Dua

994 Words
Dylan menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang sangat nyaman di ruang keluarganya. Dia memejamkan matanya sejenak menghilangkan rasa lelah yang ada dibenaknya. Pikirannya kembali melayang pada kejadian saat menghadiri resepsi pernikahan sahabatnya tadi. Dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari teman satu genknya. *** 2 jam yang lalu Dylan berjalan menghampiri dua orang lelaki yang bertubuh tinggi dan tegap. Sebuah senyuman yang sangat manis terlihat begitu indah di bibirnya. "Hai Bro...," kata Dylan sambil meninju pelan d**a kedua orang itu silih berganti. "Hai Bro, ke mana saja loe gak pernah keliatan? Gue sama Dirga nyariin loe tapi loe gak bisa di hubungi" tanya seorang dari mereka. "Bener tu kata Arlan, kita coba hubungi loe susah banget, padahal kita mau ngajak loe jalan," kata Dirga. "Gue sibuk sama bisnis dan sama kuliah gue," jawab Dylan. "Jangan terlalu sibuk lah Dyl, loe udah tua, cari cewe terus nikah. Lagian ngapain loe ngotot ambil S3?" kata Arlan. "Halah ujung-ujungnya loe pada cewe yang di urusin," elak Dylan. "Inget umur loe udah mau 30 lebih, gue sama Arlan udah punya bini. Tuh Dio juga udah nikah, loe kapan?" kata Dirga. "Kapan-kapan deh," kata Dylan sekenanya. Dylan merupakan seorang pemilik caffe yang telah memiliki cabang di berbagai daerah. Selain itu, dia juga tengah kuliah S3 pada kampus yang sama dengan Bianca. Dia seorang pria yang sukses dan tampan. Banyak perempuan yang selalu memandang Dylan dan mengharap bisa bersama Dylan. Tapi sayang, entah kenapa dia tidak tertarik pada satu-pun perempun yang mendekatinya. "Woi loe ngelamun ya Dyl?" tanya Arlan saat melihat Dylan hanya terdiam. "Gue balik dulu," kata Dylan menghindari pertanyaan teman-temannya. Ya, pergi adalah jalan terbaik bagi Dylan untuk menghindari pertanyaan yang selanjutnya. Dylan memang sangat tak menyukai jika seseorang mempertanyakan statusnya yang masih single. *** Sekarang Huft... berulang kali Dylan menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan--mencoba menghilangkan semua pemikirannya tentang apa yang dia bicarakan dengan kawan-kawannya. Selalu dan selalu hal itu menjadi pembicaraan utama saat mereka sedang berkumpul bersama. Bagaimanapun dari empat s*****n itu hanya Dylan saja yang belum memiliki istri, jangankan istri, pacar saja dia tidak punya. Dylan terkenal sebagai seorang pria yang sangat dingin terhadap perempuan. Dia tidak pernah tertarik sedikitpun pada perempuan yang mendekatinya. Normalkah dirinya? Pertanyaan itu sering sekali dia lontarkan pada dirinya sendiri, tapi dia tidak pernah mendapatkan jawabannya karena dia memang tidak dapat memastikannya. Tapi sekarang... saat seorang perempuan dingin tidak sengaja di tabraknya, hatinya mulai berdegup kencang menandakan bahwa dia masih normal, masih menyukai perempuan. Ya, seorang Bianca Alisia mampu menjawab semua pertanyaan yang ada di dalam benak Dylan selama bertahun-tahun. Dylan tersenyum sendiri saat membayangkan sosok Bianca yang baru dua kali dia temui. "Bianca Alisia," gumam Dylan perlahan. Perlahan Dylan memejamkan matanya dan berharap jika dapat bertemu lagi dengan Bianca walau hanya dalam mimpinya malam ini. *** Pagi menyapa setiap insan yang ada di muka bumi. Burung berkicauan silih berganti menyambut Sang mentari yang perlahan menampakkan diri dan memberikan sinarnya. "Hhhmmm..." hanya kata itu yang keluar dari bibir Bianca saat sinar mentari memasuki celah gorden kamarnya. Bianca kembali mengulat dan menutup tubuhnya dengan selimut yang cukup tebal. Dia masih belum ingin bangun dan masih ingin terlelap dalam mimpi indahnya. Rasa lelah yang di alaminya karena semalam menghadiri pesta pernikahan temannya kemudian jalan-jalan malam dengan beberapa kawannya membuat tubuh Bianca terasa lelah dan lemah. Tok... tok... tok... suara ketukan di pintu kamarnya memaksa diri Bianca untuk membuka matanya segera. "Non...," terdengar suara pembantu Bianca dari balik pintu. "Ada apa, Mbak?" tanya Bianca tanpa beranjak dari tempat tidurmya. "Ada kiriman bunga, Non." "Buang saja seperti biasanya." Kiriman bunga di pagi hari memang bukan sesuatu yang aneh bagi Bianca. Hampir setiap pagi dia menerima kiriman bunga dari para 'penggemarnya' hingga membuat Bianca bosan dengan semua bunga itu dan memilih membuangnya. "Tapi Non...," kata pembantuku. "Ada apa, Mbak?" "Bunganya sangat besar, Non." "Sebesar apa bunga itu hingga pembantuku tidak dapat membuangnya?" gumam Bianca pelan. Bianca segera beranjak dari tempat tidurnya dan menggulung rambut panjangnya hingga hanya menyisakan beberapa anak rambut nakal saja yang tergerai dan menjadi pemanis wajahnya. Bianca mencuci muka terlebih dahulu kemudian berjalan menuju pintu kamarnya dengan sesekali membereskan pakaiannya. "Sebesar apa sih, Mbak?" tanya Bianca. "Besar sekali, Non," kata pembantunya. Bianca yang sebelumnya tidak pernah peduli dengan semua bunga yang di kirim untuknya, kini mulai peduli dengan hal itu. Tidak, Bianca bukan peduli tapi penasaran. Penasaran sebesar apa bunga yang dia terima hingga pembantunya tak dapat membuangnya. Langkah kaki Bianca yang tergesa-gesa terdengar memecahkan seisi lantai dua rumahnya. Dengan terburu-buru namun hati-hati, Bianca menuruni tangga rumahnya. "Di mana Mbak bunganya?" tanya Bianca. "Di depan, Non," jawab pembantunya. Bianca membuka pintu depan rumahnya dan betapa terkejutnya dia dengan apa yang ada di hadapannya. Sebuah rangkaian bunga mawar merah membentuk namanya dengan sangat sempurna. "Wow amazing," gumam Bianca tak percaya dengan apa yang dia lihat. Bianca berjalan mendekat ke arah bingkai bunga yang begitu indahnya. Dia sungguh tidak percaya ada orang yang mau mengeluarkan uang entah berapa banyak hanya untuk membeli bunga seindah ini. Perlahan Bianca mencium bunga yang ada di hadapannya dan menikmati aromanya yang begitu wangi. Dia mengitari bunga yang begitu indah itu dan mencari siapa yang mengirim bunga yang begitu inda untuknya. Tapi sayang, Bianca tak menemukan satu pucuk surat pun di dalam bunga itu, itu benar-benar bunga seutuhnya. "Mbak, ini mau di simpan dimana?" tanya salah seorang kurir yang mengantarkan bunga itu. "Di belakang saja di dekat kolam renang," jawab Bianca, "Mbak tolong tunjukkan jalannya pada Masnya ya." Bianca masih tidak percaya jika dia akan mendapatkan kiriman bunga yang begitu indahnya. Dia masih saja melamun saat kurir yang membawa bunga ada di hadapannya.a Bianca sungguh masih tenggelam dengan semua pertanyaan di dalam hatinya. "Mari, Mbak," kata seorang kurir. "Sebentar Mas, yang mengirim bunga itu siapa?" tanya Bianca. "Maaf, kami tidak tahu Mbak." "Baiklah, terima kasih." Bianca melangkahkan kakinya ke dalam rumah dan berjalan ke arah kolam renang. Dia ingin menatap bunga yang begitu indah itu dengan puas. "Dari siapa ini?" tanya Bianca pada dirinya sendiri
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD