Tiga

950 Words
Bianca masih terus menatap buket bunga yang di tata rapi hingga membentuk namanya. Dia masih terus berpikir siapa yang mengirimkan bunga itu kepadanya. Satu keyakinan dalam hatinya bahwa tak mungkin jika teman kampusnya yang mengirim bunga itu. Seberapa kaya-pun teman kampusnya, tak mungkin ada yang mau membuang uang orang tuanya hanya untuk membeli mawar seperti ini. "Non, sarapannya sudah siap," kata pembantu Bianca. Sarapan? Bianca tertegun mendengar perkataan pembantunya. Dia sungguh tak ingat waktu hingga dia hampir saja akan melupakan sarapannya di pagi yang cerah ini. Bianca beranjak dari tepian kolam renang dan masuk menuju meja makan. Di sana sudah terhidang nasi goreng seafood kesukaannya Bianca duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan secara sembarang. Ya, dia selalu makan sendiri hingga Bianca dapat duduk di manapun sesuka hatinya. Sepi, itu yang Bianca rasakan setiap kali ia makan di rumah. Dia sangat merindukan masa-masa saat orang tuanya dapat menemaninya makan bersama. Tapi sekarang, mereka sungguh tak punya waktu walau hanya sejenak. Mereka terlalu sibuk dengan semua pekerjaannya hingga tidak sempat menemaninya walau hanya sesaat. Mereka hanya tahu memberinya uang dan uang. "Non, apakah masakan saya tidak enak?" tanya pembantu Bianca saat menyadari kalau Bianca hanya menatap makanannya tanpa menyentuhnya. "Eh... tidak ko Mbak, masakannya enak seperti biasanya," jawab Bianca. Ya, pembantunya memang menemaninya makan tapi tetap dia bukan orang tuanya. Bianca hanya butuh orang tuanya walau hanya sejenak. Dengan hati yang pilu, dia paksakan nasi goreng yang ada di hadapannya untuk masuk ke dalam perutnya yang sudah mulai lapar. Ini bukan hanya tejadi sekali ini saja, tapi hampir setiap kali makan di rumah, Bianca merasakan rasa sepi seperti itu. Di rumahnya banyak orang, tapi hatinya merasa kesepian. Bianca kesepian dan kekurangan kasih sayang dari orang tuanya. "Aku sudah selesai mbak," kata Bianca sambil berlalu dari meja makan. Kembali Bianca berjalan menuju kamarnya. Hari ini ada kuliah jam sepuluh hingga dia harus segera bersiap jika tak ingin terlambat sampai kampus. *** Bianca terlihat sangat cantik dalam balutan celana jeans berwarna biru yang di padukan dengan baju kaos berwarna senada. Dia sengaja membiarkan rambut panjangnya yang masih basah tergerai dan di sapu angin. Bianca tak terbiasa menggunakan hair dryer. Dia lebih suka membiarkan rambutnya kering dengan sendirinya. Bianca melangkahkan kakinya memasuki jazz hitam kesayangannya. Setelah meletakkan semua buku dan tugas kuliah di jok samping, Bianca segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Deru mesin mobil milik Bianca membelah kemacetan ibu kota yang masih saja parah walau telah berganti gubernur beberapa kali. Tiba-tiba Bianca merasa ada yang aneh dengan mobilnya hingga dia segera menepikan mobilnya. Setelah berhenti Bianca segera turun dari mobil dan membuka cup depan mobilnya. Asap pun keluar dari mobil Bianca menandakan bahwa mobilnya bermasalah. Bianca segera menelpon montir untuk membawa mobilnya ke bengkel. Raut wajah kesal sangat terlihat jelas di wajah Bianca atas apa yang menimpa mobilnya. Berulang kali Bianca melihat jam yang melingkar di lengannya. Dia berharap tak akan telat masuk kuliah. Berulang kali Bianca berusaha menyetop taksi yang lewat di hadapannya, tapi tak ada satu pun taksi yang berhenti. Hingga akhirnya sebuah mobil ferrari keluaran terbaru berhenti di hadapannya. "Butuh tumpangan?" kata pengemudia ferrari setelah membuka kaca mobilnya. "Siapa ya?" "Aku Dylan, yang semalam," "Oh iya maaf aku lupa," "Mau ke kampuskan? Bareng saja, aku juga mau ke kampus ketemu dosen," "Hhhhmmm...," "Ayolah sebelum terlambat nanti," Tanpa pikir panjang Bianca-pun naik ke mobil milik Dylan. Memang, jika dia tak menerima tawaran Dylan maka dia akan terlambat untuk sampai di kampus. Selama perjalanan Bianca hanya diam seribu bahasa walau Dylan berusaha mengajaknya berbicara. Kondisi seperti ini benar-benar tak nyaman bagi Dylan. Dylan tak pernah mengenal seorang perempuan yang begitu dingin sedingin salju sepertu Bianca hingga tak merespon saat di ajak berbincang-bincang dengannya. Bianca memang baik, tapi sikapnya sangat dingin terhadap makhluk yang bernama laki-laki. Dia membuat sebuah benteng yang sangat tinggi antara dirinya dan sosok lelaki mana pun. "Sudah sampai," kata Dylan saat sampai di parkiran kampus. "Terima kasih," "Kamu pulang jam berapa, biar nanti kita bereng," "Tidak usah terima kasih, aku naik taksi saja," Bianca keluar dari mobil Dylan dan meninggalkan Dylan yang masih bengong dengan apa yang baru saja terjadi. Dylan masih tak percaya ada perempuan yang menolak di antar pulang dengan ferrarinya padahal banyak perempuan di luar sana yang berharap dapat naik mobilnya. Setelah beberapa kali menarik nafas dalam, akhirnya Dylan keluar dari mobilnya dan segera berjalan ke arah fakultasnya untuk bertemu dengan dosennya. *** Bianca sama sekali tak dapat berkonsentrasi pada mata kuliah yang sedang dia ikuti. Entah kenapa pikirannya selalu memikirkan sosok Dylan yang telah baik kepadanya. Selama ini Bianca tak pernah menerima tawaran siapa pun untuk pulang atau berangkat kuliah bareng, apalagi seorang laki-laki. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya setelah kejadian itu Bianca mau menerima ajakan seorang laki-laki untuk berangkat kuliah bareng. "Bi...Bi...," bisik Rania. "Eh...ada apa Ran?" "Kamu bengong mulu, ada apa?" "Tak ada, aku hanya sedang memperhatikan dosen," Rania kembali terdiam saat memdengar jawabanku. Dia tak akan berani bertanya lagi karena dosen hari ini terkenal sebagai dosen killer di kampus. Kembali Bianca mencoba memfokuskan dirinya pada mata kuliah yang sedang berlangsung. Tapi dia benar-benar gagal untuk fokus. "Dylan," gumamnya saat melihat seorang laki-laki mengetuk pintu ruang kelasnya. "Ya Dyl ada apa?" tanya dosen Bianca sambil berjalan keluar kelas. Sosok Dylan benar-benar telah mengalihkan perhatian Bianca. Baru kali ini dia memperhatikan sosok seorang laki-laki lagi. "Kenapa aku memperhatikannya?" gumam Bianca masih tak percaya. Bianca segera menepiskan semua pemikirannya dan berusaha untuk tak melihat Dylan yang sepertinya telah menyadari bahwa Bianca menatapnya. Bianca mencoba menyibukkan  diri dengan membaca buku yang ada di hadapannya walau buku itu bahkan telah diingat Bianca apa saja isinya. "Tidak, aku tak boleh memperhatikannya kalau tak ingin terluka lagi. Dia hanya menyukai fisikku," kata Bianca dalam hati
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD