Dia teman apa lawan

1340 Words
May menarik nafas panjang. Setelah semalaman berpikir keras, akhirnya dia sudah memutuskan. "Maan, ini May. apa May bisa masuk?" "Masuk saja!" "Aku siap Maaam." Tanpa basa-basi May langsung bicara pada intinya. Satu pukulan di lengan membuat May tertunduk, "Jangan sok tegar! Kalau bukan karena kecerobohan mu, jadinya tidak aka seperti ini." May semakin menunduk. "Kamu tahu, apa akibatnya bila kamu setuju?" May terdiam, "Jawab!" Mamih membentak. May mengangguk, dia tahu apa artinya. Artinya dia harus menjadi pemuas ranjang untuk sang Raja. Mamih menatap May dengan sendu, hatinya masih belum rela bila May menjadi wanita penghibur. Walau dia bukan anak Mamih, tapi dia begitu menyayanginya. Dia membawa May duduk di sampingnya. "Andaikan kamu tidak berani menentangnya, mungkin dia tidak penasaran dan tidak akan meminta kamu sama Mamih." hembusan nafas panjang mengiringi kesedihan. "Tapi sekarang sudah terlanjur, kecuali kalau kamu__" "May siap, Mam! Hanya tidur dengannya dan mereka apa yang aku jaga, setelah itu beres. Iya, kan!" May kembali mendapatkan pukulan, "Itu belum cukup!" Kening May mengerut, "bukannya, selalu seperti itu?" Inilah yang Mamih permasalahkan. Permintaan Darka bukan hanya untuk satu malam seperti biasanya, tapi dia menginginkan May untuk selama-lamanya. Dengan artian May akan jadi teman hidupnya untuk selamanya. "Maaam, sebenarnya ini bagaimana?" May meminta penjelasan. Karena yang dia tahu setelah satu malam semua selesai. "Tuan Darka bukan hanya mendapatkan kegadisan mu, tapi juga akan mendapatkan seluruh hidupmu." "Apa!" May berteriak. Dia berdiri dan menatap Mamih. "Maksud Mamih, May akan jadi simpanan dia!" May menunjuk kearah belakang. Mamih mengangguk, "Dan selamanya kamu mungkin tidak bisa mendapatkan kebahagiaan karena Tuan Darka tidak bisa hidup tanpa dikelilingi wanita." May tersenyum miris, Tuhan, inikah jalan yang kau berikan padaku. Mamih memeluk May, "Maaf, karena kamu hidup bersama Mamih." May menggeleng, "Mamih jangan minta maaf May malah bersyukur karena sudah bertemu Mamih yang begitu menyayangi May walaupun May bukan anak kandung Mamih. Mereka saling berpelukan dan menangis bersama. Setelah itu, May mengusap wajah Mamih yang basah. May tersenyum, "apapun resikonya, May siap, Mam." Mamih tertegun. Dia tidak percaya dengan apa yang May ucapkan. "Tidak apa, lakukan semua yang dia inginkan. Mungkin dengan cara ini, May bisa membalas semua kebaikan Mamih." Mamih semakin menangis, dan mengusap wajah May, dia tidak menyangka kalau anaknya yang biasanya seperti anak kecil sudah dewasa. "Mamih harap, kamu bisa bahagia di sisi tuan Darka ya Maaay." "Bahagia. Itu akan May usahakan." May tersenyum. Tapi sayang, senyum itu, bukan senyum bahagia. Mamih mencium pipi May, "Kamu harus bahagia karena setelah ini, kamu akan tinggal bersama Tuan Darka." May membulatkan mata. "Maksud Mamih, aku harus tinggal di sana? Bareng orang sombong itu!" Mamih menjitak May, "siapa bilang Tuan Darka sombong! Kamu, ada-ada saja. Tapi mungkin karena kamu belum kenal dia." Mamih mengusap kepala May. "Tuan Darka tidak sombong. Tapiii... dia memang sedikit, yaaa... kamu harus maklumlah. Diakan orang kaya dan kita?" Mamih menarik nafas sambil mengangkat pundak dan kedua tangannya terbuka di samping pundak sambil menggeleng. "Makanyaaa, Mamih harap, kamu tidak memakai hati ketika nanti satu rumah dengannya karenaaa, bisa saja kamu akan di campakkan setelah dia puas denganmu." Mamih menampilkan wajah sendu. Namun May malah tersenyum, "malahan itulah yang May inginkan setelah mendengar apa tujuannya." Mamih menggeleng, "Terserah kamu. Tapi ingat, jangan pernah memakai hati." May tersenyum, "Pokonya, Mamih percaya sama aku, tidak akan pernah ada yang namanya cinta dalam hatiku untuknya. Aku pasti tahu batasan hati diri-sendiri. Lagian ya, Maaam, siapa yang mau jatuh cinta pada orang sombong kaya begitu!" Mamih tersenyum "Mamih akan selalu menunggumu, Kembalilah kesini karena kamu masih anak Mamih." "Aduuuh... Mamihku memang yang paling baik! Sini-sini, aku mau peluk." May merentangkan tangan untuk memeluk Mamih. Tanpa mereka berdua sadari, ada seseorang yang mendengar semua pembicaraan. Tangannya langsung terkepal dan giginya tertutup rapat menahan amarah. Dia tidak menyangka, kalau di tempat seperti ini masih ada yang perawan. Padahal selama yang dia tahu, May pun selalu melayani tamu yang cukup buas menurutnya. Kenapa dia tahu? Karena selama ini semua tamu yang akan May dapatkan selalu dia selang lebih dulu. Jadi May itu harus selalu menggunakan sisa dia. Tapi sekarang, kenapa May masih perawan? Tangannya semakin mengerat ketika tahu kalau May akan mendapatkan orang yang begitu kaya. Aku harus melakukan sesuatu, supaya Tuan Darka tidak memperlakukannya dengan baik. Terlihat ada senyum yang mengejek di kedua sisi bibirnya. Dia tahu apa yang harus di lakukan. "Maaaay," panggilan Kia membuat May dan Mamih saling melepaskan. "May keluar dulu, ya Mam. Jangan lupa jawab ya pada si sombong." Mamih tersenyum dan mengangguk, "Terima kasih, Nak." May mengangguk dan dengan langkah malas, May pergi dari kamar Mamih. "Kamu kemana saja, aku cari susah banget!" Bibir Kia mengerucut karena kesal. "Mau apa cari aku?" May duduk di kursi makan. Kia ikut duduk di depannya."Aduuuh, jangan disini bicaranya. Bagaimana kalau dikamar kamu." May memutar kepala dan beranjak pergi di ikuti Kia dari belakang. "May, kita main ke clab, yu?" Kia bicara enteng tanpa beban. May langsung menendang tulang kering Kia. "Awwwhh, b*****t!" Kia langsung mengusap kakinya, "ya ampun Maaay, apa yang kamu lakukan? Sakit banget tahu!" "Lagian, bicara seenaknya saja. Di dengar Mamih di marahin nanti." Kia bengong, "Lah, ko dimarahi? Mamih itu bakalan senang. Karena mungkin dari sana kita bisa dapat mangsa yang lumayaaan." May mengerucutkan kening, "lumayan gimana? Kitakan harus jaga diri. Karenakan__" May terdiam karena apa yang ingin dia rahasiakan, nyaris di ketahui orang lain. "Kan apa sih May?" Kia menatap, "Kenapa aku merasa kalau kamu itu __" "Maksud aku, mana ada Mamih senang. Kalau kita malah mempertaruhkan hidup kita demi uang. Mamih enggak pernah mengajarkan seperti itu. Jadi, jangan coba-coba kamu pergi ke sana." May berharap alasannya di terima. "Ayolah Maaay, sekali ini saja. Kenapa, sih! Kamu kan belum pernah ke sana." Kia menatap May meminta untuk di temani. "Ayolaaah, ya, ya, ya." Kia terus saja mendesak supaya mereka bisa pergi ke clab. "Enggak! Lebih baik kita pergi ke warung kopi Mbok Nar. Ayo cepetan!" May menarik lengan Kia. "Eeeeh... entar dulu." Kia menepis tangannya yang ditarik. "Mau apa lagi? Katanya mau Aku temani minum." May kembali menggapai tangan Kia. "Yakin Lo, May! Mau pergi seperti itu?" Kia meyakinkan May. Pasalnya, May hanya memakai celana sebatas paha dan kaos yang super ngepas banget di tubuhnya. Sedangkan, selama ini, Kia belum pernah sekalipun melihat dia berani kaya gitu ketika mau keluar. May menatap baju yang dikenakan. "Ya ampun!" Dia langsung menepuk jidat. "Untungnya, kamu menyadarkan aku Ki. Kalau enggak, bisa malu sampai mati nih!" May berjalan mendekati lemari, dia mencari celana panjang dan jaket untuk menutupi tubuhnya yang terlihat menggoda. "Aku udah nih! Cepetan kita pergi. Kalau kamu enggak usah ganti. Udah cantik begitu." Kia memukul tangan May. "Mentang-mentang aku sudah biasa kaya gini. Tunggu bentar, gua minjen baju hangat!" tanpa permisi Kia mengambil baju May. "Aku harus jaga diri malah ini, karena besok punya pelanggan spesial. Harus jaga diri." Kia tersenyum. "Preeet, jaga diri! Tadi malah maksa pengen masuk ke clab." May mengejek Kia yang menurutnya rada plin-plan. "Aku baru ingat Maaay, manusia itu tempatnya salah dan lupa." Kia tersenyum. "Iyaaa... gimana Kia sajalah! Yang penting tidak merugikan Aku. Ayo ah, kita ke warung kopi Mbok Nar." May menggandeng tangan Kia. Mereka pun pergi ke warung kopi. "Mbok Nar! Seperti biasa yaaa, kopi s**u sama pisang goreng anget!" May berteriak pada sang penjual. Mbok Nar melihat dan tersenyum, "Nanti dulu ya Non. Ini punya orang dulu." "Kamu bisa kenal sama ibu warung? Kayanyaaa, kamu sudah biasa datang kemari " Kia menatap May. "Yaaa... gitu. Soalnya kalau lagi suntuk, aku pasti kesini. Buat ngopi atau nongkrong sambil cuci mata." May tersenyum. "Pret! Cuci mata apaan. Yang ada sepet nih mata, yang bisa di lihat cuma bapak-bapak yang kuli panggul dan kuli bangunan." Kia manyun. "Jangan salah Non, yang kuli-kuli itu, perutnya bisa kotak-kotak roti sobek loh. Kalau Non enggak percaya, bentar lagi mereka datang ko." Mbok Nar menyangkal perkataan Kia. May hanya tersenyum menatap temannya. "Tuh, Non. Mereka oke, oke kan." Mbok Nar menunjuk pada segerombolan laki-laki yang memang membuat mata Kia melotot, pasalnya memang benar apa yang di katakan Mbok Nar. "Aduh Maaay... yang bawah Gue basah!" "b*****t!" May memukul kepala kia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD