Janji seatap

1266 Words
Denting jam menunjukkan pukul lima pagi. Aku bergegas bangun, merapikan tempat tidur lalu segera masuk ke kamar mandi. Tadi malam setelah bersih-bersih sebentar, aku cepat-cepat pulang untuk beristirahat. Hari ini kebetulan aku dapat bagian shift pagi, jadi pikiranku hanya terfokus pada waktu. Akibatnya, ponselku tertinggal dan aku baru menyadarinya saat makan siang. Sebenarnya bukan masalah besar, tapi aku tidak tenang saja. Takut kalau pihak rumah sakit menghubungiku berkaitan dengan keadaan Bella. Bagaimanapun, aku sudah diminta siaga karena Bella hanya punya aku yang jarang sekali menunggunya. "Kenapa? Ada yang salah?" tanya Menik sekembalinya kami dari makan siang. Ia terdengar khawatir dengan sikapku yang sejak tadi diam dan tidak fokus saat diajak bicara. "Ponselku ketinggalan," sahutku murung. Menik tahu benar alasan kegelisahanku. Ia ikut cemas tapi tidak bisa berbuat apapun. Ia lantas menenangkanku dengan ucapan dan tepukan lembut di bahu. "Ya ampun, semoga tidak ada masalah dengan Bella. Tenang saja, tiga jam lagi kita pulang, jadi fokus saja dulu agar pekerjaanmu tidak terganggu," ucapnya mengingatkanku dengan resiko kecelakaan kerja. Kami berhadapan dengan mesin potong kain. Lengah sedikit, bukan hanya salah size, jari kami pun bisa teriris. Sepuluh menit berselang, kami berpisah untuk kembali ke posisi masing-masing. Tidak ada kursi atau sandaran apapun untuk melepas penat. Selama bekerja, kami berdiri dan terfokus pada mesin cutting. Awal bekerja di sana memang berat sekali, tapi lama-lama terbiasa dengan rasa lelah ini. Kadang kalau sedang lembur, kami terpaksa minum kafein atau minuman energi. Cukup membantu memang, tapi lama-lama lambungpun menjerit. Tepat satu jam sebelum waktu pulang, aku tidak bisa lagi mengendalikan kegelisahanku. Tapi ritme kerjaku masih terkendali hingga tiba-tiba saja terdengar jeritan memilukan dari meja panjang di sebelah timku. Kontan, pekerjaanku dan orang sekitar seketika terhenti. Kami berkerumun, memeriksa apa yang sebenarnya sedang terjadi. Seorang gadis berjilbab ungu nampak histeris, memegangi jarinya yang mengeluarkan banyak darah. Orang di sekelilingnya termasuk aku bergeming sebentar. Bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Untungnya, ada seorang pengawas senior yang langsung datang untuk menangani semua itu. Apa jarinya putus? Atau hanya sedikit tergores? Tapi darahnya banyak sekali, batinku menenangkan diriku sendiri. Dari arah belakang, Menik mendekat lalu kami saling menggegam. Kalau ada masalah seperti tadi, otomatis kamipun akan dimintai keterangan. Hal itu sangat melelahkan karena harus berhadapan dengan atasan. Tak lama berselang, gadis dengan darah di tangannya itu dibawa menyingkir dari kerumunan para pekerja. Meski langsung diikat perban, namun bau amis darah tetap menguar. Tanpa sadar aku menggidik ngeri, memegangi jemariku sendiri. Andai tadi lengah, aku pasti akan bernasib sama. Tanpa menunggu suasana hati kembali kondusif, pengawas justru meminta kami untuk kembali bekerja. Memang, jam operasional belum berakhir, tapi kenapa begitu kejam dan menganggap kalau kecelakaan tadi hal biasa? "Jangan melamun," kata Menik sembari berlalu, menuju ke posisinya lagi. Aku mengangguk pelan, berusaha sefokus mungkin. Kehilangan jari sama saja di PHK dengan uang kompensasi yang tidak seberapa. Memang ada undang-undang kecelakaan kerja yang melindungi seluruh pekerja. Terdengar aman dan bisa dipercaya. Tapi saat hal itu terjadi di lapangan, atasan kadang mencari cara agar membayar lebih sedikit. * Jam masih menunjukkan pukul tujuh malam, tapi karena mendung jalanan menuju rumah Dirgantara terlihat lebih lenggang dari biasanya. Hanya satu mobil yang berpapasan denganku di pintu gerbang. Andai tidak ada penjaga, pemukiman elit itu terasa horror karena saking sepinya. Aku terlambat hampir satu jam. Selain harus mampir ke rumah sakit, aku pun kembali dulu ke kamar kos. Membersihkan diri sebentar dan mengambil ponsel yang sempat tertinggal. Masa bodoh dengan Dirgantara. Ia juga harus belajar sabar karena pada dasarnya kami saling membutuhkan. "Sisil?" ucapku terkejut. Wanita bertubuh semampai itu berdiri tepat di belakang pintu pagar. Terlihat sengaja menunggu dengan raut muka kesal. "Kenapa baru datang sekarang? Kamu terlambat sekali," keluh Sisil membuka pintu pagar agar aku bisa masuk dan memarkir skuter. "Maaf, tadi ada masalah kecil," sahutku menggantungkan helm di kaca spion. "Seharian ini aku sudah meneleponmu puluhan kali, tapi tidak diangkat." "Itu karena ponselku tertinggal. Ada apa? Katakan saja sekarang." Sisil menghembuskan napas sebal,"bukannya kamu setuju menginap di rumah?" tanya Sisil melipat tangan di depan d**a. Aku sebenarnya heran, kenapa Sisil acap kali terdengar memaksa agar aku tidur di rumah calon suaminya. Pikirannya sedikit tidak normal. Kalau aku jadi dia, lebih baik aku merawat pasanganku sendiri ketimbang mempercayakannya pada orang lain. "Kamu tahu sendiri, aku punya pekerjaan lain," kilahku pelan. "Aku tidak tertarik dengan kehidupan pribadimu. Tapi lain cerita kalau menyangkut Dirgantara. Kamu tahu? Tadi pagi dia marah padaku. Katanya, kamu mengingkari perjanjian. Tidak ada sarapan dan masih banyak debu di pintu depan," kata Sisil berapi-api. "Tugasku juga meliputi itu?" ucapku terbeliak, tidak percaya. Seingatku dalam perjanjian tidak disebutkan secara rinci pekerjaan rumah tangga macam apa yang harus aku lakukan. "Jadi kapan kamu mau pindah?" desaknya lagi. Aku terdiam sebentar, menatap Sisil dengan sorot kebingungan. "Bisa kita bicarakan lagi?" "Aku lelah. Banyak hal lain yang harus aku urus. Dua bulan lagi kami akan menikah aku sibuk mempersiapkan segalanya. Dengar, bagaimana kalau aku bayar lebih? Menurutlah agar Dirgantara tidak mengomeliku tiap hari. Dua bulan ini sangat menentukan. Kalau moodnya hancur, jangankan ijab kabul dia disuruh fitting jaspun belum tentu mau." Sisil memegangi bahuku pelan. Mata yang awalnya tajam, kini melembut penuh bujukan. Menikah? Mereka akan menikah? Batinku getir. Kenapa aku yang bukan siapa-siapa ini tidak rela? "Baiklah, aku akan pindah besok," gumamku tanpa sadar menyanggupinya. Meski terdengar gila, tapi kapan lagi aku bisa menghabiskan waktu dengan Dirgantara? Mereka akan menikah dan aku bersumpah tidak akan mau berurusan lagi setelah hubungan mereka diresmikan. Levelku hanya setara penganggum rahasia, tidak punya nyali untuk menyaingi. Aku sangat tahu diri, jadi tidak mau seperti Cinderella yang menaruh harapannya pada sepatu kaca. Hidup harus realistis agar tidak kecewa di akhir. "Bagus. Jangan khawatir, aku pasti akan menepati janjiku. Uangnya langsung aku kirim setelah kamu mengemasi barangmu ke sini." Sisil tersenyum puas, menepuk bahuku lalu mengajakku masuk. Ya, inilah nasibku. Melayani calon suami orang lain. Selang setengah jam kemudian, Dirgantara datang. Ia langsung menemui Sisil di ruang tengah. Sedang aku sibuk dengan pekerjaanku mengurusi debu di belakang. Jujur, aku sampai bingung harus mengerjakan apa. Semua masih rapi pada tempatnya. Penyedot debu bahkan nampak mengkilat, seperti baru dilap. Entah presdir macam apa yang membersihkan rumahnya seperti binatu professional. "Jadi kamu mau pindah ke sini besok?" tanya Dirgantara tiba-tiba mengejutkanku dari belakang. "I-iya," sahutku berbalik gugup. Tidak seperti kemarin, sorot mata tajam Dirgantara nampak lelah dan wajahnya kusut. Dirgantara menghembuskan napas panjang sembari mengendurkan ikatan dasi. Gerakan itu tanpa sadar membuatku menggigit bibir. Hasratku terpatik bangun dan memprovokasi. Tapi sialnya, sikapku terlalu kentara. "Kenapa menatapku seperti itu?" Dirgantara melebarkan matanya, penuh curiga. "Tidak, aku tidak apa-apa," sahutku dengan cepat menunduk. Bagaimana kalau ia sampai tahu kalau aku ini sedikit m***m? Bukan hanya diusir, aku pasti akan dipenjarakan nanti. Ah, ayolah Nad! Kendalikan dirimu! Dirgantara untuk sesaat terdiam kemudian menyodoriku sebuah berkas. "Ini rekam medisku saat masih terapi di rumah sakit. Siapa tahu kamu memerlukannya," kata Dirgantara. "Terima kasih. Aku baru akan memintanya hari ini," ucapku masih gugup. "Oh ya, Sisil sudah pergi. Setelah selesai bersih-bersih, langsung masuk kamar saja. Kamu sudah mandi kan?" Pertanyaan itu lantas memancing kerut di dahiku. Lebih tepatnya, aku nyaris salah paham. "Aku terganggu dengan bau-bauan. Kalau bisa, pakai parfum yang sama saja denganku. Jadi, aku bisa lebih nyaman dan tidak terganggu," sambung Dirgantara menghancurkan imajinasi liarku. "Ah, iya. Baik," sahutku meringis malu. Setelah itu, Dirgantara tidak mengatakan apapun lagi. Ia berbalik pergi sembari menggumamkan rasa lelah di bibir. Kenapa aku jadi begitu reaktif? Melihat punggung juga lehernya aku terangsang tanpa alasan. Bukankah itu memalukan? Batinku menatap berkas Dirgantara di tangan. Bahkan saking fokusnya dengan Dirgantara, aku sampai mengabaikan aturan. Harusnya, aku sudah lama meminta berkas ini. Tapi karena birahi sialan, aku jadi pecundang m***m.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD