Hasrat sendiri

1223 Words
Sebelum datang ke tempat ini sendirian, aku sudah menimbang banyak hal. Termasuk kalau tiba-tiba saja menghadapi hal tidak menyenangkan. Wajar kalau aku sangat ketakutan. Rekam jejak pria di depanku ini sungguh buruk, ditambah kami hanya berdua. Tapi seperti klien lain, ada kemungkinan kalau Dirgantara sedang menguji nyaliku. Beruntung, aku selalu memakai masker sebagai perlindungan identitasku selama bekerja, jadi ia tidak akan bisa mengintimidasiku terlalu jauh. "Kalau kamu mau, kita bisa langsung masuk ke kamarku," ujarnya berdiri, menunggu langkah kakiku. Tak lama, dengan sekali dorongan, ia kemudian menutup pintu di belakangku. Otomatis, akses ke luarpun sudah tidak ada lagi. Seketika keringat dingin membasahi dahi. Jantungkupun terpacu lebih cepat dari sebelumnya. Alasanku nekad masuk ada dua. Selain uang, aku yakin dengan kemampuanku dalam menilai seseorang. Meski seram, Dirgantara bukan pria berdarah dingin yang gampang menyakiti. Tatapan matanya memang tajam, tapi hanya berisi kesepian. "Kapan terakhir kali kamu tidur?" tanyaku berusaha tetap tenang. Ini adalah kesempatanku untuk menunjukkan kemampuan juga profesionalitas. Sekalipun hanya berdua saja, Dirgantara harus sadar akan situasi kami. Wajah Dirgantara langsung berubah kecut."Kenapa tidak langsung tidur saja?" "Memang bisa? Kalau hanya ingin belaian wanita, kamu bisa mendapatkannya dari Sisil atau wanita lain. Bukan dariku. Selain tidak cantik, aku tidak bekerja dengan sentuhan, tapi hanya melalui suara," ucapku menghembuskan napas panjang. Entah tidak tahu atau memang hanya pura-pura saja. Tapi yang jelas Dirgantara terlihat cukup terkejut dengan perkataanku barusan. "Siapa yang bilang ingin dibelai? Jangan melucu. Aku hanya mau tidur. Katanya kamu bisa membantu penderita imsomnia," kilahnya terdengar cukup kesal karena tuduhanku. "Tapi aku...," "Sudah, ayo masuk saja. Aku memang susah tidur, tapi kalau malam harus tetap berbaring. Andai kamu bisa membuatku terlelap sebentar saja, gajimu akan aku transfer hari ini juga." Dirgantara berbalik, menuju kamar atas tanpa memperdulikan pendapatku lagi. Sial sekali, Sisil belum juga mengangkat panggilanku. Bahkan saat aku punya kesempatan terakhir untuk menghubungi, nomornya mati. "Mau masuk tidak? Sudah lewat satu jam dari waktu istirahatku," keluh Dirgantara tidak sabar. Aku dengan enggan melangkah masuk, meletakkan tas kecilku di atas nakas panjang dekat pintu. Ruangan itu cukup luas dengan interior sederhana dan tentu saja, kerapian yang sempurna. Sedang temboknya bersih, tanpa pajangan sama sekali. Yang paling menarik perhatianku adalah ranjang kecil milik Dirgantara. Luasnya hanya mampu menampung satu orang. Sungguh, kesederhanaan itu sangat kontras dengan nilai rumah dan jabatan tingginya di perusahaan. Dirgantara jelas sengaja melakukannya karena suka, bukan lantaran pelit. Hobi minimalisnya ada hubungannya dengan sifatnya yang perfecksionis. "Duduk di manapun kamu mau. Aku akan memberimu satu jam. Kalau tidak juga berhasil, keluar saja." Dirgantara merebah, membuka kancing kemeja bagian atas. Bayangan tinggi dengan tubuh atletisnya membuat darah perawanku menjerit pelan. Aku tahu ia terlihat tidak nyaman dengan keberadaanku. Aku pun sama. Dibanding memberi terapi, situasi kami di ruangan yang sama serasa aneh dan canggung sekali. Sering aku tanpa sadar menelan ludah untuk mengusir gugup. Satu jam tidak akan cukup menyelami permasalahan imsomnianya. Sikap keras kepala Dirgantara adalah penghalang terbesar. Saat itu juga aku tiba-tiba merasa bodoh karena terperangkap masuk ke permainan klien. Harusnya, aku adalah pemegang kendali. "Pejamkan matamu. Aku akan mencoba hal dasar dulu. Bagaimana kalau aku membacakanmu sebuah dongeng?" tanyaku pelan. Kutarik sebuah kursi lipat ke dekat tepian ranjang. Cahaya remang dari lampu kamar lumayan cukup menerangi isi buku. Namun, sebelum jemariku sempat membuka halaman pertama, terdengar dengkusan sinis dari mulut Dirgantara. "Dongeng? Bukankah itu kekanak-kanakkan?" Ia menatapku tidak setuju. Setiap kali mata kami berbentur, ada detak aneh di dadaku. Wajar, siapa yang bisa tenang di situasi intim dengan lawan jenis? Lama-lama aku bisa gila dengan pikiranku sendiri. "A-aku tidak bisa membantu orang sepertimu. Bertingkah seenaknya. Mendikte dan tidak mau mengikuti aturan," ucapku berdiri dengan gugup. Benar, aku tadi sempat terlena karena bayaran. "Maksudnya? Kamu akan pergi dan menyerah begitu saja?" Dirgantara beranjak dari sisi pembaringan,"padahal aku hanya ingin tidur sebentar." "Kalau begitu, patuhi aturanku." "Aturan seperti apa?"decaknya sinis. "Biarkan aku mengenalmu. Ceritakan semua hal yang menganggu lalu aku akan menentukan terapi yang cocok di pertemuan kedua," ucapku pelan. "Tidak ada pertemuan kedua. Lupakan upah yang aku tawarkan tadi. Bertemu denganmu hanya buang-buang waktu," ujarnya gusar. Aku terpaku lalu sadar kalau sikap tegas atau bujukan sekalipun tidak akan mempan. Dirgantara sungguh keras kepala. Ibarat batu, tetesan air ribuan tahun pun susah untuk membuatnya luluh. Nasibku pun akan buruk kalau tidak segera mendapat tambahan uang. "Baiklah, aku hanya perlu membuatmu tidur kan?" tanyaku terpaksa menggunakan cara paling ampuh. "Iya, lakukan apapun. Kecuali bicara atau membuang waktuku lebih jauh," sahutnya serius. Tipe seperti Dirgantara adalah karakter tersulit untuk diajak berbagi obrolan. Jadi, aku sendiri tidak yakin bisa menjinakkan imsomnianya dalam waktu singkat. "Berbaringlah. Aku akan menghipnotismu." Aku memberi isyarat agar Dirgantara kembali merebah. Apa boleh buat, sebenarnya hipnotis tidak boleh dilakukan di pertemuan pertama, tapi tidak ada solusi yang lebih baik dari ini. "Hipnotis? Bukannya itu sedikit berbahaya?" "Tidak kalau kamu percaya padaku," ucapku mengambil sebuah bandul jam dari dalam tas. "Biasanya efek hipnotis hanya sebentar, jadi aku akan menunggumu di sini." Dirgantara mulanya terlihat ragu, tapi pada akhirnya setuju. Sebenarnya sebagian dokter menganjurkan hipnoterapy, tapi kebanyakan pasien berakhir ketergantungan. Dalam kasus Dirgantara, aku harus benar-benar memastikan kalau nanti ia bisa mengatasi imsomnianya sendiri. Gangguan tidur, tidak bisa disembuhkan melalui obat, tapi pikiran. Sepuluh menit berselang, terdengar dengkuran halus dari mulut Dirgantara. Ternyata tidak sulit membuatnya tertidur. Ada kemungkinan, dia melalui banyak hari melelahkan hingga berujung stress. Emosi yang tidak stabil juga merupakan salah satu faktor penyebab imsomnia. Saat melangkahkan kaki keluar kamar, tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh sosok Sisil yang datang dengan napas terengah. "Kenapa kamu keluar dari sana?" bisiknya tajam, penuh kecurigaan. "Aku menidurkan Dirgantara—maksudku calon suamimu. Lihat, dia terlelap." Aku dengan tenang menunjuk celah pintu kamar. Bukannya senang atau lega, Sisil justru menarikku secara kasar menuju ruang tengah. Aku sampai harus menyeimbangkan langkah kaki agar tidak ikut terseret. Menurutku sikapnya cukup keterlaluan. Aku bukan gadis penghibur atau jalang murahan. Dia yang menyuruhku untuk mengatasi calon suaminya. "Aku peringatkan, jangan berani masuk kamar Dirgantara tanpa diriku. Aku jijik membayangkan kalian berduaan tanpa pendamping. Itu aturanmu bukan? Atau jangan-jangan kamu sengaja? Agar calon suamiku tergoda?" tuduhnya menunjuk-nunjuk wajahnya penuh emosional. Aku jelas terluka, tapi tidak punya alasan untuk membantahnya. Andai aku ada di posisi Sisil, mungkin hatiku akan mendidih juga. "Aku bisa berjanji padamu. Tapi peringatkan juga Dirgantara. Dialah yang membawaku masuk ke kamarnya. Kamu tahu kan? Tubuhku ini terlalu kecil untuk melawan," gumamku tenang dan datar. Aku tidak suka dituduh serta diintimidasi karena kesalahan yang tidak aku lakukan. "Apa? Dirgantara yang mengajakmu masuk?" decih Sisih tak percaya. Mata bulatnya sedikit melebar, takut salah dengar. "Iya. Tapi aku pastikan itu tidak akan terjadi lagi dan aku harap ponselmu akan selalu aktif dan siap dihubungi. Bisa dibilang, ini semua karena kamu tidak mengangkat panggilanku tadi." "Nad, jangan senang dulu. Pria adalah pengumpan ulung. Aku tahu tidak mungkin ia berminat menyentuhmu, tapi camkan satu hal. Setiap orang yang bekerja di bawahnya, akan terluka. Sifat juga sikap calon suamiku sangat buruk. Andai bisa, aku lebih memilih pergi. Tapi, aku sendiri terkunci, tidak bisa melarikan diri," ucap Sisil pedih. Wajahnya berubah kecut lalu berakhir memucat sendiri. Alih-alih takut, hatiku justru menolak perkataan Sisil. Mungkin aku tengah dibodohi oleh pesona gelap Dirgantara. Status mantan narapidana juga hal-hal lain, kini serasa omong kosong. Aku justru semakin penasaran dengan sosoknya yang terus membayang di kepala. Tidak ada salahnya membuktikan sendiri tentang kebenaran klienku, batinku menepis hasrat yang justru muncul tiap mengingat posisi berbaring Dirgantara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD