Ancaman

1384 Words
Sehari berselang, sejumlah uang dari Dirgantara masuk ke dalam rekeningku. Nominalnya sama persis dengan tawarannya semalam. Tidak lebih, tidak kurang. Hal itu cukup mengejutkan mengingat perlakuannya cukup kasar. Siang itu dengan wajah sumringah, aku berbagi rasa syukur dengan mentraktir Menik di kantin pabrik. Kami duduk berdua, memesan dua mangkuk mie ayam porsi besar. Hidangan sederhana itu terbilang cukup mewah karena belakangan makan siang kami hanya mie instan dan nasi. "Makasih, ya? Aku doakan rejeki kamu lancar. Jadi, bisa sering-sering traktir aku mie ayam," kata Menik mengaduk isi mangkuknya dengan sukacita. Aku menyahutinya dengan anggukan. Hanya dia satu-satunya teman wanita yang bisa diajak bicara. Selain sama-sama berumur 25 tahun, kami berdua juga jomblo melarat tanpa orang tua. Jadi, saat bertemu untuk pertama kali, kami langsung akrab. "Nad, aku dengar ada desas-desus kalau pabrik ini akan ditutup," kata Menik di saat mangkuk kami sama-sama telah kosong. "Aku sudah dengar hal seperti itu setahun lalu. Tapi nyatanya hingga sekarang pabrik ini masih beroperasi. Lagipula produksi kain meningkat terus, jadi tidak ada alasan untuk itu," ucapku tidak terkejut. "Alasannya bukan kebangkrutan, tapi justru karena usahanya semakin maju. Alat juga sumber daya di sini dikabarkan harus dipindah ke tempat yang lebih luas juga memadai. Hal itu sudah lama dibicarakan dan kemungkinan agar segera direalisasi. Nasib buruh kontrak seperti kitalah yang akan terkena imbas. Kalau sumber daya dirombak besar-besaran, kita terancam di PHK," kata Menik berdiri mengikutiku yang meninggalkan kantin. Jam istirahat kami akan segera berakhir. Sepanjang jalan menuju pintu masuk, kami berdua sama-sama diam. Walau bagaimanapun, aku tetap bergantung dengan penghasilan pabrik. Upahnya memang kecil, tapi jauh lebih stabil ketimbang pekerjaanku yang lain. Langkah kami terhenti tepat ketika rombongan para petinggi pabrik lewat. Di antara mereka, aku melihat sosok tinggi Dirgantara yang nampak mencolok dengan jas juga kaki panjangnya. Seperti biasa, ia mempesona dengan postur dan wajahnya. Aku tanpa sadar menunduk, menutupi sebagian mukaku dengan tangan. Hal itu cukup konyol karena aku yakin dia tidak akan mengenaliku. "Huh, dasar monster. Setampan apapun, kalau sikapnya nol. Semua kelebihan itu akan sia-sia," gumam Menik menarikku untuk pergi dari sana. Banyak pegawai perempuan yang berdiri untuk sekedar menikmati ketampanan Dirgantara. Iya, mereka tidak malu untuk tersenyum meski sering dibalas lirikan tajam dan ketus. Ketimbang memikirkan Dirgantara, kepalaku justru dipenuhi kegelisahan. Takut kalau ucapan Menik tentang penutupan pabrik benar. * Seperti biasa, sepulang kerja aku langsung ke rumah sakit. Di sana Bibi yang menjaga Bella sudah menungguku. Ia langsung berucap syukur begitu tahu aku bisa memberinya uang tepat waktu. Memang, lebih baik mempertahankan orang lama ketimbang mencari orang baru. Setengah jam setelah bicara sebentar dengan Bella, aku memutuskan untuk pulang. Praktis aku sudah tidak punya jadwal dengan klien manapun. Yang bisa aku lakukan hanyalah menunggu telepon dari Sisil. Sejak perdebatan kemarin, kami belum berkomunikasi lagi. Jadi aku sendiri bingung apa aku harus menemui Dirgantara atau tidak. Hipnotis bukan solusi terbaik, jadi aku sebenarnya ingin memberi terapi yang biasanya aku lakukan pada klien lain. Tentu saja, semua itu sulit kalau Dirgantara tidak mau mengikuti aturanku. Hingga jam 12 malam, ponselku tidak kunjung berdering. Tak lama, aku kemudian memutuskan untuk tidur, merenggangkan tubuh lelahku di atas ranjang yang berantakan. Aktivitasku di dalam rumah memang sangat terbatas. Untuk sekedar bersih-bersih dan makanpun kadang tidak bisa. Alhasil, lemari pendinginku kosong. Sedang untuk pakaian kotor, aku lebih suka menggunakan jasa laundry kiloan. Namun, baru lelap sebentar sebuah panggilan memaksa mataku untuk kembali terjaga. Itu bukan Sisil, tapi dari nomor asing. "Kemarilah, hipnotis aku seperti kemarin." Aku langsung tahu siapa pemilik suara bass itu. Nada beratnya menandakan kalau ia terpaksa menghubungiku. Padahal ini sudah lewat tengah malam. Jam kerja macam apa ini? "Maaf, tapi aku harus menghubungi Sisil lebih dulu. Dia pasti tidak setuju kalau aku mengunjungi calon suaminya malam-malam. Apalagi kita belum membuat perjanjian apapun." "Kalau begitu, jangan beritahu dia. Di hari biasa, dia jarang datang. Jadi, kamu tidak usah khawatir kalau ketahuan," bujuknya sedikit merendahkan suara. Bodohnya aku sempat berpikir kalau saran itu bermakna lain. Untung saja jantung ini tidak copot duluan. Sesaat kemudian, aku langsung sadar dengan pikiran kotorku sendiri. Andai Sisil tahu, aku yang akan dimakan hidup-hidup karena satu kamar dengan lelakinya. "Aku menolak. Maksudku, begini saja, kita bertiga bertemu besok. Harus ada jadwal, aturan juga jumlah upah. Hitam di atas putih. Kalau terus memaksa, aku akan mengambil klien lain saja. Bukan hanya kamu yang membutuhkan jasaku," ucapku berusaha tegas. Ini benar-benar gila, jelas Dirgantara tidak peduli dengan posisiku. Setelah lama terdiam, panggilan telepon justru diputus begitu saja. Aku nyaris melempar ponselku karena saking kesalnya. Tapi untung saja pikiranku masih waras. Pengeluaranku sudah banyak, mana bisa aku menambahnya dengan biaya ponsel baru? * Akhir pekan yang harusnya aku habiskan untuk membersihkan kamar kos, berakhir di atas meja kafe. Ya, aku sama sekali tidak menyangka kalau Dirgantara menyanggupi keinginanku semalam. Alhasil, pagi-pagi tadi Sisil menghubungiku dan mengajak bertemu. Didengar dari suaranya, Sisil jelas tidak senang dan merasa ternganggu dengan usulanku. Sekarang, di sinilah kami bertiga. Duduk berhadapan dalam satu meja. Sisil dengan wajah sebalnya dan Dirgantara dengan raut ketusnya. Dua sejoli itu duduk berdampingan, tapi dengan kursi yang cukup berjauhan. Sejak awal melihatnya, aku yakin hubungan mereka tidak berjalan normal. Boro-boro mesra, Dirgantara bahkan tidak pernah sekalipun menatap Sisil saat bicara. Ia sibuk dengan ponsel dan permen karet di mulut. Hanya saja, mereka tetap akan menikah, bukan? "Ayo kita selesaikan dengan cepat," ucap Dirgantara memecah hening. Ia lantas memberi isyarat agar aku mulai membaca isi surat perjanjian kerja yang ia berikan. "Bagaimana dengan ini? Mana yang harus aku tandatangani?" tanyaku mengalihkan perhatianku pada Sisil. Aku benar-benar ingin ia terlibat penuh dalam tindakan terapi. "Lupakan surat perjanjian yang sempat aku berikan padamu. Kamu fokus saja dengan surat milik calon suamiku," kata Sisil menghembuskan napas kesal. Nampak sekali kalau ia dipaksa untuk mengalah. Dirgantara jelas tahu cara mendominasi dengan benar. Bisa membuat wanita secantik Sisil menurut, itu adalah nilai plus. "Jadi kapan kamu bisa mulai bekerja?" tanya Dirgantara tidak sabar melihatku membolak-balik kertas perjanjian. Isinya lumayan bagus dan menjanjikan, tapi di beberapa point penting aku tidak bisa memenuhinya. "Aku keberatan dengan beberapa persyaratannya." "Coba sebutkan." "Melepas masker, memberi kartu identitas dan menginap. Maaf, aku punya pekerjaan lain juga kehidupan pribadi. Sebesar apapun yang kamu tawarkan, aku tetap akan menolaknya. Jika hanya memerlukan hypnotherapy, undang saja dokter. Mereka lebih baik dariku. Terapiku berbeda dan butuh kerja sama. Aku lebih menghargai jika dibayar dengan harga biasa, tapi klien bisa diajak kerja sama." Aku meletakkan kertas itu pelan. Menatap Sisil dan Dirgantara bergantian. "Aku harap kalian menghargainya," sambungku lagi. "Untuk masker dan kartu identitas, aku akan menjadi penjamin. Dia temanku saat SMA," kata Sisil mencoba menengahi. Daripada Dirgantara, Sisil justru lebih gigih menginginkan terapi. Ia seperti punya alasan kuat agar Dirgantara setuju. Dirgantara tersenyum mengejek,"jadi aku yang harus ikut aturan?" "Ini untuk kebaikan. Obat tidur juga hipnoterapy hanya akan membuatmu tergantung dengan alat juga bahan kimia. Tapi kalau kamu percaya padaku, imsomniamu akan mudah untuk dikendalikan," ucapku yakin. Dari sekian puluh klien, percobaanku rata-rata berhasil. Hanya satu dua orang saja yang mengeluh karena gagal membunuh kebiasaan tidur malam. Dirgantara membuang permen karetnya dengan tissu lalu bergumam,"aku juga kecanduan nikotin." "Kalau begitu, kurangi itu dulu," ucapku enteng. Mata tajam pria itu langsung teralih, menatap lurus padaku. d**a ini seketika berdesir, antara gugup dan takut. Apa dia tersinggung? Terkadang, perokok berat marah saat diminta berhenti. Ya, bagi mereka itu adalah salah satu harga diri. Di saat yang sama, tiba-tiba saja ponsel Sisil berdering. Ia kemudian pamit pada Dirgantara untuk mengangkat teleponnya lalu menjauh sebentar. Kini tinggal kami berdua, yang masih belum menemukan sebuah kesepakatan kerja. Sulit memang membuat orang seperti Dirgantara mengalah. "Tandatangan. Aku tidak punya waktu untuk bernegosiasi. Seperti kata Sisil, aku akan coba mempercayaimu. Prinsip tetap prinsip bukan?" gumamnya menyodorkan pena padaku. "Jadi kamu setuju?" tanyaku sangsi. "Lebih tepatnya, aku akan mencobamu. Kalau kamu tetap menolak, haruskah aku gunakan cara kasar? Aku yakin latar belakangmu lemah. Jadi jangan melarikan diri dan sok idealis. Hiduplah untuk uang agar masa depanmu mudah. Kamu pasti tahu kegilaan macam apa yang bisa aku lakukan padamu. Menginap dan layani aku di rumah selama terapi itu. Atau? Aku akan mengacaukan hidupmu." Dirgantara tidak main-main dengan ucapannya. Ia bahkan melempar pena itu ke arahku. Anehnya aku sama sekali tidak terkejut. Bagiku, wajah gagah Dirgantara seperti mawar hitam yang dipenuhi duri beracun. Aku bukan takut menghadapi kekasarannya, tapi khawatir kalau jatuh cinta. Nad, apa kamu berniat menjadi orang ketiga?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD