfan tak setuju. Pasalnya masih ada satu pertanyaan yang ingin ia lontarkan kepada Alysa. "Tunggu!" cegah Ikfan sebelum Alysa benar-benar pergi. Alysa yang tadinya hendak pergi, tiba-tiba tertahan dan kembali menghadap ke arah Ikfan yang berdiri di belakangnya. Jangan tanya soal perasaanya bagaimana saat lelaki itu menahannya untuk pergi. Sebab, hanya karena hal seperti itu saja sudah dapat membuat jantung Alysa berolah raga dengan cepat. "Iya?" Terdiam cukup lama, akhirnya dengan memberanikan diri Ikfan bertanya. "Nama kamu siapa?" tanya Ikfan. Mendengar itu, tak bisa dipungkiri lagi bahwa Alysa menjadi semakin gugup dan membuatnya terdiam untuk sesaat. "Alysa," lirih Alysa menjawab. "Siapa?" tanya Ikfan lagi karena suara gadis di hadapannya ini cukup pelan dan kurang jelas terdengar oleh pendengarannya. Sambil lagi-lagi menggigit bibir bawahnya, Alysa kembali mengulang ucapannya. "Alysa." Tepat setelah bisa mendengar dengan jelas nama gadis yang ada di hadapannya. Entah kenapa, Ikfan merasa bahagia sendiri. "Kenalin nama aku Ikfan," ucap Ikfan mengenalkan diri sambil menangkup kedua telapak tangannya di depan d**a—jangan lupakan soal pribadi Ikfan, walaupun tak terlihat agamis tapi Ikfan ini cukup mengerti agama. Gak usah ngenalin diri juga aku udah tau. Sambil menggerutu di dalam hati, untuk menanggapi ucapan Ikfan, Alysa hanya mengangguk. "Yaudah, kalau gitu aku pamit. Assalamu'alaikum." Pamit Alysa seraya bergegas pergi dari hadapan Ikfan tanpa menunggu jawaban dari lelaki itu. "Wa'alaikumussalam," lirih Ikfan sambil menatap kepergian Alysa. Setelahnya, Ikfan hanya bisa membuang nafasnya berat. ▪▪▪▪▪▪ "Bang, boleh gak gue nanya?" tanya Ikfan pada Arkan—kakaknya. Malam itu keduanya sedang ada di dalam kamar Arkan. "Boleh," jawab Arkan terkesan kalem. "Abang pernah gak sih ngerasain yang namanya suka sama akhwat?" tanya Ikfan ragu dan itu membuat Arkan langsung menatap Ikfan aneh. Pasalnya baru kali ini adiknya itu mau membicarakan soal perempuan dengannya. Dan benar, sejak Ikfan mengetahui nama Alysa, pikirannya mulai terus tertuju pada gadis itu. Bukan karena baru mengenalnya, tapi karena melihat kepribadian Alysa yang seperti wanita idamannya dalam berpakaian dan bersikap, Ikfan mulai merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya terhadap Alysa. "Jatuh cinta maksud lo?" tanya Arkan. Dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diartikan, Ikfan hanya terdiam—tak menjawab pertanyaan Arkan. Dan melihat gelagat adiknya itu, Arkan sudah bisa menebak bahwa Ikfan memang sedang jatuh cinta. "Bilang sama ayah dan bunda." saran Arkan tiba-tiba. Mendengar itu Ikfan pun menatap abangnya tak percaya. "Gila lo, masa iya gue harus bilang sama ayah dan bunda," ucap Ikfan terdengar sewot. Ikfan memang adik Arkan, tapi jangan ditanya soal cara bicara mereka jika sedang mengobrol. Sebab, jika mereka sedang mengobrol bukan seperti layaknya adik dan kakak, melainkan seperti dengan teman karibnya. "Ya terus, lo pikir bilang sama siapa?" heran Arkan sesantai mungkin. "Tukang becak?" Ikfan mendengus kesal. "Gue serius Bang!" "Lah, gue juga serius kali. Emang lo udah lupa ya sama aturan ayah dan bunda. Kalau kita jatuh cinta, ya jalan satu-satunya adalah menikah. Dalam hadist juga gitu, 'kan?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَمْ أَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ "Saya belum pernah melihat solusi untuk dua orang yang saling jatuh cinta, selain nikah." (HR. Ibnu Majah 1847, Mushannaf Ibn Abi Syaibah 15915 dan dishahihkan Al-Albani). Ikfan terdiam sesaat. Benar juga kata Arkan, karena walau bagaimanapun Arkan dan Ikfan memang sudah di didik agama dari kecil oleh kedua orangtuanya. Jadi tak heran, jika Arkan berkata demikian. "Ya tapi.. masa iya gue nikah, baru juga kelas XI SMA." "Lo udah baligh, 'kan?" tanya Arkan. "Yaudahlah! Lo pikir gue masih bocah!" jawab Ikfan sekenanya. "Lo udah ngerti soal hak dan kewajiban sebagai seorang suami, 'kan?" tanya Arkan lagi. "Udah," jawab Ikfan yang mulai curiga pada arah pembicaraan Arkan. "Yaudah, kalau lo udah tau hal itu. Nikah aja." Kata Arkan dengan sesantai-santainya. Mendengar itu, Ikfan semakin dibuat kesal. Bukannya dikasih saran, malah disuruh nikah. Pikirnya. "Parah lo Bang, adik minta saran malah disuruh nikah! Nikah itu gak gampang, lagian gua juga belum mampu untuk itu," semprot Ikfan. "Nikah itu gampang Fan, manusianya aja yang suka ngeribetin, apalagi suka sampe mempersulit nikah hanya karena soal mahar " timpa Arkan cepat. Tentu, sejujurnya ia tidak serius menyuruh adiknya itu untuk menikah. Ia tahu bahwa Ikfan belum mampu, Arkan berkata begitu karena tidak ingin adiknya itu berpikir yang tidak-tidak soal solusi untuk jatuh cinta. "Ah tau ah! Badmood gue ngomong sama lo!" Ikfan beranjak pergi keluar dari kamar Arkan, namun kemudian langkahnya itu seketika terhenti karena mendengar ucapan Arkan selanjutnya. "Gue serius Fan, kalau lo udah yakin sama pilihan lo dan lo udah ngerasa mampu. Lebih baik nikah aja. Masih muda juga gak papa, itu lebih baik. Pernikahan bisa menjaga lo Fan dari berbagai fitnah. Ayah dan bunda juga pasti setuju sama pendapat gue." Kata Arkan. "Gue gak mau lo tersiksa hanya karena mememdam rasa," Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang memiliki kemampuan hendaklah ia menikah. Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.”Terlalu banyak dalil bahwa wanita adalah fitnah terbesar bagi laki-laki." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ “Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki yaitu (fitnah) wanita.” Bahkan godaan wanita lebih dahsyat daripada godaan setan. Sebagian laki-laki mungkin bisa menahan godaan setan, akan tetapi bisa jadi ia lemah dengan godaan wanita. Allah ‘azza wa Jalla berfirman, إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفاً "Sesungguhnya tipu daya syaitanitu adalah lemah.” [An-Nisa’:76]. Tapi jangan pecaya diri dengan godaan wanita, karena Allah ‘azza wa Jalla berfirman, إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ “Sesungguhnya tipu daya kalian para wanita adalah besar/adzim” [Yusuf:28]. Mendengar perkataan Arkan, perasaan Ikfan semakin tak karuan. Baru juga kenal, deket aja ngga, masa ia tiba-tiba gue lamar. Udah pasti gue ditolak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD