Tiga

1290 Words
Beberapa minggu berlalu, kini dipertengahan semester satu Alysa yang menjabat sebagai bendahara diorganisasi rohis yang ada sekolahnya, ia mulai disibukkan dengan berbagai perpiapan untuk acara silaturahim dan kajian akbar di SMA lain—kunjugan antar rohis. Saat itu dirinya yang baru menyandang status sebagai bendahara di rohisnya, Alysa nampak sedikit kebingungan dan butuh pembimbing. "Inget ya Sa, air mineral jangan lupa dibeli. Walaupun kita sebagai tamu di sana, tapi tetap kita butuh persiapan lebih, barangkali di SMA itu butuh bantuan," ujar bu Dewi—guru pembina rohis. "Baik, bu." Alysa mengangguk paham. "Ohiya, sebagai perwakilan untuk penghormatan sekolah juga, kita bekerja sama dengan OSIS," ujar bu Dewi lagi yang lantas membuat Alysa sedikit terkejut. "Iya bu, Adri juga sudah membicarakan soal ini dengan Ikfan tadi di ruang OSIS. Katanya iya, beliau bersedia untuk bekerja sama dengan rohis untuk silaturahim dan kajian akbar bersama dengan SMA lain." Seloroh Adri yang saat itu menjabat sebagai ketua rohis. Mendengar nama Ikfan disebut, hati Alysa pun mulai bergemuruh. "Baguslah kalau gitu, mmm.. Alysa, ibu boleh minta tolong?" tanya bu Dewi yang kini beralih pada Alysa. "Boleh," jawab Alysa lirih. "Tolong berikan surat ini kepada Ikfan, ini adalah surat undangan resmi dari SMA lain untuk OSIS di sekolah kita. Surat undangan ini baru ibu terima tadi. Jadi kamu berikan padanya ya, Ikfan lebih berwenang dalam hal ini, sebab ia adalah ketuanya. Barangkali dia butuh diskusi dengan anggota OSIS lainnya sebelum menyetujui sepenuhnya undangan ini," tutur bu Dewi yang membuat Alysa terdiam mematung. "Se.. sekarang bu?" tanya Alysa ragu. Jujur rasanya ia tidak sanggup untuk berhadapan dengan Ikfan. Lagi. "Iya sekarang, emang kapan lagi. Acara ini 'kan besok diselenggarakannya." Jawab bu Dewi dengan senyuman hangatnya. Dengan berat hati, akhirnya Alysa menuruti perintah bu Dewi dan meraih surat undangan tersebut—yang sejak tadi dipegang oleh gurunya itu—untuk diberikannya kepada Ikfan. Ujian apa ini ya Rabb? ▪▪▪▪▪▪ Saat pulang sekolah tiba seperti biasa Alysa selalu menyempatkan dirinya untuk sholat ashar di masjid sekolah. Memang sudah menjadi kebiasaan Alysa saat di sekolah, kemana-mana selalu sendirian—tanpa teman yang menemaninya. Bahkan Fira, ia selalu jarang diajak kemana-mana oleh Alysa, Alysa lebih suka sendiri—mengingat ia adalah termasuk makhluk introvert—terlebih memang notaben Fira itu belum hijrah, jadi agak sulit bagi Alysa untuk bisa lebih dekat dengan temannya itu. Usai sholat, Alysa memutuskan untuk duduk di bangku yang berada di depan area masjid sambil berusaha menetralkan pikirannya sejenak. "Ya Allaah, aku kasihnya gimana? Aku malu." Alysa nampak gelisah memikirkan soal perintah bu Dewi tadi yang sampai saat ini belum ia laksanakan. "Tadi aku udah keruangan OSIS, tapi Ikfannya gak ada. Malahan ruangan OSIS itu lagi-lagi terkunci rapat," sambungnya semakin bingung. Dengan menggigit bibir bawahnya, Alysa menatap intens surat undangan resmi tersebut yang akan ia berikan pada Ikfan dan masih berada di genggamannya. "Fan, gua balik duluan ya," pamit Reno saat baru saja keluar dari masjid bersamaan dengan Ikfan—mereka baru selesai sholat ashar. "Oke." Jawab Ikfan lalu mulai memakaikan sepatunya. Tanpa Ikfan sadari, sedari tadi ada dua pasang mata yang memperhatikannya dari kejauhan. Tak terlalu jauh juga sebenarnya, hanya berjarak 4 meter. Dan siapa lagi yang memperhatikannya kalau bukan Alysa—ingat dia masih duduk di bangku yang berada di depan area masjid sekolah. Alysa memperhatikan Ikfan dengan wajah yang tertutupi oleh masker yang selalu ia kenakan seperti biasa—masker berwarna hitam. Setelah mendengar nama Ikfan disebut, langsung saja Alysa peka dan melihat ke arah sumber suara yang masih bisa terdengar oleh telinganya. Dilihatnya Ikfan tengah memakai sepatu, mulai dari kaki kanan terlebih dahulu baru setelahnya kaki kiri. Sebab memang sunnahnya begitu. Yang sesuai sunnah berkaitan dengan memakai sandal adalah memasukkan kaki kanan terlebih dahulu baru kaki kiri. Namun ketika melepas kaki kiri yang didahulukan, baru setelahnya kaki kanan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian memakai sandal, maka hendaklah dimulai yang kanan dan bila dicopot maka hendaklah mulai yang kiri. Sehingga kaki kanan merupakan kaki yang pertama kali diberi sandal dan kaki terakhir yang sandal dilepas darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Karena Ikfan juga manusia yang memiliki perasaan—merasa seperti tengah ada yang menperhatikannya—Ikfan pun menoleh ke arah kiri yang terdapat Alysa yang tengah duduk di sebuah bangku. Kaget. Itulah yang Alysa rasakan saat Ikfan menoleh ke arahnya. Namun sedetik kemudian, ia alihkan pandangannya itu ke arah lain—setelah sejak tadi memperhatikan Ikfan dalam diam. Sedangkan di sisi lain, melihat gelagat Alysa yang begitu, Ikfan semakin dibuat penasaran oleh gadis itu. Berjilbab syar'i dan selalu memakai masker saat di sekolah. Untunglah pihak sekolah tidak pernah menegurnya karena selalu memakai masker. Astaghfirullah, jaga pandangan Fan. Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua mata berzina, dan zina keduanya adalah pandangan” Penamaan zina pada pandangan mata terhadap hal-hal yang haram merupakan dalil yang sangat jelas atas haramnya hal tersebut dan merupakan peringatan keras (akan bahayanya), dan hadits-hadits yang semakna hal ini sangat banyak. Allah berfirman, قلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ…. "Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, “Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”, dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, “Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka….." Saat itu rasanya Ikfan ingin menghampiri Alysa, namun tak bisa sebab dirinya bukanlah mahrom-nya. Apalagi saat itu 'kan Ikfan sama sekali tidak mengenal Alysa, bahkan mengetahui namanya saja tidak. Jadi tidak mungkin juga 'kan jika ia menghampiri gadis itu dengan tiba-tiba. Mau taro dimana muka? Sementara Alysa yang melihat Ikfan hendak pergi, ia pun langsung teringat dengan perintah bu Dewi. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Alysa memberanikan diri berjalan menyusul Ikfan. "Laa ba'sa, ini hanya untuk tugas dan tanggung jawab. Bukan apa-apa," gumam Alysa untuk menenangkan perasaanya sebelum menyusul Ikfan. Dengan langkah yang sedikit cepat, Alysa terus berusaha menyusul Ikfan yang sudah berjalan cukup jauh di depannya. Dan pada saat jarak mereka sudah dekat.... "Permisi!" Sahut Alysa dengan nada yang dibuat berat—padahal suara aslinya itu sangat lembut. Alysa tak mau bersuara lemah lembut di hadapan lelaki non mahram. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rosululloh Shalallahu ‘Alaihi Wa sallam, bahwa wanita adalah salah satu perhiasan dunia yang bisa menjadi fitnah. “Tidaklah ada fitnah sepeninggalanku yang lebih besar bahayanya bagi laki-laki selain fitnah wanita. Dan sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa bani Israil adalah disebabkan oleh wanita.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim no 2740 [97]). “Hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama kali yang menimpa bani isroil disebabkan oleh wanita.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim no 2742 [99]). Segala keindahan yang terdapat dalam diri seorang wanita harus dijaga, bahkan hal yang dianggap remeh pun seperti “suara”. Tanpa pernah kita sadari, suara juga bisa mendatangkan fitnah, meskipun suara itu keluar bukan dimaksudkan secara khusus untuk melagukannya atau untuk menarik perhatian. Untuk itu Allah telah melarang kaum Hawa untuk berlemah lembut dalam berbicara dengan laki-laki agar tidak timbul keinginan orang yang didalam hatinya terdapat penyakit seperti firman-Nya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara dengan mendayu-dayu sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Al Ahzab: 32). Ayat ini turun untuk memperingatkan kita agar lebih berhati-hati dalam mengeluarkan suara kita. Allah juga melarang wanita untuk tidak berkata dengan lemah lembut dengan laki-laki yang bukan mahromnya, Peringatan itu pun semula Allah turunkan untuk Laki-laki di zaman Nabi yang kita tahu bahwa keimanan mereka lebih kuat dan akhlaknya lebih bagus daripada laki-laki di zaman sekarang. Mendengar suara seseorang dari arah belakangnya, lantas Ikfan langsung menolehnya. Deg. Seketika jantung Ikfan berdetak lebih cepat dari biasanya ketika melihat Alysa sudah berdiri tepat di belakangnya dengan jarak yang tak terlalu jauh dan tak terlalu dekat. Dengan berusaha untuk tetap terlihat tenang, memberanikan diri Ikfan bertanya. "Ya? Ada apa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD