Dirgantara 2

1226 Words
Budiman Dirgantara adalah anak dari Hendrawan Budiman, seorang pengusaha texstil paling besar di Indonesia. Sebagai buruh pabrik biasa, aku tidak mengenalnya terlalu jauh. Bahkan seingatku, kami hanya berpapasan satu kali, itupun aku berbaur dengan banyak karyawan lain, jadi mustahil ia melihatku secara khusus. Meski tampan dan punya style keren, Dirgantara cukup ditakuti karena masa lalunya. Sudah menjadi rahasia umum kalau dia pernah menjadi tersangka utama kasus pembunuhan, lebih tepatnya, menabrak seseorang hingga mati. Tapi karena uang juga latar belakangnya, ia dibebaskan begitu saja. Semua temanku di pabrik berpendapat kalau Dirgantara tidak punya perasaan. Dulu saat kasus masih berlangsung, Dirgantara tidak berempati sedikitpun. Ia tidak mengucapkan bela sungkawa atau penyesalan. Di depan mediapun, ia hanya menunduk dan enggan mengatakan apapun. Itu adalah gambaran jahat yang aku dengar dari media juga desas-desus di tempat kerja. Sekarang, tinggal diriku, ingin tetap maju atau menolaknya saja. Aku mungkin saja akan berakhir tidak nyaman kalau sampai ketahuan. "Nik, kamu tahu bos Dirgantara?" tanyaku pada Menik, teman sekerja. Saat itu, kami tengah makan siang bersama di dekat tangga darurat. Keuangan kami sama-sama sedang sekarat, jadi memilih membawa bekal ketimbang jajan di kantin. Seperti biasa, menu andalan kami adalah mie goreng instan. Menik terdiam sebentar, mungkin heran dengan topik bahasan yang tidak biasa itu. "Kenapa memangnya?" gumamnya penasaran. "Bukan apa-apa, cuma aku pernah dengar dia sedikit jahat." "Bukan sedikit lagi, tapi dia benar-benar pria yang berbahaya. Minggu lalu, ada petugas kebersihan yang masuk ke ruang kantornya untuk menyedot debu. Kudengar masalahnya sepele, tapi bos Dirgantara itu meluapkan amarahnya dengan bicara kasar. Bukan hanya itu saja, ia melempar keluar penyedot debu hingga petugas itu ketakutan. Tidak sampai disitu, tiga hari kemudian, ia memecatnya tanpa pesangon," kata Menik dengan nada yang menggebu-nggebu. "Bukannya memang ada aturan kalau petugas kebersihan tidak boleh masuk ke ruangannya lagi?" ucapku pelan. Pada dasarnya, orang punya daya sensitif yang berbeda. Mereka akan bereaksi keras saat hal pribadinya diusik, terutama kalau itu adalah penderita imsomnia dengan gejala traumatik. "Jangan bicara aturan, tapi pikirkan secara kemanusiaannya saja," kilah Menik tidak suka. Aku akhirnya memutuskan untuk diam. Akan terlihat aneh dan menyebalkan kalau aku tidak setuju dengan pendapatnya. Kami berada di tingkat yang sama. Jadi ada baiknya tahu diri agar hubungan antar teman tidak hancur hanya karena asumsi pribadi. Sorenya, aku kembali menjenguk Bella. Seperti biasa, ia masih berbaring lemah dengan tatapan menyedihkan. Hasil operasi kemarin cukup berhasil, tapi tidak banyak membantunya untuk pulih. Rusuknya masih harus diterapi agar bisa kembali ke kondisi semula. Tentu saja, semua itu membutuhkan biaya tidak sedikit. "Mbak, kalau memungkinkan saya ingin minta gaji dua bulan saya besok," kata bibi yang bertugas menjaga Bella. Ia sudah cukup tua sebenarnya, tapi gerakannya masih lincah dan pekerjaannya pun tergolong rapi dan bersih. Aku jelas suka, tapi mendengarnya bicara seperti itu, sedih juga. "Tapi, Bi?" gumamku keberatan. Aku bahkan tidak punya cukup uang untuk membayar gajinya di awal. "Anakku membutuhkannya untuk membayar sekolah besok. Maaf kalau kamu tidak bisa, aku terpaksa berhenti kerja. Selama ini, kamu sering telat membayar upah dan itu cukup merugikanku," ucapnya pelan, seperti tidak enak hati. Aku menghela napas dalam-dalam lalu mengangguk sembari mengucapkan maaf. "Aku usahakan besok," kataku tidak yakin. Darimana aku bisa dapat uang dalam satu malam? Cicilan rumah sakit saja belum aku setorkan. Kalau begini terus, bisa-bisa perawatan Bella tidak akan maksimal. Para klienku keadaannya sudah mulai membaik dan tidak lagi memanggilku sesering dulu. Alhasil, pemasukanku nyaris nol. Dalam perjalanan pulang itulah, sebuah nomor asing memanggilku. Begitu bicara, suara bass milik Dirgantara langsung aku kenali. "Mulailah kerja malam ini. Biasanya, berapa durasi terapi yang kamu lakukan?" tanyanya dari seberang. "Paling lama enam puluh menit. Paling sebentar empat puluh lima menit," sahutku bicara terbata di antara suara lalu lalang kendaraan. "Baiklah, kamu ke sini saja dulu. Kita harus bicara dan membuat kesepakatan kerja," ucapnya sembari menutup panggilan itu. Wataknya benar-benar sama dengan Sisil. Egois sekaligus tidak mau tahu. Padahal sebelumnya aku paling anti menerima pekerjaan dadakan seperti ini. Para klien biasanya harus membuat janji jauh-jauh hari. Sekarang, semua itu tidak bisa aku terapkan dengan alasan keadaan. Lima belas menit berselang, aku sudah sampai di depan gerbang kompleks. Tidak seperti sebelumnya, satpam yang kemarin langsung memberiku akses masuk. Mungkin, Dirgantara sudah berpesan padanya tentang diriku. Sebelum benar-benar sampai di depan pintu rumah, aku dengan sigap memakai masker. Tidak lucu kalau ia sampai tahu kalau aku adalah buruh di pabrik kainnya. "Kita bicara di luar saja, silahkan duduk di sana," kata Dirgantara yang berdiri menunggu di balik pagar tinggi rumahnya. Ia hanya mengijinkanku memarkir kendaraan di luar pagar. Apa boleh buat, ia terlihat tidak nyaman dengan keberadaan orang asing di property pribadinya. Jadi aku berusaha maklum dan masuk setelah mengunci stang motor. "Apa kamu punya lisensi?" "Tidak," jawabku lugas. Menghadapi pria perfecksionis memang harus apa adanya. Kalau kita takut dan menunduk, mereka akan semakin semena-mena. "Jadi maksudmu usahamu illegal?" "Bisa dibilang begitu. Kenapa tidak tanya Sisil saja untuk detailnya? Aku tidak pernah memaksa untuk dipekerjakan. Klien adalah orang yang paling membutuhkan. Mereka datang padaku karena yakin denganku. Selama ini, aku berhasil meminimalisir gangguan tidur mereka tanpa obat-obatan medis. Bukankah itu juga yang anda cari? Dilihat dari wajah, anda sudah lama tidak bisa tidur nyenyak. Aku bisa membantu kalau mau, tapi tentu saja aku bukan pengemis kerja." Aku membalas tatapan Dirgantara dengan tenang. Jujur, aku merasakan aura gelap yang melekat di wajahnya yang rupawan. Bisa jadi, dia tidak hanya perfecksionis, tapi juga sosiopat. Caranya memperlakukan Sisil kemarin bahkan tidak lebih baik dari sekarang. "Kamu cukup menarik. Aku pikir kamu tidak akan datang setelah tahu siapa aku," gumamnya menyilangkan tangan di depan d**a. "Tidak ada alasan untuk menolak. Terlebih Sisil menjanjikan padaku bayaran besar." "Jadi ini hanya karena uang?" ucap Dirgantara sinis, terkesan merendahkan. Tingkahnya itu langsung mematik api dalam hatiku. "Apa menginginkan uang termasuk kejahatan?" balasku menusuk. Dirgantara lantas membisu, raut wajahnya pun langsung berubah. "Kenapa? Kamu tersinggung?" "Tidak. Aku selalu menganggap kalau ucapan para penderita insomnia adalah bagian halusinasi," ucapku berusaha sekuat tenaga menekan amarah. Terlalu buang-buang waktu kalau harus memperdebatkan hal yang tidak perlu. Tapi ini adalah karakter. Kalau aku mau menerima Dirgantara menjadi klienku, bukan tidak mungkin kami akan ribut setiap bertemu. "Cukup dengan omong kosong ini. Ayo masuk dan lakukan terapi." Dirgantara langsung berdiri, mengabaikan kertas perjanjian kerja yang sempat ia tawarkan padaku tadi. Wajahku langsung memucat,"Di mana Sisil? Dia harus mendampingimu juga." Dirgantara menyeringai kecil, sadar dengan kegelisahanku. Sungguh, aku benar-benar tidak nyaman dengan situasi ini. Berdua dengan klien dewasa tanpa pendampingan bukanlah bagian dari pengobatan. "Berapa banyak uang yang ia tawarkan padamu? Aku akan membayarmu lima kali lipat. Kalau perlu, aku akan menstransfernya sekarang." Dirgantara langsung mengambil ponselnya dari saku celana,"berapa nomor rekeningmu?" Sial! Kenapa keadaan berubah jadi pemaksaan? Mana lingkungan sekitar sepi. "Tu-tunggu, kita harus bicara sebentar. Biasanya, cara kerjaku tidak begini." Aku tanpa sadar mundur lalu meraih ponsel untuk menghubungi Sisil. Tapi, dua panggilanku tidak ada satupun yang dijawab. "Pilihan ada di tanganmu. Aku tidak pernah memberi kesempatan dua kali, kalau hari ini kamu menolak tidak ada lain kali." Sosok tinggi Dirgantara berjalan dari teras menuju pintu masuk. Ia sengaja berdiri di sana, menunggu akhir dari keputusanku. Aku menelan ludah, menatap situasi di dalam rumah yang terlihat remang. Bisa saja ini terakhir kalinya aku hidup. Mantan narapidana untuk kasus pembunuhan, bukan pelaku kekerasan biasa. Tapi tawarannya sangat menggiurkan dan sulit untuk ditolak. "Aku juga bisa membayarmu untuk layanan ekstra." Dirgantara kembali menyeringai, seperti serigala yang sedang menebar umpan pada mangsanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD