Sekali saja

1070 Words
Perjanjian itu tidak sepenuhnya merugikanku. Upah kerjanya hampir sepuluh kali lipat dari gaji mingguan pabrik kain. Ya, segalanya serasa menggiurkan andai saja Dirgantara punya pola pikir yang biasa. Tapi nyatanya, apa yang kudapat sebanding dengan tanggung jawab. Ibarat pasien rumah sakit jiwa, Dirgantara menderita gangguan mental paling akut. Namun, aku tidak punya jalan selain menghadapi pekerjaanku. Bella pada akhirnya menjadi alasan utama keputusanku untuk tanda tangan. Sehari sebelum aku mengemas baju juga keperluanku, Sisil menelpon dan memberiku banyak peraturan lain yang tidak ada dalam surat perjanjian. Aku masih bisa menoleransinya karena penting juga menjaga perasaan pasangan klien. Justru jika menolak, ia akan menuduhku yang tidak-tidak. Aku berencana membersihkan rumah Dirgantara saat sore hari lalu melakukan terapi malam. Jadi, masih ada waktu untuk istirahat di rumah dan paginya bekerja pabrik. Semua sudah aku jadwal dengan sempurna. Hingga segalanya dihancurkan oleh ucapan ketus Dirgantara. "Siapa bilang kamu menginap di luar? Di sini kamu harus siaga saat malam. Hipnotismu itu hanya bekerja dua jam. Waktu itu aku belum puas tidur, tapi kamu sudah pergi duluan," kata Dirgantara saat kami bertemu di jadwal terapi kedua. Lagi-lagi Sisil terlambat datang dan hanya ada kami berdua. Rumah itu begitu lenggang dan remang. Entah karena mendung atau bagaimana, tapi s "Ta-tapi.." "Dengar, aku sudah bosan dengan negosiasi. Ayo masuk kamar dan buat aku tidur." Dirgantara merenggangkan otot lengannya dengan gerakan lelah. Aku tanpa sadar mengumpat dalam hati. Sungguh, betapa bencinya aku dengan situasi ini. Ya Tuhan. Bukankah sudah kujelaskan kemarin kalau terapi tidak sesederhana itu? "Tunggu! Tunggu sebentar." Aku berdiri kaku di sudut meja ruang tamu. Bayangan Dirgantara ikut berhentil berbalik lalu berkacak pinggang. "Apalagi? Lihat, ini sudah jam berapa? Aku ada pekerjaan penting besok. Haruskah aku menyeretmu masuk? Sisil tidak akan datang, jadi jangan tunggu dia," ucapnya mendekat dengan sorot mata tajam dan liar. Gilanya, dadaku justru bergemuruh riang. Tatapan dingin pria itu mematik gairah terpendamku. Seketika nyaliku menciut, takut dengan hasrat sendiri. Meski remang, ada kemungkinan kalau tingkah memalukanku ketahuan. "Ja-jadi yang kamu perlukan hanya hipnotis? Tapi aku tidak bisa melakukannya setiap hari," ucapku terbata. Keringat dingin serasa mengalir melewati tengkukku. "Masalah itu, kita bicarakan besok. Kemarin malam tidurku benar-benar kurang. Jadi, jangan buat aku menunggu lagi." Dirgantara mendengkus sembari mengendorkan ikatan dasi. Sikap kasarnya jelas menunjukkan kalau emosinya semakin tidak stabil. "Baiklah aku akan melakukannya. Tapi ini kali terakhir, besok kita mulai terapi dengan caraku," ucapku menyerah. Akan sia-sia kalau terus memaksa. Sebenarnya pada saat seperti ini pendamping klien diperlukan. Tapi, Sisil terlalu meremehkan dan lagi-lagi tidak datang. "Tunggu sebentar, aku mau mandi dulu. Untuk awalan, coba rapikan buku-buku. Aku juga perlu melihat keterampilanmu dalam mengurus rumah." Dirgantara lantas mencegatku lalu menunjuk tumpukan buku yang sebenarnya tidak berantakan. Aku mengiyakan sembari tersenyum kecut. Sinting, dia jelas menyuruhku mengurutkan judul. Secara kasat mata, semua sangat rapi dan bersih. Mungkin sepulang kerja tadi Dirgantara mengurus rumahnya sendiri. Entah kabur atau bagaimana, yang jelas pembantunya cuti terlalu lama. Wajar, orang biasa tidak akan sanggup bertahan. Dua puluh menit kemudian Dirgantara keluar dengan rambut lembabnya. Melihat itu, aku langsung pura-pura sibuk. Begitu sosok tingginya mendekat, aroma sampho yang bercampur sabun tercium begitu segar. Diam-diam aku menggigit bibir untuk menetralisir gugup. "Lihat, kamu melewatkan satu," kata Dirgantara mengambil deretan buku paling ujung. Kesal? Jelas! Tapi aku kagum dengan kejeliannya yang menyebalkan. Jujur saja, aku tidak yakin ia akan puas dengan hasil pekerjaan rumahku nanti. "Maaf," ucapku datar, setengah tidak peduli. Dirgantara tidak menyahut. Ia kemudian berbalik menuju kamar,"ayo, mulai terapi." Aku mengiyakan kemudian mengikuti langkahnya dengan tergesa. Tak lama, kami sudah ada di dalam kamar. Dirgantara berbaring sedang aku duduk di tepian ranjang dengan bandul jam di tangan. "Kalau bisa, buat aku tidur sampai pagi," ucapnya enteng. Aku menggerutu dalam hati. Antara kesal juga tidak tahu harus berkata apa. Sia-sia menjelaskan kalau dia saja tidak mau mendengar. Dengan gerakan pelan, aku mulai memainkan bandul jam. "Untuk permulaan, coba tarik napas panjang," pintaku lembut. Dirgantara terlihat tertarik dengan nada suaraku yang berubah. Mata tajamnya mengerjap sebentar sebelum akhirnya mengangguk pelan. Aku cukup terkejut saat ia menurut dengan mudah. Ia lantas mengatur napasnya dengan helaan-helaan panjang. "Lemaskan otot dan mulai fokus dengan hal yang kamu suka." "Aku tidak punya hal yang aku suka." Jawaban Dirgantara lantas membuatku mengernyit."Mustahil, setiap orang pasti punya sesuatu yang disukai." Dirgantara terdiam cukup lama lalu menggaruk kepalanya. "Sayangnya aku tidak punya." Aku memejamkan mataku kesal, hancur sudah jalan untuk membuatnya terlelap secara instan. Sekonyol-konyolnya manusia, masa iya tidak punya hobi? "Kamu suka bersih-bersih, kan?" "Lebih tepatnya aku benci benda berantakan. Tapi aku juga tidak suka beres-beres," pungkas Dirgantara datar, tanpa rasa bersalah."Kalau suka, aku tidak mungkin mempekerjakanmu, bukan?" Aku mengangguk-angguk kesal. "Benar juga," gumamku sinis. Terakhir kali, Dirgantara aku hipnotis dengan cara paling sederhana. Didukung kelelahan, praktis ia terlelap begitu saja. Tapi kali ini kelihatannya sulit. Mata juga deru napasnya cukup normal. "Tapi, aku suka suaramu." "Apa?" ucapku terpaku bingung. "Tadi saat kamu bersuara lembut, aku menyukainya. Coba sekali lagi, mungkin dengan sedikit bernyanyi." Suka? Suka dia bilang? Walau tidak bermakna khusus, ucapan itu terdengar manis di telinga. Aku terpana sebentar, tidak yakin dengan apa yang baru saja aku dengar. Bernyanyi katanya? Aku bahkan lupa kapan terakhir melakukannya. "Jangan konyol. Aku tidak bakat menina bobokan seseorang," tolakku kaku. Kalau hanya mendengar lagu saja bisa tidur, ia harusnya menyetel musik sampai pagi. "Lakukan saja, ini tidak seperti memintamu naik ke atas tempat tidur bersamaku, bukan? Masih cukup masuk akal," kata Dirgantara serius. Tatapan itu berhasil membuat mulutku terdiam. "Lagu apa yang ingin kamu dengar?" tanyaku tidak percaya diri. "Apa saja, tidak masalah." Jawaban Dirgantara justru semakin membuatku tertekan. Mataku berlarian bingung karena gugup. Hingga kemudian di satu titik, aku nekad menyanyikan sebuah lagu Amerika milik penyanyi lawas Britney Spears yang berjudul Everytime. Ya, meski bahasa Inggrisku tidak bagus tapi aku sukses menyanyikannya hingga akhir. Aku bersyukur tidak terbentur nada fals atau salah lirik. Namun sialnya, Dirgantara butuh setidaknya tiga puluh menit untuk terlelap. Jadi suaraku seakan nyaris habis dibuatnya. Aneh, batinku menatap wajah tenang Dirgantara yang terpejam begitu damai layaknya anak kecil. Pria ini sungguh tidak punya rasa khawatir sedikitpun. Di depannya ada wanita asing yang bahkan wajahnya tidak ia tahu. Tapi kenapa ia begitu percaya dan terlelap tanpa takut? Jika terus dihadapkan dalam situasi seperti ini, mungkin aku tidak akan tahan. Lupakan harga diri,andai kesempatan selalu datang tiap malam. Aku bisa menjadi penjahat dan mengecup bibirnya sekali saja. Pelakor? Bukan. Aku bahkan tidak pantas bersaing dengan Sisil. Namun cukup menjadi gadis pengantar tidur untuk menjadi intim.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD